.
Home » » Uang Panas Untuk Dakwah, Bolehkah?

Uang Panas Untuk Dakwah, Bolehkah?

Berhubung masih hangat soal terima-menerima uang yang tidak jelas belakangan ini, ada baiknya kita tinjau kembali produk hukum di tubuh jamaah dakwah ini tentang soal terima-menerima uang ini. Produk hukum tersebut adalah sebuah fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syari'ah Pusat (DSP) Partai Keadilan Sejahtera, yang menjelaskan larangan menerima hadiah itu sejelas-jelasnya.

Fatwa di bawah ini saya kutip utuh dari buku 'Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera'. Sekedar mengingatkan kembali, bahwa dewan syariah memiliki fungsi dan wewenang untuk menetapkan landasan syar'i yang mengikat buat partai. Saya kutipkan penggalan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang relevan dengan ini [1].
  • Anggaran Dasar PKS, Pasal 15, ayat 3:
    Tugas dan Wewenang Dewan Syari'ah Pusat:
    a. Menetapkan dan mensosialisasikan Fatwa dan Panduan Dewan Syari'ah Pusat;
    b. Menetapkan putusan atas masalah-masalah syar'i yang dilimpahkan oleh Majelis Syura;
    c. Menetapkan putusan atas masalah-masalah syar'i (qadha) di lingkungan partai yang berasal dari Dewan Syari'ah Wilayah;
    d. Menetapkan landasan syari'ah bagi partai;

  • Anggaran Rumah Tangga PKS, pasal 23, ayat 2:
    Dewan Syari'ah Pusat memiliki fungsi sebagai:
    a. lembaga fatwa;
    b. lembaga qadha;
    c. lembaga banding;
    d. lembaga pengawas pelaksanaan Ajaran Islam dalam Partai;
    e. lembaga yang merepresentasikan pandangan dan sikap syari'ah Partai,
    f. lembaga arbitrase di internal Partai;
    g. lembaga pendidikan dan pelatihan syari'ah, serta
    h. lembaga pelaksana tugas-tugas khusus yang ditetapkan oleh Majelis Syura.

  • Anggaran Rumah Tangga PKS, pasal 23, ayat 5:
    Ketua Dewan Syari'ah Pusat berkedudukan sebagai Qadli dan Mufti Partai.

Sengaja bagian AD/ART itu saya kutipkan terlebih dahulu, agar ada kesepakatan antara saya dan para pembaca semua dalam memandang fatwa di bawah ini. Kesepakatan ini memiliki dasar yang jelas, yaitu AD/ART PKS sendiri yang menjelaskan bahwa DSP memang memiliki wewenang penuh untuk menetapkan landasan syar'i buat partai, dan mengikat untuk anggotanya.

Jadi jangan sampai ada sanggahan bahwa saya memaksakan pendapat seperti ini dan itu, tanpa menghormati pendapat ustadz lain yang berbeda. Dalam sebuah diskusi di forum komentar, waktu itu saya menyatakan bahwa PKS mengharamkan presiden perempuan, yang saya kutip dari fatwa DSP. Seorang ikhwah mengkritik saya agar juga menghormati pendapat lain, sambil mengutip pendapat seorang doktor akidah yang (katanya) menyatakan hal berbeda, menyatakan bahwa (katanya) itu khilafiyah. Padahal keharaman itu bukan pernyataan saya, tapi saya kutip dari fatwa DSP, fatwa itu menyatakan bahwa keharaman itu bukan khilafiyah tapi ijma ulama, dan DSP dalam hal ini adalah yang berwenang menetapkan landasan syar'i partai. Jadi silahkan saja segala pakar syari'ah di PKS bersikap apapun, tapi yang seharusnya dijadikan sikap resmi PKS dalam hal syar'i adalah fatwa DSP.

Jadi ini bukan soal hormat-menghormati pendapat si A, si B dan si C, tapi soal konsistensi terhadap aturan main yang dibuat sendiri oleh partai. Jangan karena ikhtirom yang berlebihan, lalu ketika ada ustadz senior bersuara bertolak belakang dengan aturan main dari partai lantas kita juga ikut-ikutan.

Seperti biasa, saya thoat dan tsiqoh pada apapun yang fully comply dengan Quran dan sunnah, dan jelas referensinya sehingga saya faham.
Dari Abdullah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "seorang muslim harus mendengar dan mematuhi perintah pemimpinnya terlepas dia setuju atau tidak, selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah, jika bertentangan maka dia tidak harus mendengarkan atau mematuhinya." (Shahih Bukhari, kitab Ahkam)

Fatwa DSP di bawah ini jelas sekali landasan syar'inya, mengacu kepada nash shahih. Seperti yang dikatakan pada kata pengantar buku tersebut, bahwa cara istinbath hukumnya dengan berpegang teguh pada referensi yang kuat dan bersandar pada dalil yang benar, serta memandang kitab-kitab dari mazhab yang empat.

Sebagian dari nash yang menjadi landasan fatwa ini, termasuk di antara yang beberapa saya gunakan sebagai sandaran pada tulisan/diskusi di blog ini, dalam menyikapi berbagai keanehan kelakuan sebagian oknum qiyadah.

Kalau kita cermati dan baca baik-baik fatwa yang akan saya sampaikan dibawah tulisan ini, sama sekali tidak membuka ruang untuk menerima segala macam uang tak jelas yang belakangan ini malah ada yang menyebut-nyebutnya sebagai ghanimah dan mahar segala. Kalau konsisten dengan fatwa ini, niscaya tidak akan ada aleg FPKS yang kaya mendadak setelah menjabat. Niscaya tidak akan terjadi pula polemik atau tersebutnya nama aleg PKS sebagai penerima dana tak jelas.

Kalau mau konsisten dengan fatwa ini, jelas sekali bahwa pemberian apapun itu harus ditolak. Tidak ada ceritanya itu kemudian dijadikan dana dakwah atau dana untuk konstituen, atau malah membangun sebuah gedung yang konon jadi markaz dakwah dari sumbangan pengusaha muslim tapi sekaligus pemilik bank riba.

Jadi sebagai sebuah jamaah dakwah yang meskipun berkiprah di mihwar siyasi, nilai-nilai dakwah tetap harus dipegang teguh. Nilai-nilai dakwah itu jelas, haq dan batil, putih dan hitam, halal dan haram. Tidak ada ceritanya wilayah abu-abu. Sesuatu yang jelas halal adalah halal, yang jelas haram adalah haram, yang abu-abu atau samar-samar adalah syubhat, dan barang siapa yang terjatuh ke dalam wilayah syubhat (menikmat syubhat) berarti sudah terjatuh ke wilayah haram. Ini jelas dinyatakan oleh hadits dalam shahihain yang beberapa kali saya sitir dan juga menjadi landasan fatwa ini.

Tidak ada pula ceritanya pembelaan "wah ente bukan orang lapangan sih, jadi gak ngerasain di lapangan...". Mau orang lapangan atau tidak, berpegang teguh pada Quran dan sunnah itu adalah kewajiban, membedakan yang salah dan benar itu adalah kewajiban. Jangan lupakan pesan di dalam Quran,
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan (Al Anfaal: 29)
Furqan adalah pembeda antara haq dan batil. Selain itu ada pula tuntutan konsistensi dari Quran dan sunnah, di antaranya:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (Al Maa'idah: 1)

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Ash Shaff: 2-3)
Dalam menjelaskan surah Al Maa'idah ayat 1, Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengutip dari Ibnu Abbas, Mujahid dan yang lainnya yang menjelaskan bahwa aqad di sini maksudnya perjanjian. Ali bin Abi Talhah berkata, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan bahwa aqad di sini mengacu kepada persetujuan dalam kerangka/konteks apa yang Allah izinkan, larang, perintahkan dalam Quran.

Selain itu, surah Ash Shaff ayat 2 dan 3 mencela orang-orang yang tidak memenuhi janjinya. Ayat tersebut juga mendukung pandangan kalangan salaf bahwa amat penting untuk memenuhi janji, terlepas apakah ada imbalan atau tidak buat orang tersebut.

Mereka (para ulama salafush shalih) juga berhujjah dengan hadits dari shahihain , tentang ciri orang munafik, sbb:
Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang memiliki empat (sifat) berikut ini adalah orang munafik sejati, dan barang siapa memiliki salah satunya akan memiliki satu sifat kemunafikan kecuali/sampai dia bertobat, yaitu: 1, ketika dipercaya dia berkhianat; 2, ketika berbicara dia berdusta; 3, ketika membuat perjanjian dia curang; 4, ketika berdebat dia bertingkah kasar, keji dan mencaci maki" (Shahih Bukhari dan Muslim)
Jadi ingkar janji juga bagian dari salah satu ciri munafik. Sehingga kemudian Allah memberikan petunjuk pada Ash Shaff ayat 3, "Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."

Dalam sebuah hadits lain diceritakan, sbb:
Dari Abdullah bin Amir bin Rabiah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah s.a.w. mengunjungi kami ketika aku masih kecil, dan aku keluar untuk bermain. Ibuku berkata "Wahai Abdullah kemarilah, aku ingin memberikanmu sesuatu". Rasulullah bersabda "Apa yang ingin kau berikan padanya?", ibuku menjawab "Kurma". Rasulullah bersabda "Kalau kau tidak memberikannya, maka itu akan tercatat sebagai kebohongan dalam catatan amalmu." (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Demikian pendapat imam Ibnu Katsir rahimahullah tentang ayat-ayat tersebut. Selain itu juga ada hadits tentang terikatnya kaum muslimin terhadap perjanjian mereka, selama tidak bertentangan dengan syariah.

Dari Amr bin Auf radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR Tirmidzi)

Jadi sudah sangat jelas dan terang benderang adanya keharusan untuk konsisten pada nilai-nilai Islam dan dakwah, apalagi jika aturan tersebut dibuat dalam kerangka menegakkan dakwah, dengan mengacu kepada nash-nash shahih, maka tidak ada alasan untuk menerima segala dana yang tidak jelas tersebut. Kalau memang belum mampu untuk mendanai pilkadal misalnya, maka tidak usah memaksakan diri, sehingga bahkan menghalalkan dana-dana tidak jelas itu dengan alasan dakwah.

Waktu saya masih di Jakarta, dalam sebuah pertemuan seorang istri ikhwan bercerita, bahwa dia baru saja ta'lim dengan seorang ustadzah yang jadi anggota DPRD, ustadzah itu berkata, "tidak apa-apa kita ambil uang (panas) itu, ketimbang jatuh ke orang kafir. Jatuh ke tangan kita bisa jadi amal soleh".

Seorang ikhwah kader PKS di Depok, ketika berdiskusi dengan saya membenarkan perkataan ustadzah itu, sambil menukil perkataan seorang ulama, yang dia sendiri kurang yakin siapa ulamanya, "jangan sampai harta yang terlanjur diperoleh dengan cara haram dibelanjakan dengan cara haram juga". Lalu dia berkata: "Ana pribadi setuju dengan ungkapan itu. Dan ini sesuai juga dengan kata-kata ustadzah itu."

Apa mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa ada hadits yang singkat,padat dan sangat terang benderang menjelaskan soal "uang haram jadi amal sholeh" ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Wahai manusia, Allah itu baik, dan oleh karena itu hanya menerima dari yang baik-baik (Shahih Muslim, kitab Zakat)

Karena itulah kita harus saling mengingatkan dan menasehati, baik antar jundi, antar qiyadah, qiyadah ke jundi dan sebaliknya.

Dari Abu Ruqayah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu 'anhu berkata, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Agama itu adalah nasehat, kami bertanya: Untuk siapa?, Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslimin" (Shahih Muslim)

Masalahnya, saling nasehat ini tidak berjalan sebagaimana mestinya di dalam jamaah ini. Al Ustadz Dr Daud Rasyid, dalam tausiahnya pada kajian di masjid Al Hikmah (Jl Bangka, Jaksel) pada tanggal 20 Juli 2008 yang lalu berkata,
"Jangan yang dari atas saja ke bawah dalam bentuk qoror, taklimat, tetapi dari bawah ke atas? harus berjalan. Karena orang yang di bawah merasakan masalah ini secara langsung, orang yang di atas... tinggal tanda tangan qoror, taklimat, dsb

Yang parah dalam sebuah jamaah adalah tidak berjalannya nasehat. Karena apa? karena ikhtirom yang berlebihan, catat baik-baik. Ikhtirom yang melampaui batas, sehingga kesalahan apapun dari orang yang di atas kita, murabbi kita, itu harus ditutup, walaupun kita tahu jelas nyata.

Kalau qiyadah salah, tidak ada yang berani mengingatkan, karena apa? Karena nanti kita dianggap tidak tho'ah. Jadi kalau dalam sebuah jamaah tidak dihidupkan lagi saling nasehat, nasehat itu hanya untuk orang binaan, itu bahaya, naudzubillah min zalik.

Jadi kalau kita tidak saling menasehati dalam rangka mentaati kebenaran, jadilah kita yang masih merasa bagian dari jamaah ini sebagai orang-orang yang merugi, seperti yang diperingatkan oleh Allah di dalam surah Al 'Ashr,
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Al 'Ashr: 2-3)

Kembali kepada fatwa di bawah, malah kalau konsisten dengan fatwa ini, tidak perlu ada pengembalian ke KPK, karena dana tersebut mestinya tidak pernah diterima karena langsung ditolak. Tentunya ini adalah hal yang sangat asing untuk dilakukan di zaman sekarang ini, tapi jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sudah wanti-wanti mengenai keasingan ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Islam pertama kali datang dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali menjadi asing lagi sebagaimana awalnya. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (ghuroba)" (Shahih Muslim, kitab Iman).

Berikut kutipan fatwa yang saya maksud selengkapnya, fatwa nomor 26 [2].

Hukum Menerima Hadiah Bagi Anggota DPR/DPRD

Pertanyaan:

Assalamualaykum warahmatullahi wabarakaatuh.

Bagaimana hukum menerima fasilitas atau hadiah dari eksekutif atau pihak lain yang berhubungan dengan tugas DPR/DPRD?

Sekian, Wassalamualaykum warahmatullahi wabarakaatuh.
Anggota DPR RI dari PK

Jawaban:

  1. Dalam kondisi apapun pada dasarnya setiap muslim harus istiqomah dan memegang sikap wara' (hati-hati) dari segala yang syubhat dan haram demi melaksanakan pesan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berharap akan janji-Nya.

    "Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat tenagamu..." (QA At-Taghaabun: 16)
    "...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya..." (QS Ath Thalaaq: 2-3)
    "...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya" (QS Ath-Thalaaq: 5)
    Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
    "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara yang syubhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat itu, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjerumus dalam wilayah syubhat, maka ia telah jatuh pada yang haram..." (HR Bukhari dan Muslim)
    "Allah melaknat penyuap, yang disuap dan perantara keduanya" (HR At-Tabrani)
    "Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, tutupilah keburukan dengan kebaikan niscaya akan menghapuskannya dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik" (HR At-Tirmidzi)

  2. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
    "Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengatahui" (QS Al-Baqarah: 188)
    Disebutkan dalam hadits bahwa Ibnu al-Lutbiyah seorang petugas zakat yang berasal dari suku Asdi ketika tiba di Madinah seusai menjalankan tugasnya mengatakan:
    "Ini adalah (hasil pungutan zakat) untuk kalian (Baitul Mal) dan yang ini adalah untukku yang telah dihadiahkan (oleh para wajib zakat) kepadaku." Nabi seketika berdiri dan berkhotbah dengan membaca hamdalah lalu mengatakan, "Amma ba'du, saya telah mempekerjakan seseorang dari kamu pada sebuah tugas yang Allah amanatkan kepadaku. Lalu ia mengatakan, ini untuk kamu dan yang ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepadaku. Mengapa ia tidak duduk-duduk saja (tidak menjadi petugas) di rumah bapak dan ibunya sehingga datang kepadanya hadiahnya, jika ia memang benar? Demi Allah, tidaklah seorang dari kamu mengambil sesuatupun selain haknya, kecuali ia akan menghadap Allah dengan memanggulnya pada hari kiamat" (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud. Lihat: al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib, I/277 dan al-Qardhawi dalam Fiqih az-Zakat, II/592)

  3. Dalam menghadapi fasilitas-fasilitas atau hadiah-hadiah itu, semua anggota DPR/DPRD Partai Keadilan harus mengambil sikap tegas dengan cara menolak setiap pemberian harta yang tidak jelas.

  4. Di antara fasilitas lain yang harus ditolak adalah fasilitas pinjaman dari bank konvensional. Penolakan ini dikarenakan pinjaman tersebut memberlakukan bunga bank. Dewan Syariah telah memfatwakan bahwa bunga bank, baik kecil maupun besar, produktif maupun konsumtif adalah riba' yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

  5. Fatwa ini bersifat umum bukan hanya untuk anggota DPR/DPRD tetapi anggota Partai Keadilan bahkan umat Islam yang terkait masalah di atas.
Demikian fatwa Dewan Syariah Partai Keadilan, dan fatwa ini bersifat mengikat bagi anggota Partai Keadilan, lebih khusus lagi anggota DPR/DPRD Partai Keadilan.


In the name of Allah, the Most Beneficent, the Most Merciful.
O you who believe! why do you say that which you do not do?
It is most hateful in the sight of Allah that you say which you do not.
(Ash Shaff: 2-3)

Referensi/Catatan:
[1] Memperjuangkan Masyarakat Madani, Edisi Gabungan Falsafah Dasar, Platform Kebijakan dan AD/ART PKS, Penerbit MPP PKS, Cetakan ke 1, Maret 2008
[2] Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Pusat PKS, Penerbit DSP PKS, Distribusi Robbani Press, Cetakan ke 2, Agustus 2005
[DOS]
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Al-Mustaqbal.Net | Jamaah Tarbiyah | Ansar Mujahideen
Copyright © 2013. Catatan Anak Mushola Di Pontianak - All Rights Reserved
Saya hanya berusaha menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi
dengan kapasitas ilmu yang saya miliki