.

http://ibnumushab.blogspot.com

Latest Article Baca Sampai Habis Dulu, Baru Komen

Memimpin Umat Dengan Kesederhanaan

Saturday, February 9, 2013

Mukadimah

Tulisan ini tidak membahas seorang individu melainkan fenomena yang melanda segelintir orang, namun karena mereka berada pada level strategis maka efek yang ditimbulkan sangatlah besar. Tulisan ini merupakan salah satu evaluasi terhadap sebuah Gerakan Da’wah yang menginjak fase mihwar siyasi di Indonesia. Allohuma inna na’uzubika min annusyrika bika syai’an na’lamuhu wanastaghfiruka lima la na’lamuhu.

Salah satu Rujukan Anismisme (memuja-muja terhadap harta)

Anismisme adalah pemikiran Anis Matta dalam buku ‘Dari Qiyadah untuk Para Kader’. Salah satu artikel dalam buku itu membahas Pandangan Islam terhadap Harta, artikel ini juga disampaikan dalam ceramahnya di Riau dimana rekaman dan artikel ceramah tersebut sudah beredar di beberapa blog internet. Bab ini tidak bermaksud menghakimi sebuah pemikiran dari Anis Matta melainkan mencoba mengambil hikmah atas pemikiran yang telah menjadi legitimasi sejumlah orang untuk melakukan berbagai manuver. Artikel tersebut sudah banyak dikritisi para asatidz, diantaranya ustadz Daud Rasyid dan Farid Nu’man. Berikut ini beberapa kalimat Anis Matta yang dikritisi:

“Kalau kita melihat mobil bagus, rumah bagus, hinggap sebentar di mobil itu, sapu baik-baik lalu berdoalah … saya lewat di depan sebuah rumah besar halamannya luas. Saya usap-usap itu temboknya. Alhamdulillah rumah itu menjadi rumah saya.”

“Apabila saudara antum punya mobil, antum jangan marah padanya. Jangan tanya uangnya dari mana. Jangan tanya seperti itu. Antum pegang mobilnya, usap-usap mobilnya.”

“Saya pernah naik private jet punya Abu Rizal Bakrie waktu itu jauh sebelum era partai karena saya suka ceramah di rumahnya. … Enak juga naik private jet. Saya berdo’a juga disitu. Saya juga ingin yang seperti ini karena enak. Syurga saja kita pinta apalagi seperti ini. … Sewaktu-waktu saya naik mobil Land Cruiser punya teman saya, mobil saya Kijang, Saya bilang mobilmu lebih enak dari mobil saya. Dia bilang kenapa. Saya bilang saya pikir mobil saya itu paling enak di muka bumi, ternyata mobil bapak lebih enak.”

“Muraqib Am ditanya oleh kader … “Ustadz Hilmi anggota dewannya sudah mulai pada borju semuanya.” Di jawab oleh Ustadz Hilmi mereka tidak borju cuma menyesuaikan penampilan dengan lingkungan pergaulannya.”

“Saya punya 1 halaqah anak-anak LIPIA. Mereka dari kampung, dari pesantren semuanya. Saya tahu mereka ini membawa background, psikologi orang kampung. Saya tanya nanti setelah selesai dari LIPIA mau kemana? Mereka bilang InsyaAllah kita mau pulang kampung mengajar Bahasa Arab di Ma’had. Suatu hari saya ajak mereka, hari ini tidak ada liqa’, tapi saya tunggu kalian di Hotel Mulia. Mereka datang pakai ransel diperiksa lama oleh security. Karena penampilannya sebagai orang miskin dicurigai membawa bom. Saya lihat dari atas. Itu masalah strata, kalau antum datang pakai jas dan dasi tidak ada yang periksa antum di situ. Kira-kira 2 jam mereka saya suruh di situ, mondar-mandir di lobby. Minggu depan saya tanya apa yang antum lihat disana. Orang lalu lalang, jawab mereka. Saya tanya, apakah ada satu orang yang lalu lalang yang antum lihat yang mukanya jelek, dia bilang tidak ada. Semuanya ganteng-ganteng semuanya cantik-cantik. Jadi ada korelasi antara wajah dan kekayaan, Makin kaya seseorang makin baik wajahnya.”

“Sering-seringlah datang ke tempat-tempat mewah … Jadi antum kalau punya waktu-waktu kosong jalang-jalanlah ke mall, lihat-lihat orang kaya tidak usah belanja, lihat-lihat saja dulu, memperbaiki selera. Datang ke showroom mobil, datang ke pameran mobil, lihat-lihat pegang-pegang. … Bergaullah dengan orang kaya.”

“Orang seperti Bill Gates punya kekayaan lebih dari 500 Trilyun. Itu hampir sama dengan 1 tahun APBN Indonesia. Orang seperti George Soros itu bisa memiskinkan 200 juta penduduk Indonesia. … Maka kita perlu memahami bahwa ada tiga panggung: panggung negara, panggung civil society dan panggung pasar. Dari 3 panggung ini, pasarlah yang mempunyai mekanisme bekerja paling efektif apabila dibandingkan mekanisme negara maupun mekanisme civil society. Itu sebabnya negara mengalami reduksi pada otoritas-otoritasnya disebabkan oleh tekanan pasar. … Kita lihat daerah kekuasaan kita, dakwah ini ke depan hanya bisa menekan, menguasai, mengendalikan situasi kalau kita punya orang yang terdistribusi secara merata, memimpin negara, memimpin civil society, dan memimpin pasar.”


Tanggapan atas point di atas:

Seorang dai harus mewarnai umatnya dengan sibghatullah bukan malah terwarnai. Ketika manusia menjadikan kekayaan sebagai orientasinya maka mereka dapat menghalalkan semua cara agar kaya, membelanjakan dengan bermewah-mewah, dan memandang hina orang miskin. Harta adalah alat penunjang kehidupan dan dibutuhkan dalam perjuangan. Islam diturunkan bukan untuk mengajari mencintai harta. Hanya syetan yang mengajarkan cinta harta. Tanpa diajaripun, harta secara naluri sudah dikejar manusia. Kedatangan Al Qur’an untuk mengingatkan manusia bahwa harta dapat melalaikan manusia dari Allah dan melupakan tujuan hidupnya yang hakiki, yakni akhirat. “Apakah kamu lebih suka pada kehidupan dunia ketimbang akhirat, maka tidaklah kesenangan hidup dunia di akhirat melainkan hanya sedikit” (At Taubah: 38). “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” (At Takaatsur: 1). Yang seharusnya diajarkan kepada manusia adalah bagaimana mendapatkan harta dengan cara yang benar, dan bagaimana mengelola harta dengan cara yang benar agar tidak berubah menjadi fitnah.

Tidak ada ayat atau hadits yang menggesa manusia untuk mengejar harta dan kenikmatan dunia, apalagi dengan mengatakan “jangan tanya darimana sumbernya”. Ucapan itu biasa muncul dari golongan ‘Ahlud Dunia’ yang menutup mata terhadap subhat dan halal-haram. Saat Abu Hurairah ra diangkat menjadi wali (gubernur), beliau memiliki tabungan harta yang banyak. Mendapatkan informasi tentang hal itu, Amirul Mukminin Khalifah Umar bin al-Khaththab ra memanggil sang Gubernur ke Ibukota Negara Khilafah, Madinah. Sesampai di Madinah al-Munawwarah, Khalifah Umar ra berkata kepada sang Gubernur: “Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya! Bukankah engkau telah mencuri harta Allah?” Gubernur Abu Hurairah ra menjawab: ”Amirul Mukminin, aku bukan musuh Allah dan bukan pula musuh Kitab-Nya. Aku justru musuh siapa saja yang memusuhi keduanya. Aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah.” Khalifah Umar ra bertanya kepadanya: ”Lalu dari mana engkau mengumpulkan harta sebesar 10.000 dinar itu?” Abu Hurairah ra menjawab: ”Dari untaku yang berkembang pesat dan dari sejumlah pemberian yang berturut-turut datangnya.” Khalifah Umar ra berkata: “Serahkan hartamu itu ke Baitul Mal kaum Muslim.” Abu Hurairah ra segera memberikannya kepada Baitul Mal. (Abdul Mu’im Khafaji, Al-Islam wa an-Nazhariyyat al-Iqtishadiyyah. Beirut: Daar al-Kitaab al-Lubnani, 1973).

Tidak ada perintah untuk kaya, yang ada adalah memberi. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92). Memberi tidak berarti harus menjadi kaya. Dari Abu Hurairoh bahwa Rasululloh saw pernah ditanya: sedekah apa yg paling mulia? Beliau menjawab: sedekah orang yang tak punya, dan mulailah memberi sedekah atas orang yang banyak tanggungannya (HR Ahmad dan Abu Dawud, shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim).

Tidak ada perintah untuk kaya, yang ada adalah peringatan agar jangan terpesona oleh kemewahan orang kaya. “Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar”.” (Al Qashash: 78-80).

Allah melarang hamba-Nya melirik kekayaan orang lain. “Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendahdirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (Al Hijr: 88). Memperhatikan kesenangan orang lain, kemudian menginginkan kekayaan yang dimiliki orang lain, berdasar perspektif Qurani adalah perbuatan tercela dan merusak muru’ah.

Kalau ada orang menceritakan dirinya mendambakan punya rumah mewah, kendaraan mewah, atau apa saja yang menyenangkan dari dunia, sebenarnya dia sedang menceritakan kelemahan dirinya, sekaligus menyingkap keruntuhan ma’nawiyahnya di hadapan orang lain. Apa lagi mengelus-ngelus mobil mewah dan rumah orang.

Kalau dibiarkan berlarut-larut, bukan tak mungkin manusia mengganti Tuhannya dari Allah menjadi hawa nafsu. Mengganti alhaq menjadi albatil. Terjemahannya dalam politik praktis: mengganti calon kepala daerah yang soleh tapi dananya terbatas, dengan calon yang koruptor asal uangnya banyak. Seperti logika yahudi yang meremehkan orang miskin menjadi pemimpin. “Nabi mereka mengatakan kepada mereka, Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab, Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak? Nabi berkata, Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247).

Jika pola pikir seperti ini tak pantas ada pada mukmin biasa, apalagi pada level seorang pemimpin (qiyadah). Seharusnya nasihat seorang pemimpin yang istiqomah ialah seperti nasehat Nabi saw kepada shahabatnya, Rasululloh saw bersabda: Demi Alloh, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, tapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka (HR Muslim).

Nabi saw lebih khawatir umat ini terkena bahaya harta dan dunia daripada bahaya kekurangan dan kemiskinan.

Kompas.com pada Agustus 2008 memberitakan ‘Gara-gara Rp 20.000, Balita Meninggal.’ Balita itu bernama Nazar (anak dari Syafaruddin, Ketua Ranting PKS Barabaraya) meninggal di Puskesmas Barabaraya, Makassar. Nazar terlambat mendapat penanganan medis karena orangtuanya tidak sanggup menyiapkan Rp 20.000 untuk jasa medis di tempat tersebut. Sementara ada ikhwah da’iyah yang hidupnya lebih dari cukup. Itu baik dan tidak masalah, karena kita pun tidak membahas sepatu dan jam tangan yang harganya jutaan. Dan sama sekali tidak bermaksud MEMBEBANKAN atau MENYALAHKAN kematian balita tersebut adalah karena ketidakpedulian para qiyadah yang mendadak kaya raya. Sama sekali tidak.

Yang menjadi masalah ketika ia mengiklankan kemewahan, mengilustrasikan keunggulan mewah dan bukan sekedar bercerita kekayaan, yang mana itu ia lakukan disaat kader-kadernya yang lain hidup dalam serba 'kekurangan'. Ia hiasi dengan berbagai dalil dan alasan untuk melegitimasi perilakunya sendiri. Membicarakan pentingnya kaya, harta, kemewahan, dengan alasan maslahat da’wah dan sebagainya, karena ia sudah merasakannya. Kenapa hal itu tidak disampaikan di masa lalu ketika keadaan dia belum seperti sekarang.

Seandainya beliau adalah kader di ranting bawah, tentulah tidak menjadi masalah. Namun beliau adalah QIYADAH, seorang pemimpin, dan bahkan kini menjadi seorang presiden partai. Dan tentunya telah mengerti bagaimana perilaku para pemimpin dalam sejarah islam, mereka tetap hidup sederhana padahal Allah membukakan pintu-pintu kekayaan dari timur dan baratnya.

Alangkah baiknya jika kita diajarkan bagaimana menjadi hamba yang bersyukur terhadap kekayaan, bersabar atas kesulitan, agar kita menjadi pribadi yang mukhlis, bukan pribadi yang mengikuti kedudukan dan status sosial.

Islam tidaklah menganjurkan malas dan miskin. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash: 77).

Nabi saw punya rumah untuk berteduh, kendaraaan untuk berda’wah, baju zirah dan pedang untuk berperang. Nabi memilih yang sesuai kebutuhan dan tidak sekedar memenuhi keinginan. Sunnah Nabi kita ialah kaya tapi memilih untuk menyumbangkannya demi kejayaan Islam dan bukan mempertontonkannya dan bermewah-mewahan. “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (Al Israa’: 18).

Khadijah seorang wanita kaya, kekayaannya ia gunakan untuk perjuangan suaminya, bukan dihabiskan untuk kenikmatan hidup. Jangan sekedar melihat besarnya mahar ketika mereka berdua nikah, tetapi lihatlah buat apa dan dikemanakan mahar tersebut, mahar tersebut tidak mengubah Rasulullah menjadi laki-laki yang mewah.

Mayoritas sahabat yang mubasyiruna bil jannah adalah orang kaya. Orang kaya yang bersyukur lebih utama dari orang miskin bersabar. Rasulullah saw pun berdoa berlindung dari kekafiran dan kefaqiran. Namun hakikat kekayaan adalah kaya jiwa. Kaya bukanlah mewah, walau ia bersumber dari satu hal yang sama yakni harta, tetapi ia berbeda secara nilai yakni mentalitas. Mentalitas aji mumpung; mumpung ada, mumpung menjabat, mumpung dekat dengan orang kaya. Rasulullah saw memegang kunci-kunci kekayaan, jika ia mau mudah sekali mendapatkannya. Tetapi ia amat sederhana.

Ada sudut pandang simplistis yang biasa dilontarkan manusia yang berideologi kekayaan dan kemewahan. Sudut pandang kesetaraan status dan kepantasan lingkungan, agar penerimaan dirinya di lingkungan yang baru bisa diterima dengan baik. Namun itu adalah sudut pandang materialis kapitalis. Terdapat Izzah dalam kesederhanaan. Kesederhanaan para da’i di lingkungan yang ‘tidak sederhana’ adalah hal yang istimewa, ia tidak tergoda dunia walau dunia mengejarnya. Ia nampak mampu mengendalikan dunia, dunia ada ditangannya bukan dihatinya. Jika ia anggota dewan, pejabat, petinggi Partai Da’wah, dahulunya adalah da’i yang sederhana, dan ia tetap sederhana di lingkungan yang ‘tidak sederhana’, maka ia seperti cahaya di tengah kegelapan, ia seperti keteladanan di zaman yang minim keteladanan. Allah akan mencintainya, dan manusia pun mengaguminya. Inilah sudut pandang yang seharusnya. Bukan justru latah, ikut-ikutan, sehingga tak ada bedanya dengan hamba dunia yang telah menzhalimi banyak orang.

Contoh yang jadi rujukan pun orang-orang kaya bermasalah, seperti penghutang Lapindo. "Orang kaya yang menunda-nunda (mengulir-ulur waktu) pembayaran hutangnya adalah kezaliman (HR Bukhari). Kenapa kesederhanaan Abu Dzar, kewara’an Abu Bakar, kezuhudan Umar, kedermawanan Utsman, dan keteguhan Ali, tidak menjadi rujukan? Kewibawaan mereka tidak berkurang, justru melambung tinggi. Itu mereka dapatkan bukan karena kekayaan dan kemewahan, tetapi keikhlasan, kesederhanaan, dan pengorbanan. 

Dan sungguh dengan banyaknya uang yang dimiliki partai dan mempertontonkan 'kesuksesan' ketika menjadi pejabat publik, itu tidak akan membuat kalian berhasil menarik rasa simapati umat islam kepada partai kalian.

Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya, kalian tidak akan mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi kalian bisa menguasai mereka dengan wajah yang bersahaja dan akhlak yang baik” (HR. Abu Ya’la, dishahihkan Al Hakim, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab Al jami’, Bab Targhib fi Makarimil Akhlaq, Cet 1, 2004m/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah).

Utusan Romawi tatkala melihat Khalifah Umar bin Khattab tidur di bawah pohon tanpa istana dan pengawalan, berkata: “Kamu telah berlaku adil, maka kamu aman dan kamu bisa nyenyak tidur.” Khalifah Umar bin Khattab naik unta bergantian dengan pembantunya ketika berangkat ke Palestina untuk menerima kunci Baitul Maqdis, sehingga ketika sampai di pintu gerbang negeri itu, orang-orang malah mengelu-elukan pembantunya yang sedang dapat giliran naik unta sementara Umar yang menuntunnya. Ketika terjadi musim paceklik (tahun ramadah) pada 18H, banyak penduduk kelaparan sehingga amirul mukminin Umar ra membagikan uang dan makanan dari baitul mal sampai kosong. Beliau tidak makan makanan enak seperti lemak dan susu, beliau hanya makan minyak dan cuka sampai warna kulit beliau kehitaman dan tubuhnya menjadi kurus (baca detailnya di Al Bidayah Wan Nihayah, bab tentang Umar).

Dari Aisyah: “Tidak pernah keluarga Muhammad saw makan sampai kenyang dengan roti gandum untuk tiga malam berturut-turut sejak kedatangan mereka di Madinah hingga wafatnya” (HR Muslim).

Umar menemui Rasul saw yang sedang berbaring diatas sebuah tikar sehingga terlihatlah bekas tikar tersebut di tubuh beliau saw. Di kamar beliau saw hanya terlihat segenggam gandum sekitar satu sha dan daun penyamak kulit serta sehelai kulit binatang yang belum selesai disamak. Umar menangis sehingga membuat Rasul saw bertanya. Jawab Umar: “Bagaimana aku tidak menangis, tikar itu membuat bekas di tubuhmu, dan kamar ini tidak kulihat yang lain selain yang telah kulihat. Sementara kaisar Romawi dan kisra Persia bergelimang buah dan sungai, sedang engkau adalah utusan Alloh dan hamba pilihanNya berada dalam kamar pengasingan seperti ini.” Rasul saw bersabda: “Wahai putra Khattab, apakah kamu tidak rela jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka” (HR Muslim).

Ketika Hasan Al-Banna berpergian untuk berdakwah, ada orang yang mengenalinya naik kereta kelas tiga. Sebagai pemimpin tertinggi jamaah Islam yang besar, rasanya tak pantas beliau naik kereta kelas kambing. Orang itu bertanya, mengapa naik kelas tiga? Beliau hanya tersenyum dan menjawab, karena tidak ada kelas yang lebih rendah lagi.

Begitu juga Ismail Haniya, PM Palestina yang saya jadikan cover artikel diatas, beliau hidup dengan sangat sederhana sedangkan BANTUAN UNTUK PALESTINA milyaran rupiah diberikan kepada mereka setiap tahunnya. Maka bagaimanakah dengan pemimpin jamaah kita?

Zuhud bukanlah cinta miskin, melainkan cinta kesederhanaan. Dari Sahl bin Sa’ad ra dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Nabi saw, dia berkata: “Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku amal yang jika aku lakukan maka Allah dan manusia akan mencintaiku. ” Maka Ia bersabda: “Zuhudlah pada dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa-apa yang ada pada manusia, niscaya manusia akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, sanadnya hasan. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab al Jami’ Bab Zuhd wal Wara’, Cet 1, 2004M/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah).

Wallahualam

Recommended Article : Kemewahan Bukan Cita-Cita Kami

Nasehat Untuk Qiyadah! Kemewahan Bukan Cita-Cita Kami!

Dalam sebuah perjalanan kami bersama beberapa Ikhwah, ada perbincangan menarik. Salah seorang Al Akh bertanya, "Akhi, berapa penghasilan Antum sebulan dari mengajar?" iKhwah tersebut tersenyum dan malu menjawabnya. Namun, ketika ditanya lagi dengan nada bergurau, ia pun menjawab, "150 ribu sebulan." Inilah ikhwah kita, kader da'wah yang memiliki banyak kelompok halaqah.

Ada lagi, Ikhwah yang pernah kami temui, ia aktifis dan banyak amanah da'wah yang dia emban. la hanya berpenghasilan tidak sampai 300 ribu rupiah dari membuat minuman penghangat badan, wedang jane. Itulah ikhwah kita, mereka hidup dipelosok. Namun, kami kira mereka juga ada di sekitar kita, saudara kita di halaqah, di wilayah da'wah kita, bahkan ia -mungkin- kita sendiri. Tetapi mereka tidak mengeluh, tidak lemah, dan Allah Ta'ala mencintai orang-orang yang sabar.

Syahdan, di kota besar ada pula ikhwah da'iyah yang hidupnya lebih dari cukup, bahkan sangat-sangat lebih. Itu baik dan tidak masalah. Namun, jadi masalah jika ia mengiklankan kemewahan, menyeru orang kepadanya, memberikan ilustrasi keunggulan 'mewah', bukan sekedar bercerita kekayaan. la menghiasi dengan berbagai dalil dan alasan yang dipaksakan untuk melegitimasi pemikiran dan perilakunya sendiri. Membicarakan pentingnya kekayaan, harta, kemewahan, dengan alasan maslahat da'wah dan sebagainya, karena ia sudah merasakannya. Lalu, kemana dahulu ketika keadaannya belum seperti sekarang? Kenapa maslahat-maslahat itu baru dibicarakan saat ini ? Apakah dibicarakan untuk pledoi? Apa ia tidak pernah tahu kondisi ikhwah lain yang serba sulit? Atau memang tidak mau tahu?

Tak usah ajarkan kami, kami sudah mengetahui harta memang urgen. Kaya memang penting. Mayoritas para sahabat yang mubasyiruna bil jannah (dikabarkan akan masuk surga) adalah orang-orang kaya. Orang kaya yang bersyukur lebih utama dari orang miskin bersabar. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun berdoa berlindung dari kekafiran dan kefaqiran. Dan, kami pun tetap bekerja untuk menafkahi anak dan istri kami ... Alangkah baiknya jika kami tetap diajarkan -oleh da'i itu- bagaimana menjadi hamba yang shalih, hamba yang bersyukur terhadap kekayaan, bersabar atas kesulitan, berjihad, istiqamah, dan ilmu-ilmu bermanfaat lainnya untuk agama dan dunia kami, agar kami menjadi pribadi yang apa adanya menurut Al Quran dan As Sunnah, bukan pribadi yang seharusnya menurut keadaan dan status sosial. Dan, tidak usah menyesali jika dahulu kami 'lupa' diajarkan tentang masalah kekayaan dalam silabus tarbiyah kami, karena hakikat kekayaan adalah kaya jiwa. Inilah keyakinan dari keimanan kepada AllahTa'ala, dan pemahaman terhadap harta secara sehat, dan jangan memaksakan pemahaman yang asing dalam sejarah da'wah dan tarbiyah.

Tetapi Ya Syaikh ..., kaya bukanlah mewah, walau ia bersumber dari satu hal yang sama yakni harta, tetapi ia berbeda secara nilai yakni mentalitas. Mentalitas aji mumpung; mumpung ada, mumpung menjabat, mumpung dekat dengan orang kaya, mumpung di atas, mumpung punya binaan kalangan menengah ke atas. Tak ada kamus aji mumpung dalam kehidupan teladan kami, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, ia memegang kunci-kunci kekayaan, jika ia mau mudah sekali mendapatkannya. Tetapi, ia amat sederhana. Para sahabat, memang kaya, tapi adakah kita mendengar mereka mengiklankan kemewahan, dan berleha-leha ketika ada saudaranya kesulitan? Justru mereka menampakkan kesederhanaan dan kesahajaan. Mereka tahu perasaan sahabat nabi lainnya. Ya .. mereka tahu perasaan manusia.

Khadijah seorang wanita kaya, ia saudagar wanita, ketika nikah dengan Rasulullah ia menjadi sederhana. Kekayaannya ia abiskan untuk perjuangan suaminya, bukan dihabiskan untuk menikmati kenikmatan hidup. Jangan sekedar melihat besarnya mahar ketika mereka berdua nikah, tetapi lihatlah buat apa dan dikemanakan mahar tersebut, apakah mahar tersebut merubah Rasulullah menjadi laki-laki yang mewah? Tidak! Terlalu naif membicarakan kemewahan hanya melihat dari ukuran mahar pernikahan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan Khadijah Radhiallahu 'Anha. Umar bin Abdul Aziz ia seorang kaya, ketika menjadi khalifah justru ia tinggalkan kekayaannya. Tetapi, kewibawaan mereka sama sekali tidak berkurang, justru melambung tinggi, karena Allah Ta'ala telah muliakan mereka. Kemana contoh-contoh ini ?

Untuk contoh masa sekarang adalah Usamah bin Ladin -setuju atau tidak dengan ideologi dan segala upaya jihadnya- ia adalah seorang kaya raya, bahkan sangat kaya, kalau dia mau bisa saja CNN dibelinya. Tapi, dia hidup amat sederhana, makan seadanya, dia serahkan kekayaannya untuk membiayai perjuangannya. Bukan mencari kekayaan dari perjuangan, bukan mencari biaya hidup dari perjuangan. Itulah letak kewibawaan.

Rasulullah dan para sahabat adalah teladan kita, qudwah hasanah kita ... selamanya. Kami tidak butuh teladan yang lain, walau ia berilmu, senior da'wah, tetapi... alhamdulillah, kami tidak pernah silau dengan istilah, gelar, dan pujian manusia yang sehaluan dengannya. Walau kami sangat menghargai dan menghormati peran dan kontribusi da'wah yang telah mereka lalui demikian panjang.

Kesederhanaan Adalah 'Izzah


Ada sudut pandang simplistis yang biasa dilontarkan oleh manusia yang ber'ideologi' kekayaan dan kemewahan. Sudut pandang kesetaraan status dan kepantasan lingkungan, agar penerimaan dirinya dilingkungan yang baru, bisa diterima dengan baik. Sudut pandang materialis kapitalis ini, satu-dua contoh kasus bisa saja benar, bahwa jika Anda bergaul dengan kalangan jet set tetapi ketika menghadap mereka dengan 'hanya' motor bebek atau mobil seken, lalu Anda kurang dianggap, kurang 'berharga' dimata mereka. Bisa saja itu terjadi, dan bisa pula itu perasaan dan sugesti saja. Jangan pernah memandang bahwa kesulitan hidup, adalah biang keladi segala masalah kita -para da'i dan umat Islam- saat ini. Tak ada manusia satu pun yang ingin susah dan miskin, tetapi jangan pula menganggap kekayaan adalah solusi jitu, yang akhirnya harus dikejar-kejar dan diserukan secara demonstratif, karena taqwa dan keshalihan itulah solusi, sedangkan kekayaan adalah penunjang atau bisa juga fitnah.

Kenapa contoh keserhanaan Abu Dzar, kewara'an Abu Bakar, kezuhudan Umar, kedermawanan Utsman, dan kesulitan hidup Ali, tidak menjadi sudut pandang kita. Apa yang mereka alarm' ini tidaklah meluluhkan wibawa mereka di depan Al Khaliq dan makhluk. Justru semakin melambung tinggi dan nama mereka tercatat abadi dalam konfigurasi sejarah manusia-manusia pilihan. Itu mereka dapatkan bukan karena kekayaan dan kemewahan, tetapi keikhlasan, kesederhanaan, dan pengorbanan mereka. Benarlah yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya, kalian tidak akan mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi kalian bisa menguasai mereka dengan wajah yang bersahaja dan akhlak yang baik." (HR. Abu Ya'la, dishahihkan Al Hakim, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab Al jarm", Bab Targhib fi Makarimil Akhlaq, hal. 287. Hadits no. 1341. Get 1, 2004m/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah)

Kesederhanaan para da'i di lingkungan yang 'tidak sederhana' adalah hal yang istimewa, ia nampak tidak tergoda dunia, walau dunia mengejarnya. la nampak mampu mengendalikan dunia, dunia adaditangannya bukan dihatinya. Jika ia anggota dewan, pejabat, petinggi Partai Da'wah, dahulunya ia da'i yang sederhana, dan ia tetap sederhana di lingkungan yang 'tidak sederhana', maka ia seperti cahaya di tengah kegelapan, ia seperti keteladanan di zaman yang minim keteladanan. Insya Allah, Allah akan mencintainya, dan manusia pun mengaguminya. Inilah sudut pandang yang seharusnya ... Syaikh! Bukan justru latah, ikut-ikutan, dan menjadi norak, sehingga menjadi tak ada bedanya dengan hamba dunia yang dahulu pernah kita benci, paling tidak beti (beda-beda tipis) dengan mereka.

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiallahu 'Anhu dia berkata: "Datang seorang laki-laki tunjukkanlah kepadaku jika aku lakukan maka Allah dan manusia akan mencintaiku. " Maka la bersabda: "Zuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa-apa yang ada pada manusia, niscaya manusia akan mencintaimu. " (HR. Ibnu Majah, sanadnya hasan. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab al Jami' Bab Zuhd wal Wara', hal. 277. Hadits no. 1285. Get 1, 2004M/1425H. Darul Kutub Al Islamiyah)

Akan Dibangkitkan Sesuai Niatnya


Da'wah ini telah diramaikan oleh beragam manusia; tipe, kecenderungan, skill, kebiasaan, sifat, dan niatnya. Faktor niat inilah yang akan mengendalikan dan mengarahkan masing-masing da'i, bahkan yang menentukan masa depan mereka di akhirat. Mereka sama-sama berjuang, sama-sama lelah, tapi mereka akan dibangkitkan di akhirat sesuai niatnya masing-masing. Ada yang niat dunia seperti ketenaran, popularitas, kekayaan, jabatan, wanita, walau ini mampu disembunyikan dengan sangat rapi di dunia, berbungkus da'wah dan berhasil mengelabui banyak manusia, tetapi akan tersingkap di akhirat. Semoga Allah Ta'ala merahmati dan memberikan balasan yang lebih baik bagi da'i-da'i akhirat, yang hanya mengharapkan Allah Ta'ala dan ketinggian agamaNya.

Dari 'Aisyah Radhiallahu 'Anha berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Akan ada tentara yang menyerang Ka'bah, akan tetapi ketika mereka sampai di sebuah lapangan, tiba-tiba mereka semua dibinasakan, dari awal sampai akhirnya.'"Aisyah bertanya: "Ya Rasulullah, bagaimanakah dibinasakan semua, padahal di antara mereka ada orang-orang yang tidak ikut-ikutan seperti mereka, yaitu orang-orang yang di pasar dan lain-lain ? "Rasulullah menjawab : "Mereka dibinasakan semua, lalu dibangkitkan menurut niat masing-masing. " (HR. Bukhari- Muslim, lafaz ini menurut Bukhari. Riyadhus Shalihin, Bab Al ikhlas wa Ihdhar an Niyah, hadits no. 2. Maktabatul Iman, Manshurah)

Jadi, amal akhirat manusia, seperti da'wah dan jihad menjadi hal yang sia-sia jika niatnya adalah dunia. Dalam riwayat lain, dari Ubai bin Ka'ab Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barang siapa yang beramal akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian di akhirat." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al hakim dan Al Baihaqi. Al Hakim berkata: sanadnya shahih, dan disepakati Adz Dzahabi. Al Haitsami mengatakan hadits ini diriwayatkan Ahmad dan anaknya dari beberapa jalur, dan para perawi Ahmad adalah perawi shahih, Majma' uz Zawaid 10/220)

Kami Tidak Mengharamkan Perhiasan Yang halal dari Allah! Jika ada yang menyangka, ini adalah sikap sok suci, sok tidak butuh kekayaan, apalagi disebut iri, maka ia amat keliru. Kami meyakini, setelah iman yang mendalam dan amal yang terus-menerus, maka da'wah membutuhkan kekuatan, di antara kekuatan yang urgen hari ini adalah dana. Tentunya, orang yang tidak memiliki harta tidak bisa memberikan kekayaan. Bertemunya keimanan dan kekayaan, akan membentuk pribadi yang dermawan. Namun yang menjadi tema dan sorotan kami adalah gaya hidup para da'i yang mengalami sock budaya, 0KB, Orang Kaya Baru, lalu dia demonstratif dalam hal itu. Dia lupa bahwa dirinya berada di lingkungan da'wah, dan para ikhwah yang kebanyakan 'tidak seberuntung dia'. Para Ikhwah yang hidupnya kembang kempis.Bergesernya orientasi da'wah ilallah menjadi da'wah 'Road to Senayan', 'Road to Kekayaan', inilah yang harus disorot dan diwaspadai. Sesungguhnya, peringatan itu bermanfaat buat orang-orang beriman. Namun bagi yang sulit menerima nasihat, hatinya kesat, maka kami katakan:

Berpestalah ... bersenang-senanglah ... dan lakukan semua kehendakmu .... Anda bebas saudaraku... Tetapi, pesta pasti berakhir itu pasti ....

Kami juga meyakini, bahwa secara nilai normatif, banyak yang lebih faham dari kami tentang ini, lebih faqih, lebih berpengalaman, lebih cerdas, lebih pandai, lebih tahu masalah, pokoknya segalanya di atas kami .... Tetapi, yang kami (para kader da'wah) minta adalah jangan ajarkan kami kemewahan, sebab itu bukan cita-cita, obsesi, dan ambisi kami ... jangan contohkan kami perilaku yang dahulunya sama-sama kita benci, sebab itu kabura maqtan ... dan jangan paksa kami untuk mengikuti jejak perilaku dan pemikiran yang Anda iklankan ....

Semoga hidayah dan bimbingan Allah Ta'ala selalu menyertai kita semua .. Amin "Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik." (QS. Al Isra' : 18-19) 
Wallahu A'lam wa Illahil 'Izzah 
[Farid Nu'man]

Apa Yang Menyebabkan PKS Terpuruk?

Friday, February 8, 2013

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Ada sebuah pertanyaan sederhana: “Mengapa saat ini PKS terpuruk? Mengapa mereka bisa sampai ke titik nestapa menyakitkan seperti itu? Apa salah mereka, apa salah kader-kadernya?”
Dalam memandang persoalan PKS ini kita bisa melihat dari dua sisi: POLITIK dan SYARIAT. 

Secara politik, benar kata sebagian cendekiawan Muslim, janganlah kita terlalu menghakimi PKS; sebab hal itu akan merugikan perjuangan politik kaum Muslimin juga. Tetapi secara Syariat, pandangan kritis, koreksi, nasehat, analisis, dan seterusnya harus disampaikan. Mengapa? Karena kasus yang membelit elit PKS itu terkait dengan masalah risywah (suap) dan gratifikasi seks. Kalau kita bersuara kalem, mencari 1001 alasan toleransi, atau menutup-nutupi masalah ini, jelas Syariat Islam yang akan dikorbankan. Nanti masyarakat akan berkomentar: “Oh ternyata, kalau yang melakukan suap dan seks ilegal kalangan elit partai Muslim, gak apa-apa ya.” Ini sangat berbahaya.

Menurut saya, sebatas pengetahuan dan pemahaman yang saya ketahui, PKS terpuruk karena dua alasan besar: arogansi elit dan keterbelahan komunitas. Hal-hal ini menjadi sebab yang membuat partai itu terpuruk.

AROGANSI ELIT PKS

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa elit-elit PKS sangat sombong dan angkuh. Mereka nyaris tidak pernah mau mendengar nasehat, masukan, kritik, atau taushiyah dari saudara-saudaranya sesama Muslim. Kasus-kasus politik sudah banyak beredar, sejak tahun 2004 sampai saat ini. Tidak terhitung banyaknya suara-suara, aspirasi, dan harapan dari kaum Muslimin agar PKS lebih peduli dengan nasib kaum Muslimin dan persoalan hidupnya. Tetapi elit-elit PKS seperti punya road map (peta jalan) sendiri. Mereka tidak peduli dengan suara-suara itu, bahkan cenderung meremehkan.

Nasehat-nasehat telah banyak berhamburan ke meja elit PKS. Bahkan mundurnya kader, ustadz, serta pendukung PKS merupakan signal-signal yang mestinya ditangkap. Bahkan kekalahan PKS dalam even-even politik, seperti kekalahan dalam Pemilu 2009 di wilayah Jakarta dan Pilkada Jakarta 2012, mestinya itu juga menjadi nasehat. Ketika meledak kasus anggota DPR nonton video porno saat sidang paripurna, itu juga nasehat perih bagi mereka. Tetapi semua itu ditepiskan begitu saja oleh elit-elit PKS. Seakan partai ini benar-benar merasa tidak membutuhkan orang lain sedikit pun (kecuali bagi yang punya duit).

Inilah arogansi. Ini sangat berbahaya. Innallaha laa yuhibbu kulla mukhtalin fakhur (sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri). Sombong ini adalah watak para tiran seperti Namrudz, Fir’aun, Abrahah, Abu Jahal, dan seterusnya. Bahkan kesombongan itu yang membuat Iblis terkena laknat Allah Ta’ala sampai akhir zaman.

Ketika elit-elit PKS merasa besar, merasa pintar, merasa paling waqi’ dalam soal politik, merasa tidak membutuhkan orang lain; maka datanglah nasehat-nasehat manusia untuk mengingatkan mereka. Namun ketika nasehat itu sudah menumpuk, tak didengarkan juga; akhirnya datanglah NASEHAT ILAHIYAH yang sangat menyakitkan. Pemimpin tertinggi PKS terlibat kasus suap, dan disana ada intrik-intrik permainan perempuan. Masya Allah, nas’alullah al ‘afiyah.

KETERBELAHAN KOMUNITAS

Jujur, kalau bicara tentang PKS, kita seperti serba salah. Jika melihat kelakuan elit-elit PKS, mereka sangat arogan, oportunis, dan terkesan berpolitik “menghamba kekuasaan” belaka. Apalagi kalau membayangkan sosok Fahri Hamzah saat lagi bicara menggebu-gebu, dengan bibirnya yang bergerak kesana-kemari.

Tetapi bagi pengikut, pendukung, para kader PKS di bawah, mereka itu insya Allah baik-baik. Mereka itu tampak tulus, beramal sekuat kemampuannya, banyak berkorban, dan bersusah-payah demi kebaikan masyarakat. Mereka rajin shalat, rajin majelis taklim, rajin membaca Al Qur’an, mereka memakai busana Muslimah, dan seterusnya. Mereka ini rata-rata baik, tulus, dan insya Allah mereka aktif dalam perjuangan PKS karena Lillahi Ta’ala.

Disini kita menyaksikan ada GAP (keterbelahan) yang jauh antara elit-elit PKS dan para kader/pendukung mereka di bawah. Di lapisan bawah masih tekun dan rajin berjuang sebagai Partai Dakwah; di tingkat elit kelakuan mereka sangat buruk, dengan sengaja menjual dukungan kader/bawahan untuk mencapai keuntungan-keuntungan politik. Fungsi para kader/pendukung itu seperti TANGGA yang diinjak-injak orang agar bisa mencapai posisi tinggi. Bukan rahasia lagi bahwa elit-elit PKS hidupnya glamour, menumpuk kekayaan, dari hotel ke hotel; tetapi para bawahan disana hidup sengsara untuk sekedar survive.


Keterputusan RUHIYAH antara Elit Partai dan Para Kader di Bawah.

Ada keterputusan aspirasi dari bawah ke atas. Kalangan bawahnya baik-baik, sementara kalangan atasnya berfoya-foya dengan dunia. Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah.

Mungkin pertanyaannya: “Mengapa kader-kader atau para pendukung itu diam saja? Mengapa mereka tidak melakukan koreksi atau perbaikan? Apa mereka tidak punya kemandirian?”

Jawabannya:

Pertama: mereka sudah melakukan itu semua. Tetapi aspirasi mereka mampet (tersumbat). Seakan aspirasi mereka “hanya ditampung saja” sembari tidak ada niatan dilaksanakan. Tetapi kalau kader-kader itu sekaya Chairul Tanjung, Adang Dorodjatun, atau Hary Tanoe; yakinlah elit-elit PKS akan menggelar karfet merah untuk menyambutnya.

Kedua: sistem hirarki politik ketat yang diterapkan di tubuh PKS membuat semua aspirasi yang disampaikan oleh bawahannya mudah dimentahkan begitu saja. Kalau aspirasi itu tidak sesuai dengan kepentingan dan selera elit partainya, ia seketika dibuang ke tempat sampah. Bahkan kader-kader yang terkenal kritis tidak sedikit di-isolasi, dipinggirkan, atau digosipkan dengan rumor-rumor tertentu.

Singkat kata, kalau melihat PKS, mesti dibedakan antara ELIT POLITIK-nya dan para KADER/pendukungnya. Itu berbeda. Mereka memiliki dunia dan sikap politik sendiri-sendiri. Saya sendiri (dalam blog ini) kalau mengkritik PKS, sebenarnya lebih mengkritik ke elit-elitnya yang memutuskan kebijakan politik; bukan mengkritik kader/pendukungnya yang masih baik-baik.

Nah, inilah alasan utama keterpurukan PKS saat ini. Mereka terpuruk, karena elit-elitnya sudah tak mampu mendengar nasehat lagi; mereka terlalu arogan. Akibatnya, datanglah NASEHAT ILAHIYAH yang rasanya ketika menimpa mereka, amat sangat menyakitkan dan menekan. Ya, kalau manusia sudah tak mampu menasehati, Rabbul ‘alamin yang akan menasehati.

Lalu solusinya bagaimana?
Ya, itu silakan dipikirkan dan dimusyawarahkan sendiri. Saya kan hanya membahas “sebab keterpurukan”, bukan solusinya. Ya bagi-bagi tugaslah, saling membagi beban dan amanah. Terimakasih. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

Mine.[abu waskito]

Ketika Qiyadah Tak Lagi Amanah

Thursday, February 7, 2013

“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu supaya menunaikan amanah kepada orang-orang yang berhak menerima. Dan bila kamu menjatuhkan hukuman antar sesama manusia, hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah memberi kamu peringatan dengan itu (adil); bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Wahai orang-orang yang mengaku beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taati pulalah Rasul dan pemimpinmu. Jika sekiranya kamu bersengketa dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul sekiranya kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir; demikian itu adalah cara yang paling baik dan sebaik-baik jalan.” (An-Nisa’:58-59)

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa, ayat pertama diturunkan untuk para qiyadah (pemimpin) agar mereka senantiasa menunaikan amanah kepada siapa saja yang berhak, dan apabila menjatuhkan hukuman antara sesama manusia, agar berlaku adil. Sedangkan ayat kedua ditujukan kepada umat, rakyat, tentara dan lainnya. Mereka ini wajib menaati pemimpin yang bertindak adil dalam menjalankan amanah mereka; kecuali bila pemimpin itu memerintah kepada maksiat; karena sama sekali tidak boleh taat kepada makhluk yang durhaka kepada Allah. Dan apabila berselisih faham dalam suatu persoalan, hendaklah mereka kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Seandainya pemimpin itu tidak berbuat demikian, maka taatlah kamu dalam hal-hal yang hanya dapat membawa taat kepada Allah saja, karena dengan begitu berarti kita telah menaati Allah dan Rasul-Nya, dan telah pula menunaikan kewajiban kepada pemimpin itu, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya:
“Bekerjasamalah kamu dalam hal kebaikan dan taqwa, dan jangan sekali-kali bekerjasama dalam hal dosa dan permusuhan.” (Al-Maaidah:2)

Manakala para pemimpin menjalankan perintah Al-Qur’an agar mereka menunaikan amanah dan menegakkan keadilan secara konsisten, maka niscaya akan terwujud harmoni antara politik Keadilan dengan kepemimpinan yang benar. [1]

Amanah, menurut Ibnu Taimiyah, ada dua macam, yakni:
Pertama, menempatkan seseorang dalam posisi atau jabatan tertentu berdasarkan kompetensi, bukan berdasar like and dislike (pilih kasih), atau karena kolusi, nepotisme, atau kroniisme, juga bukan berdasar ambisi atau obsesi.
Kedua, mengelola harta, mulai dari penerimaannya hingga pengeluarannya, secara transparan, auditable, accountable, serta dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i dan konstitusi; juga jauh dari perilaku koruptif, manipulatif dan hedonis. [2]


Sumber Kekuasaan ada pada Umat

Qiyadah adalah pemegang kekuasaan dalam sebuah institusi, dalam ke­dudukannya sebagai pemimpin bukan sebagai pribadi, selama umat tetap menempatkan dirinya pada jabatan tertinggi ini. Jabatan ini dimaksudkan agar ia dapat mengatur umat dengan hukum Allah dan syari'at-Nya serta membimbingnya ke jalan kemashlahatan dan kebaikan, mengurus kepentingannya secara jujur dan adil dan memimpinnya ke arah ke­hidupan mulia dan terhormat.

Sekali pun demikian, seorang qiyadah tetap merupakan salah seorang dari warga itu sendiri, tetapi ia dipercayai untuk mengatur urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, ia merupakan orang yang paling banyak tanggung jawab dan bebannya. Meskipun begitu, ia tidak dapat dengan semena-mena memerintah orang lain dan beranggapan tak ada lagi kekuasaan yang melebihi dirinya serta merasa sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan.

Allah Swt telah berfirman kepada Rasul-Nya:
"Berilah peringatan! Engkau sebenarnya hanya seorang pemberi peringatan. Engkau sama sekali bukan penguasa atas diri mereka." (Al-Ghasyiyah: 21-22)

"Kami lebih mengetahui perkataan mereka dan engkau sama sekali bukanlah pemaksa terhadap mereka. Karena itu berilah peringatan dengan Al-Qur'an terhadap orang yang takut kepada ancaman."( Qaf: 45)


Umar bin Khathab pernah berkata kepada salah seorang Gubernurnya, Abu Musa Al-Asy'ari, "Wahai Abu Musa, engkau seperti halnya orang-orang lain. Akan tetapi Allah menjadikan engkau memperoleh beban lebih berat."

Umar seorang yang oleh umat terkadang dirasakan bersikap sangat keras dan ketat dalam kebenaran, berkata kepada orang banyak: "Demi Allah, aku sama sekali bukanlah seorang raja, sehingga dengan kekuasaan dan tiraninya memperbudak kalian. Aku sama seperti halnya salah seorang di antara kalian. Kedudukanku terhadap kalian adalah seperti kedudukan seorang wali anak yatim yang memelihara diri dan hartanya."

Kalau khalifah, sebagai pemimpin tertinggi negara bukan sumber kekuasaan, lalu siapakah yang menjadi sumber kekuasaan ini?

Sumber kekuasaan adalah umat itu sendiri, bukan khalifah atau qiyadah. Karena khalifah adalah wakil umat untuk menangani kepentingan agama dan dunia selaras dengan syariat Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, kekuasaannya bersumber pada umat. Jika khalifah atau qiyadah berbuat salah, umat mempunyai hak untuk menasihati, meluruskan, dan mengoreksi, bahkan mempunyai hak untuk memecat bila terdapat alasan sah untuk bertindak demikian. Maka adalah logis kalau sumber kekuasaan tetap ada pada pemberi mandat, bukan pada pemegang mandat.

Demikianlah pendapat jumhur ahli Fikih dan ulama Fikih Siyasah dahulu maupun sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab Khalaf: "Kepemimpinan tertinggi statusnya di dalam pemerintahan Islam sama dengan kepemimpinan tertinggi dalam suatu pemerintahan yang berundang-undang dasar. Karena khalifah, kekuasaan­nya bersumber pada umat yang diwakili oleh lembaga "Ahlul Halli wal Aqdi". Kekuasaan ini berlanjut selama mendapat kepercayaan mereka dan kemampuannya untuk menjalankan kepentingan umat. Karena itulah para ulama Islam menetapkan bahwa umat punya hak memecat khalifah, bila ada alasan-alasan yang sah. Bilamana pemecatan dapat menimbulkan fitnah, maka boleh mengambil langkah untuk mempertimbangkan antara dua kerugian. [3]

Demikianlah, bahkan ada yang mendasarkan umat sebagai sumber kekuasaan pada hadits sebagai berikut:
"Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan."
Atau seperti tersebut pada riwayat lain: Hal ini berarti bahwa apabila umat bersepakat pada suatu pendapat, berarti pendapat itu benar dan wajib dilaksanakan. Karena muncul dari pihak yang menjadi sumber kekuasaan. Begitu juga, dalam soal ini ada yang berdalil bahwa terdapat banyak ayat Al-Qur'an yang memuat titah kepada kaum muslimin me­ngenai masalah-masalah umum. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan bahwa, kaum muslimin adalah sumber kekuasaan bagi para qiyadah dan juga sebagai pengawas terhadap para qiyadah. Atau dengan kata lain, umat merupakan sumber kekuasaan dan wewenang. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:
"Wahai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji janji kamu." "Tolong-­menolonglah kamu pada kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong- ­menolong dalam dosa dan permusuhan." "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak karena Allah, yaitu saksi-saksi yang adil. Dan janganlah kebencian kepada suatu kaum menjadikan kamu durhaka, sehingga berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena hal ini lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengawasi perbuatan-perbuatan kamu." (Al-Maidah:1, 2, dan 8)

Ayat-ayat semacam ini me­nunjukkan dengan jelas bahwa umatlah yang memikul tanggung jawab menegakkan agama, syariat Ilahi dan memelihara kemashlahatan umum. Hal ini berarti bahwa umat menjadi sumber kekuasaan tertinggi negara dan mengawasinya serta mengawasi para pejabat negara.

Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Utsman Khalil, bahwa Fikih Islam tidak menganggap pemimpin sebagai sumber kekuasaan, tetapi sumber kekuasaan ini di tangan umat itu sendiri yang dijalankan oleh pemimpin (qiyadah) dalam statusnya sebagai pemegang mandat atau pelayan. Karena itu, umat dapat memecat­nya, bila terdapat alasan-alasan sah untuk itu.

Secara keseluruhan berarti "umat sebagai sumber kekuasaan" dan hubungan antara umat dengan qiyadah adalah "kontrak politik", yang oleh kaum muslimin dinamakan "Mubaya'ah" (Bai’at). "Mubaya'ah" ini merupakan sesuatu yang hakiki, bukan bersifat simbol. Demikianlah pengertian kekuasaan yang benar pada masa modern ini.

Sekedar perbandingan, di dalam demokrasi sekular pun teori semacam ini, yaitu "kontrak politik" juga berkembang, yang kini mencapai fase paling modern, yaitu teori Jean Jacques Rousseau (1712-1778), yang merupakan teori paling baik dibanding dengan teori-teori lain masa lalu, terutama teori dua filsuf Inggris yang terkenal Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).

Jadi, kekuasaan itu adalah hak umat yang dilim­pahkan kepada Ulil Amri sebagai pihak yang wajib ditaati berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur'an, atau yang dalam istilah ahli fikih disebut "Ahlul Aqdi wal Halli". Oleh karena itu, siapakah sebenarnya golongan ini?

Allah Swt berfirman:
"Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta Ulil Amri di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah urusan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu adalah lebih baik dan langkah yang lebih tepat." (An-Nisa’:59)

Imam Al-Mawardi berpendapat, Ulil Amri adalah sekumpulan orang yang adil, berilmu, berwawasan dan bersikap bijak. [5]

Syaikh Rasyid Ridha menyatakan: "Pengertian Ulil Amri diper­selisihkan oleh para ulama. Sebagian berpendapat, mereka adalah para amir, dengan syarat tidak menyuruh berbuat yang haram. Sedangkan ayat di atas bersifat umum. Mereka membuat batasan pengertian semacam itu berdasarkan pada dalil-dalil lain, seperti hadits:
"Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk bila melakukan ke­durhakaan kepada Al-Khaliq."
"Ketaatan hanya pada hal-hal yang baik."

Sebagian lagi berpendapat, yang dimaksud adalah ulama. Akan tetapi para ulama ternyata berselisih. Lalu siapakah yang ditaati dan siapa yang ditinggalkan bila terjadi perbedaan-perbedaan penetapan hukum yang tidak terdapat nashnya secara tegas di dalam Kitabullah dan sunnah Rasul.

Sedangkan Syaikh Muhammad Abduh mengatakan: "Pandangan mengenai masalah ini sudah ada sejak dahulu kala, tetapi kemudian berakhir pada pengertian "Ahlul Halli wal Aqdi" dari kalangan umat Islam. Yang dimaksud ialah para amir, penguasa, ulama, komandan tentara dan semua para pemimpin yang menjadi tempat umat untuk meminta pertimbangan memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama. Bila orang-orang ini sepakat menetapkan suatu hal atau hukum, maka mereka wajib ditaati di dalam hal tersebut, dengan syarat mereka itu dari golongan kita sendiri dan keputusannya tidak bertentangan dengan perintah Allah dan sunnah Rasulullah saw serta menyangkut kemash­lahatan bersama, di mana Ulil Amri mempunyai wewenang untuk hal itu.

Adapun masalah-masalah ibadah dan segala yang menyangkut akidah agama, maka tak ada hubungannya dengan ketetapan Ahlul Halli wal Aqdi. Bahkan diambil langsung dari Allah dan Rasul-Nya semata-mata serta tidak seorang pun mempunyai hak untuk merumuskan pendapatnya kecuali sekedar pemahaman.

Jadi, Ahlul Halli wal Aqdi adalah dari kalangan orang-orang mukmin. Bila mereka menyepakati sesuatu hal yang menyangkut ke­pentingan umat yang tidak ada nashnya, maka mereka mempunyai hak untuk memilih, tanpa boleh dipaksa oleh kekuasaan seseorang atau pengaruh kekuasaannya. Maka mentaati "Ulil Amri" semacam ini adalah wajib. Oleh karena itu, perintah taat kepada mereka diberikan dalam bentuk umum, tanpa sesuatu syarat, dengan catatan sesuai dengan pengertian yang dimaksud oleh ayat tersebut. Sebagai contoh adalah lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Umar melalui musyawarah dengan tokoh-tokoh sahabat ahli pikir dan pem­bentukan lain-lain kepentingan yang dilakukan oleh "Ulil Amri" di kalangan sahabat yang sebelumnya tidak ada pada zaman Nabi saw dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat menentang tindakan semacam itu. [6]


Kedudukan Qiyadah dan Hubungannya dengan Umat

Qiyadah atau imam hanyalah seseorang yang dipilih oleh umat untuk menjadi mandataris dan menangani kepentingan serta kebutuhan umat. Karena itu umat berkewajiban untuk menyampaikan nasihat bila dipandang perlu. Bahkan ia wajib memberikan kontrol maupun bim­bingan. Selain itu, ia berhak memecatnya jika terdapat alasan-alasan yang sah, seperti halnya berlaku dalam hubungan seseorang terhadap orang lain yang diberinya mandat.

Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal adanya kedudukan istimewa seorang qiyadah terhadap umatnya. Yaitu suatu kedudukan yang mem­buatnya tidak memerlukan nasihat, bimbingan dan bebas dari kewajiban­-kewajiban tertentu yang berlaku kepada umatnya. Akan tetapi setiap orang Islam dalam pandangan Islam punya kewajiban dan hak yang sama. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: “Manusia itu semuanya sama seperti gigi seri.”

Qiyadah, dalam pandangan Islam sama sekali tidak mempunyai sifat ketuhanan. Dia bukanlah manusia "kudus" dan bebas dari dosa, juga tidak memiliki wewenang tunggal untuk menjelaskan dan menafsirkan ketentuan-keten­tuan agama dan tidak pula mempunyai kekuasaan terhadap diri orang lain. Akan tetapi ia hanyalah seseorang yang karena agamanya dan keadilannya memperoleh kepercayaan umat untuk menangani dan meng­urus kepentingan mereka berdasarkan perintah dan syari'at Allah.

Di dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh berkata: "Seorang Imam dalam pandangan Islam bukanlah manusia "maksum" dan pe­nerima wahyu serta sebagai orang yang punya wewenang tunggal untuk menafsirkan Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah saw. Di dalam Islam tidak ada yang dinamakan "kekuasaan keagamaan", yang ada hanya "kekuasaan memberi nasihat", mengajak kepada kebaikan dan memperingatkan agar menjauhi dosa. Kekuasaan semacam ini Allah berikan kepada orang Islam paling awam, untuk menegur orang yang paling tinggi kedudukannya sekalipun. Sebagaimana kekuasaan semacam ini diberikan kepada orang Islam yang paling tinggi kedudukannya terhadap yang paling awam. [7]

Oleh sebab itu, Islam memandang qiyadah atau imam sama saja dengan orang-orang lainnya. Yang membedakannya hanyalah karena kedudukannya memerintah atas nama umat. Ia memperoleh kehormatan dan kemuliaan lebih besar tetapi dengan tanggung jawab dan beban terberat di antara umat Islam.

Karena itulah khalifah pertama ketika menerima jabatan khilafah menyampaikan pidatonya kepada umat Islam dengan kata-katanya: "Aku diangkat memerintah kalian, tetapi aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, tolonglah aku. Dan jika aku salah, luruskanlah aku." Begitu juga Umar bin Khathab berpidato kepada kaum muslimin: "Bantulah aku dengan amar ma'ruf nahi munkar dan sampaikan nasihat kepadaku di dalam menangani urusan-urusan kalian yang Allah bebankan kepadaku." Sebagaimana halnya Umar mengatakan tentang dirinya dalam hubungan dengan penanganan harta kaum mus­limin, katanya: "Aku dan harta kalian adalah laksana seorang wali anak yatim. Kalau aku telah cukup, aku tidak akan mengambil harta itu. Tetapi kalau aku tidak ada, maka aku akan mengambilnya sekedar memenuhi kebutuhan. [8]

Atas dasar inilah seorang khalifah tidak melihat dirinya lebih dari yang lain, atau kedudukannya lebih tinggi dari sesama warga umat. Ibnu Jauzi meriwayatkan bahwa pernah Umar ditegur seseorang laki-laki yang berkata kepadanya: “Takutlah kepada Allah, wahai Amirul Mukminin!” Kemudian ada se­seorang menyahut: “Berani-beraninya engkau berkata seperti itu kepada Amirul Mukminin!” Lalu Umar berkata kepadanya: “Biarkanlah orang ini menyampaikan kata-katanya kepadaku. Sungguh baik kata-­katanya itu. Tidak ada lagi kebaikan di tengah kalian kalau kalian tidak lagi menyampaikan kata-kata seperti itu kepada kami. Dan tidak ada lagi kebaikan pada diri kamu, jika kami tidak mau menerima kata-kata itu dari kalian.” [9]

Dalam penegakan hukum pidana dan "qishash" terhadap pelaku ke­jahatan, Islam tidak membedakan antara penguasa, sekali pun seorang khalifah atau imam dengan rakyat. Setiap orang di mata syari'at Allah dan Rasul-Nya adalah sama.

Sebagai contoh, inilah kata-kata Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang sampai kini tetap bergaung: “Aku tidaklah mengangkat para pemimpin buat menindas kalian, merusak kehormatan kalian atau pun merampas harta kalian. Akan tetapi aku mengangkat mereka guna mengajari kalian dengan Kitab Tuhan kalian dan sunnah Nabi kalian. Maka, jika ada di antara mereka berlaku zhalim. hendaklah ia diadukan kepadaku, agar aku dapat menjatuhkan "qishash'' kepadanya.” [10]

Amr bin Ash ketika menjabat gubernur di Mesir, berkata: “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda akan menjatuhkan "qishash" kepada seorang amir yang melakukan pemukulan kepada seseorang rakyatnya demi mendidiknya?” Jawab Umar: “Mengapa aku tidak menjatuhkan "qishash" kepadanya, sedangkan aku pernah melihat Rasulullah saw menjatuhkan "qishash" kepada diri beliau sendiri.” [11]


Ibnu Atsir meriwayatkan bahwa Nabi saw ketika di akhir masa sakitnya keluar dari kamar Sayyidah Aisyah melewati Fadhal bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib sampai beliau tiba di mimbar lalu beliau duduk. Kemudian beliau membaca "hamdalah" dan pujian kepada Allah, lalu mengucapkan shalawat untuk sahabat-sahabat Uhud dan memintakan ampunan untuk mereka. Kemudian sabdanya: “Wahai manusia! Barang­siapa pernah kupukul punggungnya, maka inilah punggungku dan silahkan menuntut balas karenanya. Dan barangsiapa pernah aku lukai kehor­matannya, maka silahkan ia menuntut balas terhadapku karenanya. Dan barangsiapa pernah kuambil hartanya, maka inilah hartaku. Silahkan ia mengambilnya. Orang yang dendam kepadaku tidaklah perlu takut, sebab aku bukanlah orang-orang pendendam. Ketahuilah, bahwa orang yang paling cinta kepadaku di antara kalian adalah orang yang bersedia mengambil haknya yang ada padaku, atau ia menghalalkannya kepadaku, agar kelak aku bertemu dengan Tuhanku dengan hati tenang.” Kemudian beliau turun dari mimbar, lalu shalat Dhuhur. Lalu beliau naik ke mimbar dan mengulangi sabdanya semula. [12]

Demikianlah, Rasulullah saw meminta untuk diqishash oleh orang-orang yang punya hak untuk berbuat demikian atas diri beliau. Bagi kita, pribadi beliau adalah teladan terbaik seperti tersebut di dalam Al-Qur'an. Begitu pula yang pernah dilakukan oleh Abubakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, semua khalifah, amir dan gubernur yang mengikuti teladan mereka yang baik. Inilah yang diajarkan Islam, yaitu perlakuan sama di mata hukum atas segenap warga umat.

Para tokoh madzhab Fikih yang terkenal pun mengikuti prinsip ini dalam pendapatnya yaitu: kedudukan khalifah atau imam yang tertinggi, tidaklah bebas atau kebal dari hukuman jika ia melakukan tindak pidana, baik kejahatan atas jiwa atau pun harta benda. Ia dijatuhi hukuman "qishash" sama seperti halnya warga umat yang lain. [13]


Ketaatan Kepada Qiyadah Tidak Absolut

Ketika mewajibkan kepada umat agar menaati pemimpin, Islam tidak menjadikan ketaatan ini bersifat absolut. Sebab, ketaatan yang absolut itu mengakibatkan kekuasaan individualistis, tiranik dan diktator. Di samping itu, ketaatan seperti itu akan merusak kepribadian dan karakter umat, dan hal ini ditentang keras oleh Islam. Karenanya, Islam mewajibkan ketaatan kepada pemimpin dalam batas-batas, ikatan dan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Muhammad Abduh berpendapat bahwa, seorang imam atau qiyadah ditaati selama ia berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, sedangkan kaum muslimin melakukan kontrol terhadapnya. Jika ia keliru, maka dia diluruskan. Dan jika ia tersesat, ia diberi nasihat dan diberi peringatan. Karena tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam perbuatan mendurhakai Allah. Akan tetapi jika ia telah meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam tin­dakan-tindakannya, maka umat wajib menggantinya dengan orang lain, selama usaha penggantiannya tidak menimbulkan bahaya lebih besar.

Umat atau wakilnya yang mengangkat qiyadah (ahlul halli wal ‘aqdi), yang berhak me­lakukan pengawasan dan memecatnya bila dipandang perlu demi ke­mashlahatan. [14]

Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya:
Di antara jawaban yang indah adalah perkataan sebagian tabi’in kepada umara’ keturunan bani Umayyah, ketika dikatakan: “Bukankah Allah telah memerintahkan kalian untuk menaati kami di dalam firman-Nya: “… dan ulil amri di antara kalian?” Tabi’in balas bertanya, “Bukankah ketaatan itu telah dicabut dari kalian apabila kalian menyalahi kebenaran berdasar firman-Nya: “…Apabila kalian berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya, jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir?” [16]

Ath-Thaibi berpendapat, “Diulangnya fi’il dalam firman Allah: “dan taatilah rasul-Nya” menunjuk pada kewajiban menaati Rasulullah secara tersendiri (tidak dihubungkan dengan Allah). Sedangkan tidak diulangnya fi’il itu dalam menaati ulil amri menunjukkan, bahwa di antara mereka ada yang tidak wajib ditaati.

Kemudian hal ini diterangkan dengan firman-Nya: “…Apabila kalian berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya…” Di sini seolah dikatakan: Jika Ulil Amri tidak menjalankan kebenaran, maka janganlah kalian menaati mereka, dan kembalikanlah apa yang kalian perselisihkan kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.” [17]

Jadi, berdasar nash-nash tersebut di atas, umat wajib menaati pemimpinnya sebatas apabila mereka menerapkan syari’at Allah, menegakkan keadilan secara konsekuen dan konsisten, tidak melakukan maksiat kepada Allah serta tidak mengajak umat untuk bermaksiat kepada Allah Swt.


Pemakzulan Imam atau Qiyadah

Ketika seorang imam atau qiyadah yang tidak lagi dapat memenuhi syarat yang penting untuk menduduki jabatannya, seperti: tidak amanah dan tidak mampu menegakkan keadilan, maka ia semestinya diganti oleh orang lain. Tetapi untuk jabatan tertinggi dalam institusi Negara, tidaklah semudah itu menyelesaikannya. Sebab hal semacam itu dapat menimbulkan banyak fitnah terhadap umat, dan dapat merusak persatuan umat. Sesuai de­ngan kaidah ushul Fikih: "Bahwa bahaya yang lebih besar wajib dihilang­kan dengan resiko yang sekecil-kecilnya”. Sehingga dalam hal ini patut dipertimbangkan mana resiko yang lebih kecil untuk ditempuh, guna menyelesaikan persoalannya.

Sebelum memecahkan permasalahan ini, kita harus lebih dahulu memperoleh kejelasan masalah dan mencari solusinya sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. Kita harus selalu ingat bahwa Al-Qur'an mewajibkan taat kepada "Ulil Amri" atau imam. Rasulullah pun menegas­kan, menjelaskan dan menyatakan seberapa jauh kewajiban umat untuk tetap taat kepada imam dan bersabar dalam menghadapi kebijakan qiyadah yang tidak menyenangkan umat. Banyak hadits menerangkan hal semacam itu. Namun di sini akan dikemukakan beberapa saja, diantaranya:
“Barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disukainya dari seorang pemimpin, maka bersabarlah; karena barangsiapa yang membelot dari jama’ah sejengkal saja kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [17]

“Mendengar dan menaati (pemimpin) adalah wajib bagi seorang muslim, dalam hal yang ia sukai maupun yang tidak disukai, selama ia tidak diperintah dalam konteks maksiat. Apabila diperintah dalam konteks kemaksiatan, maka tidak wajib mendengar atau menaati.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi) [18]

“Barangsiapa melanggar janji setianya kepada Imam dan mati dalam keadaan demikian, maka pada Hari Kiamat ia akan menemui Allah tanpa mempunyai hujjah (argumentasi).” (HR. Ahmad) [19]

“Wajiblah engkau mendengar dan taat, dalam keadaan engkau sulit maupun mudah, dalam keadaan kau senang maupun terpaksa, dan engkau mengutamakan lebih dari dirimu.” (HR. Muslim) [20]
Disebutkan, bahwa Ubadah bin Shamit berkata: "Nabi saw mengundang kami, lalu kami membaiat beliau untuk mendengar dan menaatinya, baik ketika kami senang maupun terpaksa, ketika kami dalam kesulitan atau pun kemudahan, dan kami mengutamakan beliau lebih dari kami. Kami tidak boleh menentang perintah yang dikeluarkan oleh yang berwenang, kecuali bila “kalian melihat kekufuran yang nyata, dan ada bukti-bukti dari Kitabullah yang dapat kalian pegang.” (HR. Bukhari) [21]

Kita wajib memahami dan meneliti hadits-hadits tersebut dengan seksama, sehingga kita dapat menangkap makna yang semestinya, sebagaimana patut juga kita pertimbangkan hal-hal di bawah ini:

a. Kewajiban menjaga persatuan umat, menjauhi fitnah dan kekacauan, kecuali kalau keadaan sudah sangat memaksa.

b. Resiko yang lebih kecil wajib ditempuh untuk menghindari timbulnya bahaya yang lebih besar.

c. Pemberontakan terhadap khalifah Utsman dan penolakan beliau terhadap tuntutan para pemberontak untuk mengundurkan diri dari jabatan khilafah, kemudian tindakan orang-orang yang ingin menolong beliau dari usaha pembunuhan.

d. Beberapa sahabat yang menjauhkan diri dari kemelut peperangan antara Sayyidina Ali dan Mu'awiyah.

e. Sayyidina Husain keluar dari ketaatan kepada Yazid bin Mu'awiyah, khalifah kedua Bani Ummaiyyah. Kemudian disusul oleh Abdullah bin Zubair.

Hal-hal semacam ini, dan terutama sekali kejadian-kejadian sejarah masa lalu yang kita kenal dan kita ketahui, merupakan "rambu-rambu" dan petunjuk kepada kita dalam melakukan kajian yang benar. Oleh karena itu, kita wajib memahami, memperhatikan dan mengambil hikmah terhadap peristiwa-peristiwa yang kita ketahui.

Selanjutnya, jika Al-Qur'an mewajibkan taat kepada "Ulil Amri" dan Rasulullah menyuruh mentaati mereka selama tidak menyuruh berbuat dosa, serta menyuruh bersabar dan tidak melawan mereka, kecuali mereka berbuat kufur dengan terang-terangan; jika semacam ini keadaannya, maka kita harus memperhatikan secara cermat dan seksama, sehingga di dalam hal ini tidak ada seorang pun atau sekelompok orang yang berwenang untuk mengambil keputusan, bahwa khalifah atau qiyadah sesung­guhnya telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam salah satu tindakannya, sehingga dia tidak lagi wajib ditaati. Atau dengan kata lain, qiyadah telah melakukan kekufuran yang nyata, sehingga ia berhak untuk dilawan dan mengajak orang lain menarik diri dari menaatinya.

Persoalan ini telah dibicarakan oleh ulama-ulama Fiqih Siyasah. Juga dibicarakan oleh ulama-ulama ilmu Kalam. Di sini akan penulis ketengahkan pandangan Imam Mawardi ketika ia mem­bicarakan persoalan pertama, yaitu apa syarat seorang imam dapat dipecat atau dimakzulkan, dan umat boleh keluar dari kepemimpinannya. [22]

Apabila imam telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap umat seperti telah kita sebutkan di atas, maka berarti ia telah melak­sanakan kewajiban terhadap umat dan hak Allah yang telah diberikan kepada mereka. Oleh sebab itu, umat mempunyai dua kewajiban terhadap imam; taat dan membelanya, selama imam tidak berbuat melanggar. Pelanggaran imam yang dapat dijadikan alasan ia kehilangan hak imamah ada dua, yaitu tidak menegakkan keadilan dan mengalami cacat fisik.

Adapun perbuatan-perbuatan yang dikategorikan "tidak menegakkan keadilan" yaitu berbuat fasik. Hal ini dapat dibagi dua, yaitu mengikuti hawa nafsunya dan yang kedua, menyangkut hal yang "syubhat". Adapun yang berkaitan dengan jenis pertama yaitu melakukan perbuatan-perbuatan yang jelas terlarang dan berani melanggar yang munkar, karena menurutkan syahwat dan hawa nafsu. Perbuatan semacam ini adalah fasik, sehingga yang bersangkutan kehilangan wewenang keimamahan dan dilarang melanjutkan ke­pemimpinannya.

Qiyadah yang telah kehilangan wewenang keimamahannya, berarti telah lepas dari jabatannya. Dan sekiranya ia tidak bertaubat dari kefasikannya, maka tidak dengan otomatis keimamahannya kembali kepadanya, sebelum ada baiat baru. Akan tetapi menurut sebagian ulama ilmu Kalam keimamahannya otomatis kembali, tanpa perlu akad dan baiat baru bila ia taubat dari kefasikannya. Alasannya, karena mengadakan baiat baru sulit, dan adanya sifat umum pada pengertian kepemimpinan.

Adapun jenis kedua bertalian dengan akidah yang tak dapat ditafsirkan dengan cara-cara yang samar. Karena, jika diadakan penafsiran terhadap masalah akidah yang jelas, menyalahi kebenaran. Para ulama berpendapat, jika qiyadah melanggar hal semacam ini, maka ia dapat dilepas dan kehilangan hak meneruskan kepemimpinannya serta ia turun dari jabatan­nya. Karena, bila ia terbukti melakukan kekufuran, baik yang masih diperselisihkan atau pun sudah jelas, harus dipandang sama dengan berlaku fasik, baik yang masih diperselisihkan atau pun sudah jelas.

Selanjutnya, Mawardi dengan panjang lebar membahas syarat kedua yang dapat menyebabkan pemimpin turun dari jabatannya, yaitu karena cacat fisik. Cacat fisik ini boleh jadi akan mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak.

Hal yang terakhir itu bisa karena yang bersangkutan dikuasai, dibisiki oleh orang-orang di sekelilingnya hingga tidak dapat menangani tugasnya dengan mandiri dan objektif, sehingga dalam mengatur ke­bijaksanaan dan pengendalian umat, menyimpang dari keadilan dan hukum "syara'". Begitu pula kalau ia di bawah tekanan orang lain, seperti terikat oleh “perjanjian bawah tangan”, atau menjadi sandera pihak lawan, tanpa sanggup melepaskan diri dari mereka, baik musuhnya muslim maupun non-muslim.

Demikianlah, bila imam Mawardi membicarakan masalah pertama secara rinci, kapan imam kehilangan hak keimamahannya, akan tetapi dia sama sekali diam terhadap masalah kedua, yaitu kapan seharusnya umat berlaku sabar, dan kapan boleh melawannya dengan kekerasan, bila imam telah terbukti dia berhak untuk dipecat.

Dalam masalah ini kita akan mulai dengan pembicaraan bahwa para ulama, baik ahli Fikih maupun ahli Kalam dan lain-lain sepakat, bahwa imam yang karena sesuatu sebab patut untuk dipecat, maka ia harus dipecat, jika pelaksanaannya memungkinkan. Pendapat semacam ini setahu penulis tak ada yang menyanggah.

Bahkan dari pendapat-pendapat mereka yang kuat di dalam tulisan mereka tentang imamah menyatakan, bahwa orang yang berhasil merebut kedudukan khilafah dari khalifah yang berkuasa dipandang sah dan ia wajib diakui. Selain itu, ia wajib ditaati secara hukum, kalau ia memenuhi syarat-syarat sebagai imam. Tetapi jika ternyata tidak memenuhi syarat-­syaratnya, maka ia wajib ditaati sampai terpilihnya orang yang memenuhi syarat sebagai imam.

Jika semua ulama di dalam masalah ini bersepakat, namun mereka ternyata berselisih di dalam hal kewajiban berlaku sabar, menasihati dan meluruskan khalifah yang telah patut dipecat atau kewajiban me­nentangnya dengan kekuatan dan menggantinya dengan orang lain.

Menurut pendapat penulis, perselisihan di dalam masalah yang sangat penting ini, jika kita lakukan kajian pada nash dan fakta-fakta, maka hal ini timbul karena tiga sebab:

1. Adanya hadits-hadits Rasulullah yang menyuruh bersabar dan tidak membenarkan melawan para imam, sebelum mereka terbukti me­lakukan kekafiran terang-terangan.

2. Peristiwa-peristiwa sejarah pada masa Sahabat dan Tabi'in, yang ternyata dapat kita lihat bahwa terdapat beberapa Sahabat yang menentang sebagian khalifah Bani Ummaiyyah, karena mereka pandang melakukan kefasikan dan kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya didalam sikap dan perilakunya.

3. Begitu juga di dalam peris­tiwa-peristiwa sejarah tersebut kita melihat banyak Sahabat dan Tabi'in yang tidak mau menentang para imam semacam itu, tetapi mereka menjauhkan diri dari fitnah dan tidak mau membantu kaum penentang.

Demikianlah, sebab-sebab yang men­jadikan ulama dan ahli Fikih berselisih pendapat di dalam masalah ini. Sebagian membenarkan perlawanan, tetapi sebagian lagi mengharuskan bersabar. Tokoh yang berpendapat boleh menentang dan melawan kha­lifah dengan kekerasan jika ia menyimpang, adalah golongan Khawarij, Mu'tazilah dan Zaidiyyah. Sedangkan jumhur ahli hadits mengharuskan bersabar.

Imam Abul Hasan Al Asy'ari dalam masalah ini menyatakan: “Para ulama terbagi dalam empat pendapat mengenai perlawanan dengan senjata terhadap khalifah yang telah menyimpang. Golongan Mu'tazilah, Zaidiyyah, Khawarij dan mayoritas Mur­ji'ah menyatakan wajib, jika kita dapat menyingkirkan penguasa durhaka dan menegakkan kebenaran dengan pedang (senjata).”

Mereka beralasan dengan firman Allah berikut:
Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa.” (Al-Maaidah:2)

Maka perangilah orang-orang yang durhaka sampai mereka kembali kepada agama Allah.” (Al-Hujurat:9)

“Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zhalim.” (Al-Baqarah:124)

Abubakar Al-Asham (seorang Mu'tazili) dan orang-orang yang sepaham dengannya berkata: "Menyingkirkan imam yang durhaka dengan kekuatan bersenjata itu wajib, bila telah ditemukan imam yang adil sebagai penggantinya."

Akan tetapi beberapa ulama berpendapat: “Mengangkat senjata terhadap imam tidak sah. Sebab imam itu adakalanya adil dan adakalanya tidak adil. Kita tidak punya hak untuk memecatnya, sekali pun ia fasik. Mereka menolak gerakan melawan Imam dan tidak membenarkannya. Pendapat ini dikemukakan oleh ahli-ahli hadits.” [23]

Asy'ari menyebutkan pada tulisan-tulisannya yang lain, bahwa seluruh golongan Zaidiyyah berpendapat, boleh mengangkat senjata terhadap para imam yang durhaka, untuk menghilangkan perbuatan zhalim dan menegakkan kebenaran. Mereka juga berpendapat, bahwa shalat di belakang orang yang durhaka tidak sah. Dan hanya shalat di belakang orang yang tidak fasiklah yang sah. [24]

Masalah ini dibahas oleh Ibnu Hazm ketika membicarakan “amr ma'ruf nahi munkar”. Ia dengan panjang lebar menjelaskan pendapatnya yang mengatakan: wajib menentang imam yang menyimpang. Bahkan orang yang bersikap sabar terhadap imam semacam ini telah berbuat dosa, dan dinilai sama dengan membantu kezhalimannya. Begitu juga beliau mengulas hadits-hadits yang memerintahkan bersabar ter­hadap imam yang dzalim. [25]

Pertama, ia menyebutkan, bahwa telah menjadi “ijma’”, bila umat wajib melakukan “amar ma'ruf nahi munkar”. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan kewajiban ini, para ulama berbeda pendapat. Para sahabat dahulu dan orang-orang yang datang kemudian dari kalangan Ahlus Sunnah, seperti Ahmad bin Hambal, Sa'ad bin Abi Waqash, Usamah bin Zaid, Ibnu Umar, Muhammad bin Maslamah dan lain-lain berpendapat, pada dasarnya tidak dibenarkan dengan cara kekuatan atau dengan cara menghunus pedang. Sunnah di dalam hal ini mengikuti jejak Utsman bin Affan dan kalangan sahabat yang tidak membenarkan penggunaan kekerasan.

Tetapi segolongan kecil Ahlus Sunnah, seluruh Mu'tazilah, Khawarij, dan Zaidiyyah menyatakan wajib menggunakan pedang di dalam me­lakukan "amar ma'ruf nahi munkar", bila tak ada jalan lain. Mereka berkata: “Bila penegak kebenaran dapat melakukan serangan dan diper­hitungkan tidak akan kalah, maka mereka diwajibkan bertindak demikian. Tetapi jika jumlah mereka kecil dan diperhitungkan tidak akan menang, maka dibenarkan untuk tidak menggunakan kekerasan.”

Pendapat ini juga dikemukakan Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang menjadi pendukung beliau. Juga pendapat Aisyah, Thalhah, Zubair, dan para sahabat yang menjadi pendukungnya, Mu'awiyah, Amr bin Ash, Nu'man bin Basyir dan para sahabat yang menjadi pendukung mereka.
Begitu pula pendapat golongan yang telah melakukan perlawanan terhadap khalifah Bani Ummaiyyah dan Abbasiyyah dan semua golongan yang mendukung mereka untuk menggunakan kekerasan me­lawan khalifah yang durhaka. Misalnya, Imam Husain bin Ali yang melawan Yazid bin Mu'awiyah dan Abdullah bin Zubair yang mem­berontak Abdul Malik bin Marwan.

Selanjutnya, Ibnu Hazm mengakhiri keterangannya dengan pen­dapat dari orang-orang yang menyatakan sebagai berikut: Sebagaimana ditunjukkan oleh pendapat-pendapat ahli Fikih, seperti; Abu Hanifah, Syuraik, Malik, Syafi'i, Dawud bin Ali Al-Asfahani [26] dan para murid mereka, bahwa masing-masing pihak yang kami sebutkan, baik dari golongan lama maupun baru, apakah mereka nyatakan dengan fatwa atau dengan kekuatan bersenjata, sepakat melawan perbuatan yang mereka pan­dang sebagai munkar.

Ibnu Hazm tidak puas sekedar mengetengahkan kedua kelompok yang saling berbeda pendapat dan kelompok yang membenarkan mem­berontak. Tetapi ia lebih jauh melakukan ulasan terhadap pandangan kedua kelompok sebagai berikut:

Golongan tersebut ini, pertama berdalil dengan hadits-hadits, antara lain:
"Wahai Rasulullah, apakah kami bolehi memerangi mereka (para imam)?"
Jawabnya: tidak, selama mereka shalat.”

“...kecuali kalau kamu melihat kekufuran yang jelas, yang kamu mempunyai bukti-bukti dari Kitabullah.”

Jadilah hamba Allah yang terbunuh, jangan menjadi hamba Allah yang pembunuh.”

Jika kamu khawatir kilatan pedang membinasakan kamu, maka tutupkanlah bajumu pada wajahmu dan katakanlah aku ingin karena dosaku dan dosamu engkau menyediakan tempat kembali, sehingga kamu menjadi ahli neraka.”

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa golongan tersebut tidak memiliki dalil yang kuat sebagai dasar pendapat-pendapatnya. Karena Rasulullah saw tidak mungkin menyuruh bersabar menghadapi perbuatan yang merugikan itu menimpa harta atau diri seorang muslim. Begitu juga suatu hal yang mustahil sabda beliau bertentangan dengan firman Allah. Padahal Allah berfirman pada QS. 5 : 2:
Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”

Bila permasalahannya jelas seperti ini, yaitu setiap muslim yang mengetahui bahwa mengambil harta seorang muslim dengan cara dosa dan permusuhan tidak benar, maka perbuatan-perbuatan tersebut haram dan orang yang me­lakukannya wajib dilawan. Kalau begitu, seseorang yang diambil hartanya secara zhalim atau dipukul dirinya secara zhalim, padahal dia mampu melawannya dengan cara apa pun yang mungkin, tetapi tidak melawan, berarti ia menolong pelaku kezhaliman dalam berbuat dosa dan per­musuhan. Sikap semacam ini adalah haram berdasarkan nash Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah.

Rasulullah saw telah bersabda:
Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak sanggup, dengan lisannya, jika ia tidak sanggup, dengan hatinya. Dan hal semacam ini adalah iman yang paling lemah.”

”Tidak ada ketaatan pada perbuatan dosa.”


Barangsiapa terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid. Dan orang yang terbunuh karena membela agamanya, maka dia syahid. Dan orang yang terbunuh karena melawan penganiayaan, adalah syahid.”

Dalam menyikapi dalil-dalil tersebut di atas yang “seolah saling bertentangan”, Ibnu Hazm ber pendapat:
“Hadits-hadits tersebut pada zhahirnya bertentangan satu lama lain. Sehingga benarlah jika dikatakan bahwa salah satu dari dua kelompok hadits tersebut sebagai "penasakh", tidak ada cara lain. Tetapi yang perlu diperhatikan mana di antara dua kelompok hadits tersebut yang menjadi penasakh. Hadits-hadits yang berisikan larangan berperang sejalan dengan keadaan pokok ketika pertama kali Islam muncul di Makkah. Tetapi hadits-hadits kelompok lain telah datang dengan syariat baru yaitu perang. Dan hal ini tidak diragukan kebenarannya.

Hadits-hadits tersebut maknanya sah, tetapi ketika Nabi menyab­dakan hadits-hadits yang lain, tidak diragukan lagi, maka hukum hadits-­hadits yang pertama terhapus. Adalah suatu hal yang mustahil meng­gunakan ketentuan yang "mansukh" dan meninggalkan keyakinan. Barang­siapa yang beranggapan bahwa hadits-hadits yang telah menjadi penasakh bisa berubah menjadi yang dimansukh, berarti anggapannya batil, meng­ikuti sesuatu tanpa ilmu dan melakukan kebodohan atas nama agama serta berbuat tidak halal.

Sekiranya hal semacam ini benar, niscaya Allah memberikan dalil dan keterangan yang menjelaskan kebenaran pemakaian "mansukh" men­jadi "nasikh". Karena dalam firman-Nya: QS. 16:89 dinyatakan:
“...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu....”
Dalil lain yaitu firman Allah QS. 49:9 yang menyatakan: Tak seorang muslim pun memperselisihkan ayat yang me­wajibkan memerangi kelompok yang zhalim sebagai ayat "muhkamat" yang tak dapat dimansukhkan. Maka jelaslah bahwa ayat ini menjadi penguat hadits-hadits semakna dengan ayat ini, sehingga hadits-hadits tersebut menjadi penasakh yang kuat. Sedangkan hadits-hadits yang bertentangan dengan ayat ini yang merupakan ketentuan yang dimansukh."Rasulullah saw bersabda:Hadits ini sah. Kami riwayatkan dengan sanad-sanad yang kuat, dari Anas bin Malik dari Abubakar Ash-Shiddiq dari Rasulullah saw.Hadits ini membatalkan penafsiran orang-orang yang menafsir­kan hadits-hadits yang menyatakan berperang membela harta hanya dimaksudkan melawan pencuri. Oleh karena itu, seandainya para pem­bela kebenaran bersatu, niscaya pendukung kebatilan tidak punya ke­kuatan. []Mengenai ciri umat ini, Allah telah menyebutkan dengan firman-Nya:Yaitu umat Allah yang jadikan sebagai tolok ukur kebenaran dan ditempatkan pada kedudukan sebagai pimpinan dan teladan bagi seluruh manusia. Tidak ada umat yang punya posisi semacam ini patut menerima perlakuan rendah dalam segala urusannya dan berdiam diri terhadap qiyadah yang merampas martabatnya dan melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan ia sanggup untuk memecatnya dan menggantinya dengan orang lain.Walaupun memilih pendapat ini, namun penulis harus mem­batasinya dengan suatu syarat, yaitu bahwa pendapat yang membenarkan melakukan perlawanan bersenjata kepada imam yang patut dipecat, harus punya kemampuan penuh dan menjaga persatuan umat dengan sekuat-kuatnya serta wajib menjauhkan tindakan yang menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah yang tidak perlu.Yang jelas Rasulullah saw telah mengingatkan:Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan dari isi hadits-­hadits yang bertalian dengan obyek kajian ini. Ada empat prinsip yang jelas, yaitu:, bahwa imam atau qiyadah sebagai mandataris umat, mempunyai hak untuk ditaati oleh semua umatnya., apabila qiyadah mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang dengan jelas menurut syara' memuat hal-hal berbau maksiat dan menyusahkan umat, maka umat tidak ada kewajiban taat dan mendengarkan peraturan atau kebijakan semacam itu., apabila qiyadah bersikap terang-terangan melawan nilai-nilai Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka sikap semacam ini dinilai sebagai kekufuran terang-terangan. Dan perbuatan semacam ini merupakan alasan pen­cabutan kekuasaan dari tangannya serta pemecatannya., pencabutan kekuasaan dari tangan imam tidak dapat dilakukan dengan revolusi bersenjata. Karena Rasulullah saw mengingatkan kita agar menghindarkan penggunaan senjata semacam ini, sebagaimana beliau sabdakan: Dan sabdanya pula: Dengan demikian jelaslah, bahwa Rasulullah saw menyuruh kaum muslimin menolak mematuhi perintah-perintah qiyadah yang berten­tangan dengan ketentuan syari'at, dan bila tindakan qiyadah telah mencapai tingkat kekufuran, mereka diperintah memecat qiyadah.

“Aku memohon kepada Tuhanku supaya umatku jangan bersepakat dalam kesesatan dan diperkenankan permohonanku"

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak kamu atau para kerabat kamu. Jika ia seorang kaya atau miskin, maka Allah lebih utama daripada mereka. Karena itu janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu berlaku tidak adil." (An-Nisa': 35)


“Dan jika dua golongan orang-orang beriman saling membunuh, maka damaikan­lah keduanya. Tetapi bila yang satu melewati batas terhadap lainnya, maka perangilah pihak yang melewati batas sampai kembali kepada kebenaran.”




Seorang muslim saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh me­nyerahkannya kepada musuh dan tidak boleh menzhaliminya.”



Kalian adalah umat terbaik yang ditampilkan kepada umat manusia, karena kalian menyuruh perbuatan ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran:110)





Pemimpin kalian yang baik adalah pemimpin yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sedangkan pemimpin kalian yang jahat adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan pedang?” Jawab beliau: “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Dan apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka bencilah perbuatannya.” (HR. Muslim) [28]



Pertama

Kedua

Ketiga

Keempat“Barang­siapa mengacungkan senjatanya kepada kami, maka dia bukan golongan kami.” “Barangsiapa menghunuskan pedangnya ke­pada kami, maka dia bukan dari golongan kami.”



Wallahu a’lam bish-shawwab.

1. bnu Taimiah, As-SiyasahAsy-Syar 'iyyah (edisi Dar al-Sha'b),hlm.2.

2. Ibid, hlm 3-31.





3. Abdul Wahhab Khalaf, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, hal. 58.

4. Hadits ini terdapat dalam MusnadAhmad bin Hambal dan lain-lain dalam kitab-kitab hadits.




5. Al-Mawardi, Al-Ahkamus-Sulthaniyyah,hal. 4. Baca juga: Tafsir AI-Manar,5:180 dan seterusnya.

6. Muhammad Abduh, Al-Islam wan-Nashraniyyah, hal. 63-65.

7. Ibid hal. 66

8. Baca: Qadhi Abi Yusuf , Kitabul Kharraj , hal 140-141

9. Sirah Umar bin Khatab, hal.135

10. Ibnu Sa'ad, 3 : 281 dan 293.

11. Sirah Umar bin Khathab, hal.135.

12. Tarikhul Kamil, 2:121.

13. Matan AI-Kanzu, dan syarahnya, Zaila'iy, 3 : 187.


14. Muhammad Abduh, Al-Islam wan-Nashraniyyah, hal. 63-65.

15. Fathul Baari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, 16/228.

16. Ibid.

17. Shahih Bukhari, dalam kitab “Al-Fitan”; ShahihMuslim, dalam kitab “Al-Fitan”.

18. Shahih Bukhari, 5/23; Muslim, 3/1466; Ibnu Majah,2/956; Tirmidzi, 4/209.

19. Ahmad di dalam Musnad, 3/445.

20. Shahih Muslim bi Syarh An-nawawi,12/223.

21. Imam lbnu Hajar di dalam "Syarh Shahih Bukhari"menjelaskan "kekafiran" yang dimaksud dalam hadits ini,y aitu bilamana khalifah atau imam jelas-jelas melakukan tindakan kekafiran yang tak dapat disalahtafsirkan, maka imam yang semacam ini dapat dipecat atau dilawan.
Juga ada yang mengartikan "kekafiran" dalam hadits ini dengan arti "berbuat maksiat", seperti tersebut pada beberap ariwayat, yang dilakukan di luar urusan ke­khilafahan. Maksudnya apabila khalifah terlihat melakukan dosa, maka ia boleh ditentang dan diluruskan dengan cara tanpa kekerasan.
Imam Nawawi di dalam "Syarh Shahih Muslim" menyebutkan,"Para amir boleh ditentang dan ditolak perintahnya, jika ia terlihat jelas-jelas berbuat munkar. Jika kalian melihat mereka berbuat semacam ini, maka kalian berhak menentangnya dan menyatakan teguran dimana saja kalian berada."
Adapun memberontak dan membunuh mereka adalah haram, sekalipun mereka berbuat fasik dan dhalim. Diharamkan tindakan semacam itu, karena,dapat menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah. Demikianlah pendapa jumhur ulama. Bahkan Abu bakar bin Mujahid mengklaim, bahwa pendapat ini merupakan "ijma'". Tetapi pengakuan ini terbantah oleh fakta perlawanan Husain, Ibnu Zubair dan penduduk Madinah terhadap Bani Ummaiyyah dan kelompok mayoritas 'Tabi'in" dan angkatan pertama sahabat bersama Ibnul-Asy'ats terhadap Gubernur AI-Hajjaj.

22. Al-Mawardi, Al-Ahkamus-Sulthaniyyah, hal. 16 dan seterusnya.

23. Maqalatul-Islamiyyin, 2 : 450 - 452.

24. Ibid, 1 : 47.

25. Al-Fashl, 4:171-174.

26. Wafat tahun 270 H. Pendiri madzhab Dhahiri. Tokoh madzhab inisetelah pendirinya adalah All bin Sa'id bin Hazm Al-Andalusia, wafat456 H.

27. Al-Fashl, 4 : 173 - 174.
28. Shahih Muslim, kitab “Imarah”, bab :”wajibhukumnya mengingkari perintah pemimpin yang menyalahi ajaran agama.” 
[Syamsul Balda]
 
Support : Al-Mustaqbal.Net | Jamaah Tarbiyah | Ansar Mujahideen
Copyright © 2013. Catatan Anak Mushola Di Pontianak - All Rights Reserved
Saya hanya berusaha menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi
dengan kapasitas ilmu yang saya miliki