Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.
Ada sebuah kesalahan pemikiran besar yang melanda gerakan-gerakan
perjuangan Islam selama ini, baik di tingkat Indonesia maupun dunia. Hal
ini berkaitan dengan masalah besar, yaitu momentum kemenangan Islam.
Selama ini banyak gerakan Islam, jamaah dakwah, partai Islam,
organisasi, lembaga, yayasan, dll. yang berjuang di bawah bendera Islam.
Semua berjuang demi kemenangan Islam. Semua menjanjikan kepada para
anggotanya, “Insya Allah, perjuangan ini akan mencapai kemenangan. Allah
bersama kita, Dia akan menolong kita meraih kemenangan.” Tetapi ketika
ditanya, “Kapan kemenangan Islam itu akan tercapai?”
Sebagian besar tidak bisa memberikan jawaban tegas. Jawabannya rata-rata
mengambang, tidak pasti, spekulatif, atau penuh prasangka.
Ketika seorang Muslim secara ikhlas bertanya, “Ustadz, kita telah
sekian lama berjuang. Sebenarnya perjuangan ini akan kemana? Kapankah
kita mendapatkan kemenangan seperti yang sering Ustadz gambarkan itu?”
Jawaban yang sangat umum diberikan, antara lain:
§ “Sabarlah Akhi. Perjuangan itu tidak mudah. Butuh
kesabaran panjang. Kemenangan tidak bisa diukur dengan usia generasi.
Mungkin saja di generasi kita belum tercapai kemenangan. Nanti di
generasi anak-cucu kita, bisa jadi kemenangan itu akan tercapai.”
§ “Berhati-hatilah, wahai Akhi! Anda sudah
terpengaruh pemikiran-pemikiran isti’jal (buru-buru ingin cepat menang).
Padahal Nabi Saw sudah mengingatkan, agar kita tidak isti’jal. Kita
harus sabar menanti, sabar, dan terus bersabar. Tidak mengapa kita
bersabar menanti, sampai Hari Kiamat terjadi. Bukankah orang shabar
dicintai Tuhan?”
§ “Bisa jadi kita akan mencapai kemenangan setelah
berjuang selama 50 tahun, atau 100 tahun, atau 300 tahun, atau 500
tahun, bahkan bisa jadi 1000 tahun lagi. Berdoalah supaya Anda panjang
umur, sehingga bisa melihat kemenangan pada 1000 tahun ke depan. Oke?”
§ “Anda tidak usah bertanya, kapan kemenangan itu
akan tercapai? Tugas kita bukan mencapai kemenangan. Tugas kita hanya
beramal, beramal, beramal thok. Pokoknya, hapuskan impian
kemenangan dari otak kita. Muslim yang baik, dia tidak punya obsesi
kemenangan. Dia cukup beramal dan beramal saja. Diberi kemenangan
syukur, tidak diberi kemenangan sabar. Mudah kan?
§ “Anak-anak muda selalu terburu-buru. Mereka ingin
cepat-cepat memetik hasil. Terburu-buru itu adalah sifat syaitan, jangan
diikuti. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “Siapa yang tergesa
ingin memetik hasil, dia akan dihukum dengan ketidak-sempurnaan hasil
yang dicapai.” Perjuangan ini harus dijalani dengan penuh kesabaran.
Mungkin, kita butuh waktu antara 5000 sampai 6000 tahun untuk mencapai
kemenangan. Ketika kemenangan itu tercapai, bisa jadi diri kita sudah
menjadi debu-debu yang berterbangan di angkasa.”
§ “Inti perjuangan kita ialah membina tauhid. Bina
tauhid terus-menerus. Jangan pikirkan apapun, selain tauhid. Kalau
tauhid sudah bersih dan murni, nanti kemenangan akan datang sendiri.
Persoalan tauhid itu apa, bagaimana sifatnya, bagaimana batasannya,
bagaimana cara mencapainya? Tidak usah dipikirkan, yang penting ngomong
saja tauhid, tauhid, dan tauhid.”
Pemikiran-pemikiran seperti itu telah mendominasi sebagian besar
pemikiran gerakan-gerakan Islam. Baik aktivis, dai, ustadz, tokoh ormas,
syaikh, doktor Islam, dll. rata-rata terpaku oleh pemikiran-pemikiran
seperti itu. Padahal kalau jujur, pemikiran-pemikiran seperti itu TIDAK
ISLAMI, tidak memiliki landasan kuat dalam khazanah keislaman, bahkan
mencerminkan pendapat yang mengandung kebohongan dan penyesatan. Sudah
seharusnya pandangan-pandangan seperti itu direvisi dengan yang lebih
baik, dan lebih sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.
Di bawah ini adalah bantahan tegas terhadap pemikiran-pemikiran
seperti di atas. Semoga paparan ini –dengan ijin Allah- bermanfaat bagi
Ummat. Amin.
[1] Islam adalah ajaran agama yang jelas, nyata, dan
kongkrit. Dalam Al Qur’an, Islam disifati sebagai al huda, al ‘ilmu, al
bashirah, an nuur, al baiyinah, al haqqul mubin, al furqan, dll. Dalam
hadits, Rasulullah Saw menyebut Islam dengan ungkapan al baidha’
(lentera yang terang). Di awal Surat Al Baqarah disebut, “Dzalikal
kitabu laa raiba fihi.” Semua itu mencerminkan sesuatu yang jelas, pasti
hasilnya, nyata pengaruhnya, terarah prosesnya. Islam bukanlah agama gambling, spekulatif, penuh praduga. Islam itu pasti, jelas, dan nyata.
[2] Momen kemenangan yang mengambang, tidak jelas,
atau digantungkan sampai ratusan tahun, bahkan ribuan tahun; hal itu
membuat kaum Muslimin berkesimpulan bahwa Islam adalam agama UTOPIA,
agama mimpi-mimpi belaka, agama “menara gading”. Ini adalah tidak benar.
Ini adalah fitnah besar terhadap Islam. Setidaknya, dalam 3 ayat Al
Qur’an disebutkan, “Huwalladzi arsala Rasulahu bil huda wa dinil haqqi li yuzh-hirahu ‘alad dini kullihi”
(Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang benar, untuk Dia menangkan agama itu atas segala macam agama
manusia). Ayat ini sangat tegas membantah anggapan bahwa Islam itu
utopia. Kesan utopia muncul karena kesalahan dari pemikiran-pemikiran
seperti di atas.
[3] Dalam berbagai kesempatan, kaum Muslimin
diingatkan agar berhati-hati dalam masalah waktu. Kita harus menghargai
waktu, jangan buang-buang waktu. Kehidupan harus ditata dengan cermat,
dengan perhitungan waktu yang teliti. Sampai ada ungkapan, “Al waqtu kas saif, in lam taq-tha’hu faqatha-aka”
(Waktu itu seperti pedang, kalau engkau tidak mempergunakannya, engkau
akan dipotong oleh waktu itu). Adalah suatu hal yang aneh. Dalam segala
urusan kita menekankan pentingnya menghargai waktu. Tetapi saat bicara
masalah sangat krusial, yaitu momen kemenangan Islam, seolah semua orang
ingin membuang-buang waktu sesuka hati. Bukankah semakin lama
perjuangan digulirkan, semakin panjang proses dijalani, berarti semakin
besar energi kehidupan yang dikeluarkan? Apakah semua itu bukan
pemborosan dalam kehidupan seorang Muslim?
[4] Dalam Surat Al Isra’
ayat 27 disebutkan, bahwa orang-orang yang boros itu termasuk
teman-teman syaitan. Mereka bisa jadi termasuk orang yang suka boros
harta, boros tenaga, boros waktu, boros peluang, boros proses, boros
bicara, boros konsep, boros belajar, boros informasi, dan sebagainya.
Seharusnya, pejuang-pejuang Islam berpikir, semakin lama proses
perjuangan mereka, semakin banyak energi disia-siakan percuma. Semua itu
adalah keborosan yang tercela. Pernahkah Rasulullah Saw mencontohkan
sikap boros harta, boros waktu, boros proses, boros bicara, boros rapat,
boros mukmatar, dll.? Tidak pernah!
[5] Dalam banyak kesempatan, Allah Ta’ala menyebut
kemenangan Islam dengan ungkapan yang sangat tegas. Di awal Surat Al
Fath disebutkan, “Innaa fatahna laka fathan mubina”
(sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata).
Masih dari Surat Al Fath ayat 27 disebutkan janji kemenangan dari Allah
dengan ungkapan “fathan qariban” (kemenangan yang dekat). Dalam Surat As Shaaf ayat 13, disebutkan ayat yang berbunyi, “nashrun minallahi wa fathun qariib”
(pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat). Lebih jelas lagi,
dalam Surat Al Baqarah ayat 214 disebutkan ayat berikut, “Alaa inna nashrallahi qariib”
(ketahuilah, bahwasanya pertolongan Allah itu sudah dekat). Semua
ayat-ayat ini menunjukkan sifat kemenangan yang pasti, nyata, DEKAT
waktunya, dan semua itu membahagiaan orang-orang beriman. Al Qur’an
tidak pernah memakai istilah fathan ba’idan (kemenangan yang jauh), fathun laa yumkinu syai’in (kemenangan yang tidak mungkin sama sekali), atau fathun laa yuballigh ilaihi (kemenangan yang tidak pernah tercapai).
[6] Dalam Surat Al Ahzab ayat 21 disebutkan, bahwa
dalam diri Rasulullah Saw ada suri tauladan yang baik, bagi yang
mengharapkan Allah, kedatangan Hari Akhirat, dan banyak berdzikir
mengingati Allah. Rasulullah Saw juga diteladani dalam perjuangan
beliau. Lalu berapa lama Rasulullah berjuang, sejak awal sampai memetik
kemenangan? Apakah 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun, 500 tahun, atau 1000
tahun? Ternyata, perjuangan itu total dijalani Rasulullah Saw selama 23
tahun. Ini adalah benar-benar proses kemenangan yang sangat cepat. Ia
sama dengan waktu seseorang sekolah dari kelas 1 SD sampai lulus
sarjana. Kalau kita mengaku mengikuti Sunnah Nabi, mengaku ber-qudwah
dengan perjuangan beliau, seharusnya jangan terlalu jauh dari waktu 23
tahun itu. Lalu masih adakah akal-akal jujur yang mau mengakui kesalahan
pemikirannya secara ksatria?
[7] Para Shahabat Ra. bersedia mati-matian membela
perjuangan Rasulullah Saw, bukan hanya karena dorongan iman semata.
Tetapi mereka juga sangat termotivasi oleh janji Rasulullah Saw, bahwa
Allah akan memberikan kemenangan yang dekat. Hal itu terbukti ketika
tahun 6 hijriyah, Rasulullah Saw mengajak para Shahabat berangkat menuju
Makkah, untuk menunaikan Umrah. Hal itu dilakukan setelah Nabi bermimpi
bisa melaksanakan Haji-Umrah di Makkah. Ternyata, sebelum sampai
Makkah, Rasulullah Saw menanda-tangani perjanjian Hudaibiyah dengan
orang-orang Makkah. Dalam perjanjian itu, kaum Muslimin belum boleh
melaksanakan Umrah ke Makkah. Hal ini membuat para Shahabat kecewa,
karena sudah merasa dijanjikan akan masuk ke Makkah (mendapat
kemenangan). Dan kemudian sejarah mencatat, Kota Makkah jatuh ke tangan
kaum Muslimin 2 tahun setelah perjanjian Hudaibiyah, tepatnya pada tahun
8 hijriyah. Ini adalah fakta sejarah yang nyata, bahwa para Shahabat Ra
termotivasi oleh janji kemenangan itu. Andaikan Rasulullah mengatakan,
“Kemenangan akan tercapai 1000 tahun lagi,” pasti para Shahabat akan
kehilangan kepercayaan, atau melemah motivasinya.
[8] Cita-cita meraih kemenangan yang terlalu lama,
terlalu jauh, dan sangat tidak jelas; hal itu akan mematikan motivasi
orang-orang yang berjuang. Mereka semakin berkecil hati, semakin tidak
mempercayai agamanya, semakin tidak tertarik dengan janji-janji
perjuangan. Sebab, mereka terlibat dalam perjuangan karena menghadapi
aneka masalah, dan berharap ada solusi dengan Islam. Namun bila janji
kemenangan Islam akan tercapai setelah 200, 500, atau 1000 tahun lagi,
pasti hati-hati mereka akan akan sangat kecewa. “Katanya Islam adalah
solusi. Kok menunggu kemenangannya lama sekali? Sampai kapan kita akan
terus menunggu?”
[9] Sudah menjadi tabiat manusia dari generasi ke
generasi. Setiap jaman kerap kali membawa tantangan dan permasalahan
berbeda. Apa yang terjadi di tahun 1940-an berbeda dengan tahun 1950-an,
berbeda dengan tahun 1970-an, berbeda dengan tahun 2000-an, dan berbeda
dengan tahun 2010-an. Melama-lamakan proses perjuangan, justru akan
menggagalkan perjuangan itu sendiri. Ketika waktu berubah, tantangan
berubah, tabiat manusia berubah; maka target yang dicanangkan pada 20
tahun lalu, 30 tahun lalu, atau 40 tahun lalu, bisa berubah karena
terjadi perubahan kondisi. Sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri, para
pejuang Islam ketika di usia mudanya mereka sangat militan, berani, dan
bersemangat tinggi. Tetapi semakin tua dan keadaan keluarga kian
komplek, militansi pun ikut luruh. Jika perjuangan dijalankan sampai
bergenerasi-generasi, dapat dipastikan semangat mewujudkan perubahan
total itu akan padam perlahan-lahan.
[10] Kalau membaca sejarah-sejarah besar yang
ditorehkan di masa Khulafaur Rasyidin Ra, di masa Umar bin Abdul ‘Aziz
rahimahullah, pembukaan Andalusia oleh Thariq bin Ziyad dan Abdurrahman
Al Umawy, kemenangan Shalahuddin Al Ayyubi dalam Perang Salib, ketika
Muhammad Al Fatih merebut Konstantinopel, perjuangan Syaikh Ibnu Abdul
Wahhab At Tamimi di Jazirah Arab, dll. Semua momen sejarah itu selalu
diselesaikan dalam masa SATU GENERASI saat tokohnya masih hidup. Ketika
sampai di generasi kemudian, tinggal diwariskan atau diteruskan saja.
Hal ini menjadi bukti sejarah, bahwa perjuangan Islam untuk mengubah
peradaban manusia, tidak berlangsung berlarut-larut. Selalu diselesaikan
dalam masa hidup tokoh-tokoh Ummat yang memimpin periode sejarah itu.
[11] Agar lebih jelas lagi, disini perlu disebut
beberapa contoh kegagalan gerakan Islam, karena tidak menuntaskan
perjuangan di masa hidup tokoh besarnya. Gerakan Sanusiyah di Afrika
Utara (Libya, Maroko, Aljazair) ditumpas oleh Italia dengan kematian
pemimpinnya, Syaikh Umar Mukhtar rahimahullah. Gerakan Ikhwanul Muslimin
di Mesir gagal meraih kemenangan dengan terbunuhnya Mursyid Al Ikhwan,
Syaikh Hasan Al Banna rahimahullah di usia muda (sekitar 40-an tahun).
Gerakan politik Jamaat Islami di Pakistan gagal mencapai kemenangan
setelah wafat tokoh sentralnya, Syaikh Abul A’la Al Maududi
rahimahullah. Gerakan Masyumi di Indonesia gagal meletakkan basis
kekuasaan politik, setelah dibubarkan oleh Soekarno di era Orde Baru.
[12] Harus disadari bahwa dalam berjuang memang
membutuhkan proses. Itu pasti. Tetapi proses tersebut jangan tanpa batas
waktu, sebab ajaran Islam tidak mengajarkan demikian. Harus ada batas
waktu yang jelas dan mencukupi. Pemikiran yang selalu menggantungkan
proses perjuangan Islam itu adalah hasil pengaruh dari pemikiran
Murji’ah yang sangat membahayakan Ummat. Di mata orang Mur’jiah tidak
ada harapan kemenangan. Bagi mereka dunia Islami dan dunia jahiliyah
sama saja, sama-sama bolehnya. Karena standar keimanan di mata mereka
ialah keimanan di hati saja. Meskipun perbuatan kufur, kalau hati tetap
iman, itu dianggap iman yang sempurna. Kegagalan kebangkitan Islam,
selain karena makar musuh-musuh Islam, ialah terutama karena beredarnya
paham Murji’ah ini.
Demikianlah, orang-orang yang mengklaim bahwa perjuangan Islam itu
bisa bergenerasi-generasi, bahkan tidak dibatasi oleh usia satu
generasi, mereka jauh sekali dari kebenaran. Mereka telah tertipu oleh
pemikiran-pemikiran palsu. Bahkan semua itu mencerminkan penyakit AL
WAHN (cinta dunia dan takut mati).
Pemikiran-pemikiran palsu itu membuat Islam dikesankan sebagai
UTOPIA, agama penuh mimpi-mimpi. Ia juga membuat banyak manusia yang
mendambakan perubahan kehidupan yang nyata, menjadi kecewa dan
putus-asa. Pemikiran itu telah membuat Islam hanya sebatas AGAMA TEORI,
bukan agama yang hidup riil dalam alam nyata. Sejujurnya,
pemikiran-pemikiran fatalis itulah yang telah membuat Islam tidak bisa
bangkit kembali, sejak runtuhnya Khilafah Turki Utsmani.
Dalam hadits Bukhari dijelaskan tentang kisah Khabab bin Al Arat Ra.
Ketika masih di Makkah, Khabab Ra banyak sekali mendapat siksaan dari
kaum musyrikin Quraisy. Kemudian dia mendatangi Nabi Saw meminta agar
beliau mendoakan kemenangan bagi para Shahabar yang tertindas di Makkah
itu. Lalu Nabi Saw mengatakan, bahwa Allah akan menyempurnakan urusan
Islam, sampai tercapai kemenangan. Sehingga ketika kemenangan itu
terjadi, seorang musafir tidak takut berjalan sendirian dari Shan’a
menuju Hadramaut (di Yaman), selain takut kepada Allah dan khawatir
dombanya diterkam srigala. Lalu Nabi Saw mengatakan, “Wa lakinnakum tasta’jiluun” (akan tetapi kalian tergesa-gesa).
Hadits ini kerap dijadikan alasan, bahwa perjuangan Islam itu harus
sabar, panjang waktunya, tidak dibatasi oleh usia generasi, dan
seterusnya. Tetapi orang-orang itu tidak mau jujur ketika ditanya,
“Adakah manusia yang paling shabar, paling hikmah, dan paling tidak
tergesa-gesa melebihi Rasulullah Saw?” Mereka pasti menjawab, “Jelas,
tidak ada!” Lalu ketika ditanya lagi, “Berapa lama masa perjuangan
Rasulullah, sejak titik awal sampai mencapai kemenangan?” Ternyata,
perjuangan beliau berlangsung sekitar 23 tahun saja. Yang disebut
isti’jal (tergesa-gesa) disini ialah hitungan yang sedikit seperti 5
tahun, 10 tahun, atau 15 tahun. Adapun kalau sudah berjuang selama 30
tahun, 50 tahun, atau 75 tahun, tetapi masih juga belum ada perubahan
significant; itu bukan dianggap kebaikan, tetapi lebih cocok disebut
sebagai perjuangan yang membuang-buang waktu, menghamburkan energi,
tidak peka penderitaan Ummat, serta melewatkan banyak momen-momen
kemenangan. Dengan istilah sederhana, itulah amaliyah orang-orang
mubadzir yang disebut Al Qur’an sebagai: kawan-kawan syaitan.
Orang-orang itu mendefinisikan perjuangan yang tidak tergesa-gesa
dalam hitungan 100 tahun, 200 tahun, 500 tahun, atau bahkan 1000 tahun.
Inilah orang-orang yang telah tertipu oleh pemikiran keliru. Mereka
tidak memiliki argumentasi Islami, selain pandangan-pandangan yang
mencerminkan bahwa diri mereka telah terjangkiti penyakit Al Wahn.
Pesan inti yang ingin disampaikan disini ialah:
“Perjuangan Islami untuk melakukan perubahan total hijrah minaz zhulumati ilan nuur
tentu butuh waktu dan proses. Ibarat seorang petani yang menanam benih,
pasti butuh waktu sampai memetik hasil. Namun proses itu haruslah
memiliki jangka waktu yang jelas. Jangka waktu paling ideal, ialah
seperti perjuangan Rasulullah Saw, selama 23 tahun. Jika tidak sanggup,
jangka waktu itu bisa 40 tahun, atau paling lama 60 tahun. Perjuangan
harus dituntaskan dalam waktu itu. Atau diselesaikan ketika seorang
tokoh pemimpin Islam masih hidup. Sebab bila tidak demikian, perjuangan
Islam akan kehilangan momentum untuk melakukan perubahan. Semakin lama
proses perjuangan bergulir, semakin jauh kita bergeser dari cita-cita
semula. Hingga suatu ketika, karena sudah begitu nyaman dengan posisi
yang ada, akhirnya tidak ada lagi keberanian untuk melakukan perubahan
total.”
Para pejuang Islam harus terus menyalakan semangatnya untuk mengubah
keadaan manusia, dari jahiliyah menuju tatanan Islami. Untuk itu
diperlukan proses, seperti pembinaan iman, pemberdayaan SDM, memperkuat
basis ekonomi, memperkuat media, memperkuat aliansi, melakukan
eksperimen-eksperimen sosial, memperkuat kesabaran diri dan jamaah, dll.
Setelah itu, harus ada momen politik yang ditempuh untuk melakukan
perubahan total. Bila tidak ada momen, ia harus diciptakan. Perubahan
tatanan politik hampir-hampir tak pernah terjadi dengan “serah terima”,
“pengguntingan pita”, atau “selebrasi”. Selalu ada pergolakan disana.
Contoh mudah, lihatlah Reformasi 1998. Jangan takut mencoba, sebab tidak
ada yang sia-sia dalam perjuangan menegakkan Kalimah Allah. Jika
akhirnya perjuangan mengalami kegagalan, ia harus dievaluasi, diperbaiki
lagi, dicoba lagi, dan seterusnya. Sampai suatu ketika, akan ada momen
keberhasilan di antara sekian momen kegagalan. Andaikan paling buruknya
tidak tercapai perubahan total seperti yang diharapkan, setidaknya akan
terjadi perubahan peta politik, sehingga dampaknya menguntungkan
kehidupan kaum Muslimin. Amin ya Karim.
Tidak layak bagi seorang Muslim menjalani perjuangan tanpa arah,
tanpa prospek, tanpa harapan kemenangan. Mengapa demikian? Sebab ajaran
Islam memiliki karakter yang jelas, nyata, pasti, dan terarah. Tidak
mungkin Allah Ta’ala menurunkan agama yang membuat bingung, kecewa, dan
putus-asa hamba-hamba-Nya. Islam menawarkan fathan qariban, bukan fathan ba’idan.
Pada akhirnya, kemenangan Islam terjadi dengan perjuangan dan
pengorbanan. Karena itu Nabi Saw mewanti-wanti Ummatnya agar tidak
tertimpa penyakit Al Wahn.
Demikianlah, semoga risalah sederhana ini bermanfaat bagi Ummat.
Mohon dimaafkan atas segala kesalahan dan kekurangan. Alhamdulillahi
Rabbil ‘alamiin. Wallahu A’lam bisshawaab.
0 comments:
Post a Comment