.

http://ibnumushab.blogspot.com

Latest Article Baca Sampai Habis Dulu, Baru Komen

Konsekuensi Dari Sebuah Partai Yang Membawa Nama Dakwah

Sunday, May 19, 2013

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Saat ini PKS sedang mengalami turbulensi politik yang amat sangat kuat. Ibarat sebuah kapal layar, ia sedang berada di tengah pusaran air, menghadang ombak yang tinggi, serta dihajar badai dari segala arah.

Faktanya, setelah Luthfi Hasan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, begitu juga sohibnya A. Fathonah, pejabat-pejabat PKS lainnya juga diperiksa sebagai saksi. Anis Matta dan Pak Hilmi Aminuddin harus memenuhi panggilan KPK; bergitu juga Saldi Matta, adik Anis Matta. Secara moral, pemanggilan Ketua Majelis Syura PKS oleh KPK serasa seperti “bom atom” yang dentumannya sangat menggelegar.

Kami disini tidak mau masuk terlalu ke dalam ke pusaran konflik KPK Vs PKS. Tetapi kami ingin melihat kenyataan ini dalam perspektif kepentingan politik Ummat Islam. Sebagaimana pada asalnya kami tidak memiliki “kebencian laten” kepada PKS, maka saat ini kami tetap berpegang kepada kepentingan Ummat tersebut; menggali hikmah di balik setiap peristiwa.

Mari kita lihat detail masalahnya lebih fokus…

*** Sebenarnya, sumber banyaknya kritik, kecaman, hujatan kepada PKS ialah konsep dasar politik partai ini sendiri. PKS sejak awal memposisikan dirinya sebagai: Partai Dakwah, partai Islam, partai para ustadz. Positioning seperti ini membuat PKS banyak diawasi oleh kaum Muslimin, karena kita berkepentingan terhadap nama Islam, dakwah, dan ustadz.

Andaikan sejak awal PKS tidak membatasi dirinya dengan citraan religius yang dibuatnya sendiri itu, mungkin sikap kritis Ummat Islam terhadapnya tidak terlalu gencar atau garang. Hal ini bisa dianalogikan seperti sebuah tim sepakbola sekelas PERSIJA, tetapi koar-koar bahwa mereka sekelas BAYERN MUNCHEN; jelas tim itu akan terus diawasi oleh para penggemar bola dari Maroko sampai Merauke. (PKS membawa2 nama islam yg begitu besar dan mulia, tentu saja diawasi oleh banyak orang)

*** Kinerja politik PKS bisa dibagi menjadi dua periode; periode sebelum Pemilu 2004 dan periode setelah Pemilu 2004. Tahun 2004 seperti menjadi Yaumul Furqan bagi PKS. Sebelum tahun 2004 politik PKS bersifat idealis, keteladanan, pembelaan besar atas kepentingan masyarakat, dan politik bersih (bebas korupsi). Tetapi setelah tahun 2004, sampai hari ini, kinerja politik mereka semakin merosot; hingga finalnya Presiden PKS ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

*** Patut dipahami bahwa politik PKS tidak bisa dipisahkan dari politik SBY. Lho, kok bisa begitu ya? Karena tahun 2004 itu PKS meresmikan persekutuan politiknya dengan SBY (Partai Demokrat). PKS mendapat sekian kursi kementrian, sedangkan SBY (Demokrat) mendapatkan fasilitas pembelaan politik dan dukungan dari PKS.

Sampai hari ini, bisa dikatakan politik PKS tidak bisa melepaskan diri dari politik SBY. Bahkan kasus-kasus hukum yang menimpa PKS saat ini (terkait KPK) ada yang membacanya sebagai plot politik SBY. Tahun 2009 PKS ingin menarik dukungan kepada SBY, bahkan sudah sempat memberikan sejumlah serangan-serangan politik ke SBY menjelang Pemilu 2009; tetapi kemudian ia rujuk lagi, lalu mendukung deklarasi Capres pasangan SBY-Bodiono di Sabuga ITB. Menjelang Pemilu 2014 nanti, PKS kemungkinan akan kembali menyerang SBY (Demokrat); tetapi kemudian akan bermesraan dengan politik SBY lagi. Antara PKS dan politik SBY layaknya padanan: “benci tapi rindu”, “muak tapi butuh”, “emoh tapi pingin lagi”.

*** Jika dikalkulasi, nilai “perdagangan politik” antara PKS dan SBY, yang lebih beruntung adalah SBY. Kemapanan posisi SBY sebagai presiden sejak tahun 2004, dan berhasilnya dia menjadi presiden kembali untuk periode 2009-20014, tidak lepas dari jasa PKS. Tanpa PKS, SBY sudah babak-belur dimakan oleh Golkar dan PDIP sejak awal kepemimpinannya. Di sisi lain, SBY juga kesal ke PKS, karena partai ini susah diatur. PKS berbeda dengan PAN dan PKB yang mampu memberikan “penghambaan politik” secara tulus ikhlas, lahir-batin, dunia akhirat untuk SBY.

Ibaratnya, politisi-politisi PAN dan PKB sudah biasa menampilkan loyalitas buta, tanpa reserve, kepada SBY dan Demokrat. Sementara politisi PKS dianggap masih sering mengganggu kebijakan politik SBY, seperti dalam konteks Pansus Bank Century. Bisa dikatakan, koalisi dengan SBY sangatlah pahit, dan PKS tahu makna semua itu.

*** Logika PKS bergabung dengan SBY sangat sederhana; dengan masuk kabinet, menjadi bagian dari koalisi, mereka akan dapat posisi kementrian. Sedangkan kementrian identik dengan proyek-proyek yang melibatkan anggaran negara. Di titik ini PKS butuh posisi birokrasi, sebagaimana partai-partai lain juga ngiler. Tetapi motivasi “memperkaya diri” ini selain berpotensi merugikan urusan rakyat, juga bisa menjerat PKS dalam pusaran kasus-kasus korupsi; seperti kenyataan hari ini. Apalagi faktanya, PKS tidak pernah diberikan posisi “enak” oleh SBY Cs. Paling tinggi, PKS diberi jabatan kementrian pertanian dan kominfo.

*** Dalam tubuh PKS ada dua pemikiran yang terus bergolak: idealisme dan pragmatisme. Sebagian orang mengistilahkan “Kubu Keadilan” dan “Kubu Sejahtera”. Kondisi disparitas ini tidak lepas dari perubahan pemikiran (ideologi) secara drastis yang dialami Anis Matta. Konsep asli PKS sangat kental bernuansa idealisme, dengan slogan: partai Islam, partai dakwah, partai ustadz. Tetapi setelah Anis Matta 'berubah', PKS mengalami perubahan pemikiran secara ekstrem, terutama setelah dia menjadi anggota DPR RI dan mengikuti kursus Lemhanas; tumbuh subur pemikiran-pemikiran politik pragmatis di tubuh PKS, hingga pragmatisme itu mampu menguasai seluruh lini partai tersebut.

*** Posisi Anis Matta di PKS serupa seperti posisi BJ. Habibie dalam pemerintahan di masa itu. Kedua sosok sama-sama pintar, punya intelijensi tinggi, menjadi bintang andalan di tempat masing-masing; tetapi egoisme dirinya juga besar. Kejeniusan pemikiran kurang diikuti kemampuan “sharing of power”. Habibie pernah merajalela dalam pemerintahan, sebagaimana Anis merajelela di PKS. PKS jelas butuh kecerdasan Anis, tetapi Anis juga bisa “memakan” PKS. Simakalama.

*** Politik PKS masa kini (terutama sejak tahun 2009) tak bisa dilepaskan dari pengaruh kuat sosok Anis Matta. Bisa saja orang berasumsi, “PKS adalah Anis Matta, dan Anis Matta adalah PKS.” Di atas kertas Pak Hilmi Aminuddin memang Ketua Majelis Syura, tetapi keputusan politiknya tak lepas dari pertimbangan pemikiran Anis Matta. Lalu inti dari pemikiran politik Anis Matta ini adalah “politik oplosan”; yaitu semacam ritme permainan politik yang memainkan dua kartu utama, “wajah Syariat” dan “ambisi kekuasaan”.

Di mata para kader, simpatisan, dan lawan-lawan politiknya, PKS membangun “wajah Syariat”; tetapi saat berbicara kekuasaan, jabatan publik, posisi birokrasi, dan lainnya, elit-elit politik PKS tidak kalah ganasnya dibandingkan elit-elit Demokrat, PDIP, Golkar. Berkali-kali elit PKS mengancam SBY terkait isu reshuffle kabinet, hingga pencapresan. Inilah politik oplosan atau “berwajah ganda”.

*** Politik oplosan model Anis Matta (dan didukung elit-elit PKS lainnya) ini menjadi simalakama bagi PKS. Di mata Ummat Islam, PKS dianggap tidak tulus mengembangkan politik Syariat; karena sangat kelihatan terlalu ambisi jabatan. Di mata para politisi, PKS dianggap sangat menjengkelkan, karena mereka berambisi kekuasaan, tetapi memakai dalil-dalil agama. Di mata publik secara umum, wajah PKS sangat membingungkan; ada kalanya tampak Islami dan santri, tetapi di lain kesempatan sangat haus kekuasaan dan kurang punya rasa malu (fatsoen politik). Jika kemudian ada yang berusaha mengeliminasi PKS (melalui KPK misalnya), hal itu tak lepas dari alasan kejengkelan tersebut.

*** Seburuk apapun sosok dan perilaku A. Fathonah, maka dia mewakili dirinya sendiri. Dia bukan mewakili partai, gerakan dakwah, komunitas kaum Muslimin. Dia hanya mewakili dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan PKS yang sejak lama mengambil banyak benefits dengan mengatasnamakan partai Islam, partai dakwah, partai ustadz. Maka menyikapi dua obyek ini juga berbeda perlakuannya.

*** Sejak lama sudah sangat banyak suara-suara kaum Muslimin yang mengkritik PKS, memberikan penilaian, nasehat, masukan, dan lain-lain. Tetapi semua itu ditepiskan begitu saja. PKS tetap pada patron politiknya yang menampilkan “wajah ganda”. Tapi ada satu hal yang paling berbahaya yang sering dilakukan jajaran pengurus PKS dan para pendukungnya, yaitu kebiasaan mereka menyerang balik orang-orang yang memberi kritik, nasehat, masukan dengan berbagai tuduhan buruk. Misalnya, tuduhan sebagai barisan sakit hati, suka iri/dengki, pemecah-belah, tidak punya karya nyata selain mengkritik, tukang fitnah, tukang ghibah, antek Zionis, antek Amerika, tidak mau tabayyun, dan lain-lain. Lha, mereka diberi masukan baik kok, malah menuduh begitu? Sayang sekali.

*** Membalikkan kritik dengan tuduhan balik sebenarnya termasuk salah satu teknik penggalangan massa. Hal ini sudah dikenal dan sering dipakai. Mereka tidak mau mencerna kritik berdasarkan ilmu, akal sehat, dan Syariat; tetapi langsung membalikkan begitu saja kritik-kritik itu dengan serbuan tuduhan-tuduhan. Padahal di antara para pengeritik itu banyak yang punya niat tulus; tidak bermaksud menjatuhkan, tapi menjaga kemurnian Syariat.

*** Sampai titik tertentu, tidak ada yang sanggup untuk meluruskan PKS. Semua angkat tangan, semua geleng-geleng kepala, atau mengelus dada. PKS sudah tak bisa dinasehati, seperti layaknya orang yang tak lagi membutuhkan Surat Al ‘Ashr. Harapan terakhirnya ialah keadilan Allah Ta’ala yang tak akan membiarkan kebathilan merajalela.

***  Segala turbulensi yang dihadapi PKS saat ini adalah buah dari cara politik yang mereka kembangkan sendiri. Terutama kebiasaan melontarkan TUDUHAN BURUK kepada kaum Muslimin yang selama ini peduli. Orang-orang peduli itu telah memberikan nasehat, kritikan, masukan, tetapi semua itu dibalikkan dalam bentuk tuduhan-tuduhan buruk dan kata-kata cacian. Hal ini sangat menyakitkan bagi hati-hati yang tulus itu, dan membuat Allah Ta’ala murka.  Nabi Shallallah ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan, bahwa orang sombong tidak masuk surga. Ketika ditanya ciri orang sombong, beliau mengatakan: Batharal haqqa wa ghamtun naasi (menolak kebenaran dan merendahkan manusia).

*** Kini PKS sedang menggali kekuatan dan daya untuk menerjuni kancah “perang terbuka” melawan KPK. Ibaratnya, PKS seperti banteng terluka. Betapa tidak, guru spiritual mereka, Ust. Hilmi Aminuddin dipaksa datang ke KPK untuk diperiksa (sebagai saksi). Jika PKS tidak melawan, nama baik elit-elit pengurusnya akan hancur di mata para kader pendukung. Tetapi kalau melawan, mereka akan menghadapi “pengadilan publik” yang selama ini telah memposisikan KPK bak Malaikat yang suci dari dosa dan kepentingan. Simalakama lagi.

Akhirnya kini harus kami katakan, bahwa:
“Sejak awal kami tidak memiliki kebencian kepada PKS (dulu PK). Kami hargai eksistensi partai ini dalam kerangka perjuangan politik keummatan di Indonesia. Tetapi seiring waktu, PKS tidak menepati komitmennya sebagai partai Islam, partai dakwah, partai ustadz. Maka kami pun menyampaikan kritik, nasehat, masukan untuk perbaikan. Tetapi sayang, alih-alih kalangan PKS menghargai masukan semacam ini; mereka –melalui kader-kadernya- justru bersikap memusuhi masukan-masukan semacam ini. Mereka beranggapan, setiap masukan atau kritik adalah upaya fitnah, demarketing, black campaign, atau konspirasi. Masya Allah, niat baik berbalas tuduhan buruk. Padahal dalam konteks politik terbuka di zaman modern, jangankan kritik atau nasehat; kecaman-kecaman keras pun termasuk ekspresi politik yang dihargai. Jujur kami sangat sedih.”

Untuk selanjutnya, kami hanya bisa melihat keadaan ke depan, tanpa bisa berharap banyak. Jika kami mengharapkan PKS hancur, tentu itu tak sesuai dengan niat awal kami. Sebaliknya, jika kami menjamin PKS akan baik-baik saja, maka kami sama sekali tidak memiliki kuasa atas Sunnatullah dan Hikmatullah yang berlaku dalam kehidupan ini. Kata-kata yang bisa kami ucapkan: “Selamat berjuang kawan-kawan PKS, semoga diterima di sisi Tuhan sesuai amal-amalmu!”

PKS telah memilih, mereka pun akan menerima. Besar harapan kami, apapun yang nanti kan terjadi, Allah Ta’ala senantiasa menolong kaum Muslimin, memudahkan urusannya, serta menyampaikan harapan-harapannya. Amin Allahumma amin.

[muhammad waksito]

Perang Tabuk: Dulu & Sekarang

Saturday, May 11, 2013

Pernah membaca tentang kisah perang tabuk saudaraku? Sebuah peperangan yang tentaranya diberi nama jaisyul ‘usrah atau pasukan yang dibentuk di saat kesusahan. Perang Tabuk yang terjadi pada  tahun 8 hijriyyah itu terjadi ketika keadaan cuaca yang sangat panas dan masyarakat ketika itu sedang menunggu masa panen yang tidak lama lagi. Sahabat Rasulullah, Umar bin al-Khattab menyerahkan setengah dari hartanya. Utsman bahkan menyerahkan 300 unta dan 1000 dinar miliknya. Dan Abu Bakar menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya.

Ikhwati fillah,
bayangkanlah bagaimana para sahabat di bawah terik panas matahari memenuhi panggilan Rasulullah di tengah kondisi yang melelahkan. Bagaimana rasanya ketika mereka rela untuk mengabaikan musim panen buah kurma yang akan segera di tiba. Bagaimana ketika mereka membuang jauh-jauh keinginan untuk tinggal bersama isteri di rumah. Bagaimana mereka menahan rasa kerinduan mereka pada anak-anak mereka. Mereka semuanya keluar menuju panggilan Rasulullah untuk menyongsong perang besar.

Ikhwati fillah,
Para mufassir menerangkan bahwa ada sejumlah sahabat yang termasuk sebagai orang-orang yang faqir, mereka tidak memiliki kendaraan untuk berangkat berjihad. Mereka datang kepada Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, saya tidak ada apa-apa untuk berjihad” Mata mereka lalu bercucuran air mata karena kesedihan mereka yang sangat mendalam.

Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yg apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tak memperoleh kendaraan untuk membawamu". lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tak memperoleh apa yg akan mereka nafkahkan.
 
Itulah perasaan mereka.
Hancur luluh.
Sedih.
Merana.

Bagai teriris iris hati mereka mendengar derap pasukan berangkat, dan suara unta melengu gembira menuju Tabuk. Sedih karena termasuk sebagai orang yang tak mampu, sebagai orang yang tak berguna, sedih sebagai orang yang rela duduk, sedih sebagai orang yang bodoh karena melepaskan kesempatan mulia. Maka Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang ridha terhadap perasaan mereka dan Allah mengampuni mereka karena sebenarnya mereka adalah orang-orang yang tulus.

Saudaraku,
Para sahabat nabi memang begitu mulia. Mereka menangis, mencucurkan air mata. Tapi air mata mereka yang menetes bukan kerena mereka melakukan dosa dan bertaubat. Justru, kesedihan mereka itu karena mereka tidak bisa melakukan perintah Allah dan Rasulnya. Berbeda sekali dengan tangisan kita hari ini, dalam situasi ini. Kita bahkan tidak menangis sedikitpun meski banyak melewatkan berbagai perintah Allah dan Rasulnya. Kita bahkan tidak bersedih dan bahkan masih bisa bergembira meskipun berulang kali mengabaikan perintah Allah swt.

Saudaraku,
Jika dulu medan Tabuk mungkin hanya kekurangan satu, dua atau lima orang. Tapi Tabuk hari ini kekurangan ribuan bahkan jutaan pejuang yang ingin keluar meninggalkan rumah, menyerukan manusia kepada Allah dan mempertahankan agama Allah.

Dulu  Perang Tabuk didanai oleh Uthman bin Affan, setelah Abu Bakar menyerahkan semua hartanya dan Umar al-Khattab memberikan setengah hartanya. Tapi ”Tabuk” hari ini diwarnai dengan kehidupan yang susah di Palestina dan Iraq, namun sedikit umat Islam yang peduli terhadap mereka. Tabuk yang dulu tetap mendorong para sahabat untuk berangkat dengan mengabaikan indahnya musim panen. Nikmatnya tinggal bersama keluarga dan anak-anak. Tetapi “Tabuk” hari ini, justru dijauhi oleh kita yang sangat terikat oleh kenikmatan dan kebahagiaan di rumah bersama istri dan anak-anak, sambil menikmati hidangan yang lezat.

Saudaraku,
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, disebutkan, para sahabat yang faqir saat akan berangkat perang Tabuk, menangis dan datang menghadap Rasulullah s.a.w dengan membawa apa pun yang mereka punya untuk diberikan di jalan Allah, hingga akhirnya Rasulullah mengatakan “Wallahi maa hamaltukum walakinna Allah hamalakum”
Demi Allah, bukan aku yang akan mengangkut kalian (ke dalam pasukan Tabuk), Tapi Allah lah yang akan mengangkut kalian.
Saudaraku,
Tahukan kita mengapa Allah sangat menginginkan orang faqir seperti mereka untuk masuk dalam barisan Tabuk? Padahal jelas mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki harta yang cukup. 

Mungkin, karena Allah sudah mengetahui ketulusan mereka. Maka mereka pun bisa dimasukkan ke dalam barisan pejuang untuk melakukan pembelaan terhadap agama-Nya. Ketulusan itu begitu nyata ketika mereka secara spontan mengalirkan air mata.

Sementara kita, hati ini telah sering mengabaikan berbagai perintah Allah, absen dalam banyak medan dakwah, hilang di banyak kesempatan yang mulia. Kita melewatkan perintah-perintah Allah dan tidak hadir bukan dalam satu, dua atau tiga hal saja, tapi mungkin puluhan, ratusan, ribuan atau mungkin lebih dari itu. Tapi kita belum juga menangisi itu semua. Dan kita, mungkin juga tidak pernah bersedih apalagi mencucurkan air mata, karena tidak punya sesuatu yang bisa dipersembahkan kepada Allah.

Dari buku Allah kokohkan Hati Kami di atas JalanMu, karya Muhammad Lili Nur Aulia.

Keluarga Berencana, Yang Muda Yang Berencana

Tuesday, May 7, 2013

Sebenarnya saya belum membaca buku Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Cara Mendidik Anak-Anak dalam Islam) karangan Syeikh Abdullah Nasih Ulwan. Banyak yang mengatakan buku ini mantap !
Tetapi saya ingin menunda membacanya sehingga tiba waktunya * hehehe.. ^_^

Namun setelah menghadiri program bersama anak-anak tempo hari, saya merasa Tarbiyatul Aulad ini begitu penting. Hal yang mungkin tampaknya remeh, tetapi besar implikasinya terhadap masa depan umat islam.

Dan saya tidak sendirian dalam memahami hal ini. Tokoh-tokoh Islam yang besar, seperti Imam Hassan Al Banna, Imam Al Ghazali, telah menuliskan kurikulum dalam mendidik anak-anak, karena tahu bahwa hal ini cukup penting..

Namun….
Mulailah Dengan Diri Sendiri Dahulu..
Banyak yang menyangka Tarbiyatul Aulad ini dimulai ketika setelah menikah, dan telah dianugrahkan oleh Allah anak-anak.
Maaf, itu salah !

Mempelajari Tarbiyatul Aulad ini sebenarnya harus dilakukan sebelum anak itu dilahirkan.
Ataupun dengan gaya bahasa yang sedikit extreme, 40 tahun sebelum anak itu dilahirkan.
40 tahun ?!! Ya benar!
Itulah salah satu ungkapan yang diucapkan oleh ayahnya  Imam Al Ghazali, saat ia ditanya bagaimana cara dia mendidik Imam Al Ghazali.

Coba kita bayangkan bersama.
Ketika ditanya seperti itu, usia ayah Imam Al Ghazali adalah 55 tahun, maka 40 tahun sebelum itu, usianya adalah 15 tahun.

15 tahun sudah berfikir bagaimana untuk merancang keluarga ? Ya !

Memikirkan bagaimana membina individu/keluarga muslim itu telah dimulai sejak usia remaja ini. Bukannya ketika setelah akad nikah, baru merancang bersama istri bagaimana masa depan keluarga, tetapi sekarang!

Coba fikirkan baik-baik, sempatkah sehari atau sebulan sebelum menikah, atau 6 bulan sebelum melahirkan, baru kita merancang bagaimana bentuk pendidikan dan keluarga yang bakal kita bina ? Saya rasa tidak sempat. Dan bahkan sudah telat.

Jadi, ayo kita mulai dari sekarang !
*Ehh,, tapi mau mulai darimana?

Angan-angan sebelum tidur
“Antum bayangkan hal itu sebelum tidur, antum ingin keluarga yang seperti apa? Anak-anak dan Istri yang bagaimana ?“ kata seorang sahabat saya, "ingat.. ! tidak salah berangan-angan, tapi jangan berlebihan" Hehehe.. kami tertawa bersama.

Saya jadi semangat ! Semangat untuk merancang keluarga ! Karena apa ?
Karena saya tahu dan semua orang juga sudah tahu, untuk melahirkan generasi muslim yang akan menegakkan Islam, maka ia harus dimulai dari keluarga, yang dinamakan sebagai Baitul Muslim ataupun Keluarga Muslim. Maka, mulai sekarang kita harus meningkatkan ‘angan-angan’ itu, serta perbanyak ilmu berkaitan dengan Tarbiyatul aulad atau pendidikan anak-anak ini.

Dan langkah yang selanjutnya adalah !

Mencari calon istri yang solehah

Istri yang solehah merupakan roh sebuah rumah tangga. Ia mampu menenangkan sebuah jiwa dan dengannya akan teratur sebuah kehidupan. Dia berperan untuk mengatur rumah, mendidik anak-anak dan membesarkan mereka di atas landasan kemuliaan, kebenaran dan kebaikan. Mereka seharusnya merasa bertanggungjawab seandainya anak-anak mereka ‘tidak menjadi’, menjadi sampah masyarakat atau bahkan musuh islam. Tugas ibu bukan sekedar membuatkan makan minum dan mencucikan pakaian anak-anak saja, tetapi juga untuk membuat segala potensi, rohani, jasmani, emosi dan intelektual anak-anak.

Ya benar. Isteri adalah individu pertama yang selalu dekat dengan anak-anak.  Maka, secara tidak langsung ibu adalah individu yang paling penting dalam proses pentarbiyahan seorang anak.

Disebutkan dalam satu kisah yang semoga tidak salah, yakni bagaimana ibu dari Sultan Muhammad Al Fatih mentarbiyah anaknya.

Setiap hari tanpa bosan, ibu  Sultan Muhammad Al Fateh ini membawa Sultan Muhammad Al Fatih  ke sebuah tebing yang betul-betul menghadap kota Konstantinopel sambil berkata..

“Wahai anakku, di sana terdapat Kota Konstantinopel. Dan Rasulullah SAW bersabda: Konstantinopel itu akan ditaklukkan oleh tentara Islam. Penakluknya adalah sebaik-baik raja, dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara. Ketahuilah anakku, engkau lah orangnya”

Persoalannya, apakah ibu Sultan Muhammad Al Fatih tahu bahwa anaknya itu yang akan menaklukkan kota Konstantinopel ?

Tidak tahu ! Sama sekali tidak tahu !

Tetapi karena ia percaya pada janji Allah dan optimis dengan cita-citanya, ibu Sultan Muhammad Al Fatih ini tanpa bosan terus memotivasi anaknya dengan hadits itu.

Dan akhirnya ,
Sultan Muhammad Al Fatih berhasil membuka kota Konstantinopel, setelah 800 tahun berlalu.
Maka benarlah seperti apa yang dikatakan oleh Saidina Umar r.a
“Di balik kesuksesan seorang lelaki itu, lihatlah bagaimana ibunya”

Lalu bagaimana mendapatkan seorang istri yang solehah? (nah, yang ini saya tidak mau bahas ^_^)


Tanggungjawab dakwah kita kepada anak-anak dan remaja

sadarkah kita bahwa pada usia remaja, bimbingan dan nasihat amatlah diperlukan bagi diri mereka yang sedang mengalami transisi kedewasaan. Mereka sebenarnya sedang mencari teladan yang dirasa sesuai untuk diikuti sebagai idola.

Jika tidak kita tanamkan semangat dan rasa cinta kepada yang seharusnya menjadi teladan dalam hati mereka, nanti mereka akan jatuh cinta pada mereka yang tidak seharusnya menjadi teladan? Siapa tahu?

“bang, malam ini temankan Lisa nonton konser WALI di korem ya ? Plizz …”
“Oi mi, ade JKT48 nih datang, yok kite liat..”

Sahabat,
Rasulullah dan para sahabatnya, para ulama, atau tokoh2 hebat kaum muslimin, yang hendak kita tanamkan menjadi idola mereka, tentu bukanlah orang yang akan menjadi pasangan hidup mereka. Begitu juga idola-idola yang tidak pantas menjadi idola. Tetapi mereka adalah idola-idola penting yang bakal mempengaruhi kehidupan anak-anak ini sejak kecil hingga dewasa.
 
Maka, apakah solusinya ?
Mari kawan, tidak salah jika anda menabung Rp. 25.000 sebulan, dikumpulkan untuk membeli buku Tarbiyatul Aulad, atau mungkin menghadiahkannya kepada adik-adik remaja yang anda kenali.

Tidak salah juga anda korbankan sedikit waktu luang anda untuk membahas hal ini kepada mereka.

Tidak salah juga jika anda rendahkan martabat diri anda, bergaul dengan mereka, kenali mereka, nasihati mereka. Karena mereka sangat butuh untuk dikenalkan idola yang seharusnya untuk diikuti. Atau mungkin anda lah yang pantas menjadi idola mereka.

Semoga kisah di bawah ini menjadi inspirasi buat anda, karena kisah ini tersangat menginspirasi saya.

"Seorang anak kecil di Kota Madinah bernama Umair selalu bermain dengan burung pipit peliharaanya. Nabi saw menamakan burung itu al-nughair (anak burung pipit). Setiap kali melihat umair, Nabi berkata ” Wahai Umair apa yang dilakukan oleh al-nughair ?
suatu hari saat Rasulullah SAW berkeliling bersama sahabat, tiba-tiba Rasulullah  SAW melihat seorang Umair sedang menangis"

(Bayangkan, seorang Pemimpin yang hebat, berhenti karena melihat tangisan anak kecil ?”)

“Ya Umair, mengapa kamu menangis?”
“Burung kecilku baru saja mati Ya Rasulullah” Kata Umair, sambil mengesat-ngesat air matanya.

Lalu anda tahu apa yang Rasulullah saw lakukan?

“Nabi saw pun duduk sejenak dan bermain dengan Umair. Para sahabat yang terlihat Rasulullah pun bertanya, lalu Baginda saw menjawab ” al nughair telah mati” karenanya aku ingin menghibur Umair. (HR Bukhari no 6203)

Subhanallah, jika pemimpin hebat seperti Rasulullah saw yang sudah tentu lebih sibuk dari kita, begitu peka akan perasaan seorang anak kecil? lalu bagaimana dengan kita?

Mari kita borong sama-sama buku Tarbiyatul Aulad Fil Islam Jilid 1 dan 2 : Syeikh Abdullah Nasih Ulwan, di Granada Bookmart - Kopma Untan..

Jangan Remehkan Mereka Yang Tidak 'Tarbiyah'

Saya tidak tahu ingin memulai dari mana. Tetapi, saya harus katakan bahwa penularan penyakit ini semakin membuat hati dan telinga saya 'panas'. Lalu jari jemari saya semakin gatal mau mengetik di keyboard agar meringankan ‘beban’ yang panas ini. 

“Saya takkan pergi ke pasar malam. Jika saya pergi pun, saya tidak akan beli apa-apa. Lihatlah, mereka itu solat atau tidak? Makanan yang kita makan itu dari tangan orang tdk solat, tdk tutup aurat dengan baik? Makanan itu kah yang akan kita berikan kepada keluarga kita?”

Saya dan teman saling memandang. Mata kami membulat dengan dahi berkerut. Penceramah di hadapan meneruskan ide-idenya.

“ Dengar sini, kalau ada ‘akhwat’ kirim sms ke antum jam 2 pagi, tanya hal yang tidak penting, jangan pernah ambil dia sebagai istri”

Uhukuhuk. Wow, itu satu tips untuk akhwat juga! Hmm…

APA MASALAHNYA

Ya, tidak ada kesalahan teknis pada penyataan di atas. Siapa juga yang mau makan dari hasil tangan orang yang tidak sholat, ahli maksiat dan tidak masuk syurga? Siapa pula yang berharap beristrikan atau bersuamikan si pengirim SMS lewat tengah malam, atau kata-kata popular ahli tarbiyah, “ Tak jaga ikhtilath?”  Nanti apabila sudah menikah, dibelakang pasangannya pun ia akan melakukan hal yang sama, berhubungan dengan yang lain tanpa batasan!

Tetapi, ya tetapi…

Menjadi da’i atau peserta tarbiyah seringkali membuat diri sendiri menjadi berlebihan. Merasakan, hanya kita dan sesungguhnya hanya kita, dan tidak ada yang lebih baik daripada kita. Merasa tidak ada yang lebih rajin sholat daripada kita. Merasa hanya amal dari kita, dari partai kita, atau dari jamaah kita yang paling nyata. Merasakan hanya kita lah yang lebih layak diambil sebagai isteri atau suami, yang lebih wara’ sikapnya dibandingkan manusia ‘ammah’ lain yang kita lihat di pasar malam, di dalam kampus, di tepi-tepi jalan, di pasar, di facebook dan di mana-mana tempat yang kita rasa di situ adalah ‘sarang maksiat’.

Memandang manusia lain yang tidak menutup aurat sebagai picisan, meremehkannya, dan  memandang satu kesalahannya seolah-olah ia sedang menanggung dosa yang sangat berat, serta menilai keberadaan seseorang di suatu tempat adalah lambang keimanannya.
 
MENGAPA TIDAK…

…kita bersangka baik. Ataukah kita terlalu ‘izzah (atau bangga) dengan tarbiyah yang kita miliki sehingga kita merasakan  bahwa hanya kita sajalah manusia yang paling beriman di muka bumi ini. Sebagai tanda syukur kita karena memperoleh nikmat tarbiyah, membuat kita merasa ‘orang lain’ tidak bernasib baik seperti kita. 

Hati-hatilah pada kata-kata yang kita ucapkan saat mendiskusikan tentang mereka, hati-hatilah terhadap ideologimu saat membanding bedanya jahiliyahnya mereka (yang ammah) dan taqwanya dirimu. 

Jangan sampai bersangka-sangka, menghukum dengan hanya dengan satu pandangan, dan merasa ‘ujub akan kesucian dirimu. Saat itulah amal seorang da’i/aktivis akan tersungkur hancur bagai debu. Dan mereka yang dianggap tidak solat, tidak layak dibuat ‘jodoh’, dan mereka yang kita anggap tidak sholeh, tidak beramal, dan tidak bekerja untuk dakwah, akan melambaimu di pintu syurga.

KETAHUILAH…

Tidak semua orang yang beramal ibadah lalu menunggu-nunggu agar orang melihat akan amalnya itu. Tidak semua orang ingin menunjukan dirinya adalah anak tarbiyah dan  ingin kebaikannya agar diakui semua orang. 

Kawan, barangkali kita masih berada di kelompok orang tarbiyah, lalu kita mudah ‘sensitif’ dengan satu kesalahan ikhwan kita dan lalu hilanglah tsiqah terhadapnya. Barangkali kita biasa menampilkan amal untuk berlomba-lomba akan siapakah yang paling terdepan.

Berjalanlah kalian dimuka bumi... Tidak semua mereka yang bercelana jeans, berambut panjang dan bertato itu adalah preman. Belum tentu ikhwan yang kita tahu tidak aktif di jamaah kita, atau bahkan tidak aktif jamaah manapun adalah orang yang ammah terhadap diennya. Tidak seharusnya juga ukhti yang mengirim SMS di malam hari dihukum menjadi PERAWAN TUA karena dijauhi ikhwan-ikhwan yang mengetahui ketidakpeduliannya dalam masalah ‘ikhtilat’.

Siapa tau..

Mereka yang kita sangkakan 'ammah' ternyata adalah ‘seseorang di sisi Allah’, sedang kita yang begitu ‘izzah dalam menjaga  kata-kata dan kelakuan kita, mungkin sedang dipilih Allah untuk ke jurang neraka. 

Ya, saya banyak bertemu manusia ‘aneh’ yang soleh dan manusia soleh yang aneh. Mungkin karena saya diberikan peluang hidup dalam keadaan dua dunia yang berbeda; dunia tarbiyah dan dunia sosial. 

Tidak jarang saya temukan manusia ‘ammah’ ini lebih manusiawi, lebih sufi dan lebih bagus akhlaknya daripada orang soleh. Mungkin itu karena mereka sadar, mereka bukanlah ustad, ustadzah sehingga mereka tidak menunjukkan amal-amal dan luasnya ilmu agama mereka.

Kita bukanlah hakim terhadap iman dan amal manusia. Sedangkan malaikat tugasnya hanya mencatat, karena apa yang dalam hati itu hanya Allah mengetahuinya. Tidak rugi jika kita berprasangka baik, memandang diri sendiri yang tidak cukup baik. Jika tidak mampu mengontrol zhonn dalam hati, jangan pula kita sebarkan prasangka ke segenap alam. Ingatlah, tarbiyah bukan satu-satunya jalan ke surga, karena surga itu banyak pintunya..

wallahualam..

Teladan Seorang Ibu: Aku Hadiahkan putraku untuk Allah

Di Madinatirrasul, ada seorang mujahid bernama Abu Qudamah Asy-Syami, Allah telah menamamkan rasa cinta kepada laki-laki ini terhadap jihad fi sabilillah. Suatu saat ia sedang berbincang dengan sahabat-sahabatnya di Masjid Nabawi. Mereka berkata : “Ya Aba Qudamah, ceritakan kami pengalaman yang paling berkesan dan unik selama kamu berjihad.”

Abu Qudamah pun memulai ceritanya:

Beberapa tahun lalu, aku pernah menginjakkan kakiku di wilayah Raqqah [kota ditepi sungai Eufrat], saat itu aku sedang mencari onta untuk keperluan perang.

Suatu hari, ketika aku sedang duduk, seorang perempuan menghampiri ku seraya berkata, “Bukankah anda adalah Abu Qudamah? Aku banyak mendengar bahwa anda sering memberi pelajaran tentang jihad dan mengajak kaum muslimin untuk berjihad. Aku adalah seorang wanita yang Allah karuniakan rambut panjang yang tidak dimiliki oleh wanita selainku, aku telah memotongnya dan membuatnya sebagai pelana untuk kuda dan onta, aku sangat senang jika anda membawanya dan menggunakannya, bila anda sampai di wilayah musuh, gunakanlah ia jika tidak serahkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan agar rambut ini dapat merasakan debu jihad fi sabilillah.

Aku adalah seorang janda, dulu aku memiliki suami, ia dan saudara laki-lakinya semua syahid untuk menegakkan kalimat Allah, jika perempuan diwajibkan untuk berjihad tentu aku akan turut serta. Ketahuilah wahai Abu Qudamah, ketika suamiku wafat, ia meninggalkan anak laki-laki yang amat baik akhlaknya, bagus rupanya, ia telah hafal al Qur’an, mahir menunggang kuda dan jago memanah, ia anak yang senang menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah dan siang harinya dengan berpuasa, umurnya baru 15 tahun, kini ia bekerja di ladang peninggalan ayahnya, sebentar lagi ia akan datang untuk menyertaimu berjihad, bawalah ia bersamamu sebagai HADIAH BAGI ALLAH, aku memintamu atas nama ketinggian Islam, jangan menahan pahala yang aku harapkan dari-Nya.”

Setelah itu aku mengambil beberapa buah tali kekang kuda yang ia buat dari rambutnya, ia berkata,  ”Biarkan aku melihat anda meletakkannya di atas sebagian pelanamu agar aku dapat menenangkan hatiku.” Akupun meletakkannya diatas pelanaku dan setelah itu akupun berangkat bersama para mujahidin keluar dari kota Raqqah.

Sesampainya kami di benteng Maslamah ibn Abdil Malik, tiba-tiba ada seorang penunggang kuda berkata dari belakangku, “Ya Aba Qudamah, berhentilah sebentar, semoga Allah merahmatimu!”
Akupun berdiri disampingnya, dia merangkulku seraya berkata, “Alhamdulillah, yang telah mengizinkanku berjumpa dan bersahabat denganmu dan tidak membiarkanku pulang dengan kekalahan dan tangan kosong.”

Aku menjawab dengan takjub, “Wahai putraku, tahan dirimu, biar aku melihat wajahmu, bila kamu sudah cukup umur, aku izinkan kamu ikut bersamaku jika umurmu belum cukup, aku akan mengembalikanmu kepada kedua orang tuamu.” Ternyata ia adalah seorang remaja yang berwajah cerah seperti bulan di malam purnama, garis wajahnya terlukis jejak nikmat yang pernah dikecapnya.
Aku melanjutkan pertanyaanku, “Apakah kamu masih memiliki ayah?”

Ia menjawab : “Tidak, bahkan aku keluar untuk berjihad karena mengikuti jejak ayahku yang syahid fi sabilillah, karena itu aku sangat berharap Allah Ta’ala anugerahkan aku syahid sebagaimana ayahku.”
Aku berkata, “Wahai putraku sayang, apakah kamu masih punya ibu?” Ia pun meng-iya-kannya.
Aku berkata, “Jika begitu minta izin dulu kepadanya, ketaatanmu padanya lebih utama dari jihad karena surga berada dibawah kilatan pedang dan dibawah telapak kaki ibu.”

Ia menjawab, “Wahai Abu Qudamah, apakah anda benar tidak mengenaliku?” Akupun menggelengkan kepala.

Ia melanjutkan, “Aku adalah putra dari seorang perempuan yang mengamanahkan sesuatu padamu. Apakah anda lupa wasiat seorang perempuan pemilik tali kekang? Aku mengharapkan syahid sebagaimana ayahku, aku meminta padamu atas nama Allah agar jangan menghalangiku meraih kemenangan di medan tempur, aku hafal al Qur’an, paham sunnah Nabi saw, aku terampil menunggang kuda dan jago memanah, aku tidak meninggalkan seorangpun ahli memanah di kota kami selain diriku, jangan anda meremehkanku lantaran usiaku yang masih remaja. Ibuku juga bersumpah agar aku jangan pulang sampai mendapatkan syahid.

Ibuku berpesan, ‘Anakku, jika engkau berjumpa dengan musuh, jangan memalingkan badan dan lari, hadiahkanlah dirimu untuk Allah. Mohon agar kamu selalu berada dalam lindungan-Nya serta mempertemukanmu dengan ayahmu dan paman-pamanmu yang shalih di surga-Nya. Jika Allah memberimu syahid jangan kamu lupakan ibu, mohonkan syafaat kepada Allah untukku karena aku pernah mendengar bahwa orang yang mati syahid diperkenankan oleh Allah memberi syafaat bagi 70 orang dari keluarganya’. Lalu ia memelukku dan mengangkat kepalanya ke arah langit seraya berkata, ‘Ya Allah, inilah anak laki-lakiku, pengharum jiwaku, buah hatiku, aku serahkan ia pada-Mu, maka dekatkan ia kepada ayahnya’.”

Setelah mendengar pengakuannya, aku menangis sejadi-jadinya, bangga dengan kebaikannya di saat begitu muda usianya, kelemahlembutan dan kesabaran ibunya.

“Hai pamanku, apa yang membuatmu menangis? Bila anda menangisi umurku yang masih muda, sungguh Allah akan mengazab orang yang lebih muda dariku jika ia bermaksiat kepada Allah.”
Aku mengatakan bahwa aku tidak menangisi umurnya tapi bagaimana dengan ibunya, bagaimana nanti kalau ia hidup tanpa dirinya.

Kamipun meneruskan perjalanan, kami bermalam disebuah tempat, saat pagi kamipun melanjutkan perjalanan, aku lihat anak itu tidak pernah berhenti berdzikir. Aku senang memperhatikannya, ia orang yang paling ahli mengendalikan kuda dibanding kami semua, ia banyak membantu saat kami istirahat dan bermalam. Semakin jauh kami berjalan semakin nampak kekuatan azzamnya, semakin tinggi semangatnya dan semakin tegar hatinya, cahaya kebahagiaan terpancar jelas terlukis di wajahnya.

Kami masih meneruskan perjalanan hingga hampir mendekati perkampungan orang-orang musyrik ketika matahari tenggelam di ufuk barat dan anak itupun memasak untuk kami berbuka puasa, hari itu kami semua berpuasa.

Saat malam anak itupun tertidur dengan nyenyak, bibirnya tersenyum saat ia tertidur, aku berkata kepada pasukanku, “Tidakkah kalian melihat senyumnya padahal ia masih tertidur.”

Ketika ia bangun dan sadar, aku berkata “Anakku, aku melihatmu tertidur namun kamu tersenyum dan tertawa.”

Ia menjawab, “Paman, saat aku tidur, aku bermimpi sangat indah, akupun tertawa gembira.” Aku bertanya, “Mimpi apa kamu?”

Ia bercerita, “Aku melihat ruangan di surga berwarna hijau, megah dan cantik. Saat aku berjalan mengitarinya, aku mendapati sebuah istana yang dindingnya terbuat dari permata, pintunya terbuat dari emas, tirainya sangat halus, aku melihat banyak bidadari menarik tirai tersebut, wajah mereka bersinar bak rembulan, ketika melihatku mereka berkata, ‘Selamat datang untukmu’. Aku ingin sekali menyentuhnya namun mereka mengatakan, ‘Jangan terburu-buru, waktu yang dijanjikan untukmu sebentar lagi akan datang’. Aku mendengar sebagian mereka mengatakan, ‘Ini adalah suaminya Mardhiyyah’.

Mereka menyuruhku mendekat dan ternyata didalam istana itu ada sebuah kamar yang terbuat dari emas berwarna merah, disana ada sebuah ranjang berwarna hijau, tiangnya terbuat dari perak berwarna sangat putih. Di atas kasur itu ada seorang bidadari sangat cantik wajahnya seterang mentari, jika Allah tidak membantu penglihatanku niscaya kedua mataku akan hilang. Akalku pun akan lenyap bersamaan karena tidak kuasa melihat keindahan kamar dan keelokan bidadari tadi. Ketika ia melihatku, ia berkata manis, ‘Selamat datang wahai wali Allah dan kekasih-Nya, kamu adalah milikku dan aku adalah milikmu’.

Ketika aku akan memeluknya, ia berkata, ‘Sabarlah, jangan tergesa-gesa karena engkau adalah orang yang jauh dari kekejian, waktu kita untuk bertemu dan hidup bersama selamanya adalah esok hari saat adzan dzuhur. Karena itu bergembiralah!’”

Aku berkata, “Putraku, aku melihat kebaikan pada dirimu, semoga kebaikan pula yang terjadi atas dirimu.”

Malam itu kami takjub akan mimpi anak itu, ketika pagi seluruh pasukan menaiki kuda masing-masing, saat itu sangat jelas ada suara yang memanggil kami, “Wahai kuda-kuda Allah berlarilah, bergembiralah dengan surga !”

Tak lama setelah itu pasukan musuh pun menghadang kami, seperti belalang yang beterbangan, orang pertama dari pasukan mujahidin yang menghadapi mereka adalah anak muda tadi, ia memporakporandakan barisan musuh, menggentarkan mereka dan banyak yang terbunuh baik dari prajurit dan perwira-perwira mereka. Ketika aku melihatnya aku segera menyusulnya dan menarik kekang kudanya sambil berkata, “Anakku sayang, mundurlah ke belakang, kamu masih sangat belia belum tahu siasat pertempuran.”

Ia menjawab, “Pamanku, tidakkah paman mendengar firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ [الأنفال/15
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).”

“Apakah paman ingin aku termasuk penghuni neraka?”

Ketika kami tengah berbicara, pasukan musyrikin bersatu dalam satu komando menyerang kami. Mereka berusaha memisahkan aku dengan pemuda tadi. Mereka merebutnya dariku, pertempuran memanas, setiap orang sibuk dengan lawan masing-masing. Banyak mujahidin yang syahid, ketika kedua pasukan saling menjauh, akupun berjalan dengan kudaku diantara para pejuang yang gugur, banyak darah mengalir diatas bumi. Wajah mereka sulit dikenali lantaran debu dan darah yang menyatu.

Saat aku mengitari para pejuang yang gugur, aku berhenti disamping anak muda yang tersungkur penuh debu. Ia tengah membalikkan tubuhnya di tumpukan debu, ia berkata, “Hai pasukan muslimin, demi Allah aku meminta kalian untuk memberitahukan kondisiku kepada pamanku, Abu Qudamah!”
Aku menghampirinya, tubuhnya telah bercampur dengan debu dan darah yang banyak sehingga ia sulit dikenali, aku berkata, “Akulah Abu Qudamah.”

Ia mengatakan, “Pamanku, demi Pemilik Ka’bah, mimpi itu ternyata benar. Aku adalah anak sang wanita yang menitipkan tali kekang padamu.” Aku mencium keningnya lalu mengusap debu dan darah dari wajahnya seraya berpesan padanya, “Putraku, jangan engkau lupakan pamanmu ini, Abu Qudamah. Jadikan aku jajaran orang yang engkau beri syafaat.”

Ia menjawab, “Orang sepertimu tidak akan terlupa, paman mengusap wajahku dengan bajumu, bajuku lebih berhak mengusap dari bajumu. Biarkan aku wahai paman, biarkan aku seperti bertemu dengan Rabb-ku, paman.. bidadari yang pernah aku ceritakan kemarin, kini berdiri didekat kepalaku menunggu ruhku keluar, ia berkata ‘Cepatlah keluar, aku sangat rindu padamu’. Demi Allah wahai paman, jika Allah mengembalikanmu dengan selamat, bawakan bajuku yang berlumur darah ini kepada ibuku yang sangat aku kasihi, berikan ini kepadanya agar ia percaya bahwa aku tidak menyia-nyiakan wasiatnya. Sampaikan salamku padanya dan beritakan bahwa aku tidak gentar menghadapi musuh dan katakan padanya bahwa Allah telah menerima hadiahnya.

Aku memiliki adik perempuan berusia 10 tahun, setiap aku masuk rumah dia-lah yang pertama menyalamiku, bila aku pergi dia-lah yang terakhir mendoakanku, dalam perjalanan kali ini pun dia mendoakanku dan mengucapkan selamat tinggal seraya berkata, ‘Kakakku, demi Allah jangan terlalu lama di perjalanan’. Jika bertemu dengannya maka sampaikan salamku untuknya dan katakan bahwa Allah-lah penjaganya setelah aku tiada sampai hari kiamat.”

Anak itu tersenyum padaku sambil berkata, “Aku bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah, tiada sekutu bagi-Nya, janji Allah adalah pasti dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, Maha benar Allah dan Rasul-Nya.”

Tidak lama berselang anak itupun meninggal dunia, kami mengafaninya lalu menguburkannya.

Setelah peperangan usai kami pun kembali ke kota Raqqah. Yang pertama ada dalam benakku adalah pergi ke rumah pemuda itu. Aku melihat seorang anak kecil dengan perawakan dan wajah mirip dengan pemuda tadi, ia berdiri di depan pintu rumahnya. Setiap orang yang lewat ditanya, “Paman, dari mana anda datang?” Setiap orang menjawab, “Dari medan tempur.” Ia kembali bertanya, “Apakah abangku tidak pulang bersama paman?”

Ketika aku mendengarnya aku mendekatinya, ia pun menanyakan hal yang sama kepadaku, ia mengatakan, “Aku melihat orang berdatangan, aku tidak melihat abangku diantara mereka.”

Aku tidak kuasa membendung kesedihan dan air mataku, namun aku masih menahannya. Aku katakan padanya, “Hai anakku, katakan kepada pemilik rumah ini, Abu Qudamah ingin bicara padanya dan telah berada di depan pintunya.”

Wanita itupun keluar dengan raut muka yang sudah berubah, aku mengucapkan salam padanya, ia menjawabnya sambil bertanya, “Apakah anda membawa berita gembira atau duka?”

Aku berkata, “Terangkan padaku perbedaan berita gembira dan berita duka, semoga Allah merahmatimu.”

Ia mengatakan, “Jika anakku pulang dengan selamat, maka anda`membawa berita duka. Namun jika anakku syahid fi sabilillah berarti anda membawa berita gembira.”

Aku berkata, “Bergembiralah, karena Allah telah menerima hadiah darimu!”
I
a pun menangis sambil berkata,”Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya tabungan di hari kiamat.”

Aku bertanya tentang adik dari sang pemuda, ia berkata, “Dia-lah perempuan kecil yang baru saja anda ajak bicara”, ia maju ke hadapanku, aku katakan padanya, “Kakakmu mengirimkan salam untukmu dan berpesan bahwa Allah-lah yang akan menggantikannya menjagamu sampai hari kiamat.”

Tiba-tiba ia berteriak dan tak sadarkan diri, aku menggerak-gerakkan tubuhnya, ternyata anak itu telah meninggal. Aku terkejut dengan apa yang aku alami. Aku pun pergi setelah menyerahkan baju pemuda tadi kepada ibunya dengan kesedihan yang mendalam atas putrinya, sungguh sang ibu adalah sosok yang tegar dan sabar.”

Ya Allah jadikanlah kami orang tua yang mampu menghadiahkan putra putrinya bagi-Mu sebagaimana yang telah dilakukan oleh salah seorang hamba-Mu yang shalihah ini.

Beratnya Godaan Wanita Zaman Modern


Bismillahirrahmaanirrahiim.

Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda: “Maa taraktu ba’diy fitnatan adharra ‘alar rijal minan nisaa’” (tidaklah aku tinggalkan sesudahku fitnah/godaan yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki, selain godaan wanita.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Secara potensial kaum wanita merupakan godaan bagi kaum laki-laki. Ia merupakan salah satu unsur dari “tiga ta” (harta, tahta, dan wanita). Namun di zaman modern godaan wanita jauh lebih berat lagi.
Bagaimana bentuk godaan wanita di era sekarang?

[1]. Wanita modern terus-terang cantik-cantik. Mereka lebih cantik dari wanita-wanita zaman sebelumnya. Era sekarang sarana-sarana kecantikan melimpah-ruah. Salon, make up, sarana kebugaran (fitness), gaya hidup modis, media-media, hingga operasi plastik untuk mengubah penampilan lebih cantik. Dengan modal uang dan informasi, wanita sekarang bisa tampil cantik.

[2]. Pakaian wanita modern umumnya seksi-seksi. Bentuknya bisa pakaian ketat (pas badan), rok mini, celana pendek, dan seterusnya. Mereka bukan malu memperlihatkan keseksian, justru bangga.

[3]. Sikap wanita sekarang banyak yang berani atau agressif. Kalau dulu wanita identik dengan menunggu, tetapi sekarang mereka “aktif menyerang”. Kalau bukan laki-laki yang mendatangi mereka, mereka yang akan mendatangi laki-laki.

[4]. Banyak wanita sekarang mencari income dengan modal penampilan. Mereka benar-benar sadar bahwa kecantikan dan tampilan seksi itu menghasilkan uang. Mereka menjadi model, SPG, bintang iklan, dan seterusnya. Modal ilmu atau kecerdasan tak mesti harus ada, asalkan bisa tampil cantik, seksi, dan menggoda.

[5]. Wanita modern banyak yang galaw. Nah, ini masalah serius. Fitrah wanita kan tidak bisa hidup sendiri, mereka selalu membutuhkan pasangan hidup (suami). Sementara untuk mendapatkan pasangan itu perlu perjuangan ekstra, sehingga ada persaingan antar sesama wanita dalam kecantikan, penampilan, dan kenekatan.

Semua ini merupakan cobaan-cobaan berat yang dihadapi kaum laki-laki zaman sekarang, di segala umur, selain anak-anak kecil. Para suami, anak muda, mahasiswa, pelajar, bapak-bapak, hingga kakek-kakek, mendapati semua cobaan itu.

Ada baiknya kita selalu berdoa: Nas’alulloh al ‘afiyah fid dini wad dunya wal akhiroh (ya Allah kami meminta kepadamu keselamatan dalam urusan agama, urusan dunia, dan urusan Akhirat).

Atau baca doa yang terkenal dalam Al Qur’an: Robbana laa tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana wa hablana min ladunka rohmah innaka antal wahhab (ya Rabbana, janganlah Engkau gelincirkan kami -ke dalam kesesatan- setelah Engkau berikan kami petunjuk, anugerahkan dari sisi-Mu berupa rahmat, sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemberi karunia).

Baca doa-doa ini dalam kehidupan sehari-hari, ketika setelah shalat, atau ketika dihimpit godaan besar. Semoga Allah selalu melindungi kami, Anda, dan kaum Muslimin semuanya. Amin ya Arhama Rohimiin.

abu muhammad waskito

Jauh Beda - PKS dan Ikhwanul Muslimin


Suatu hari saya bertemu dengan salah seorang kawan yang baru saja pulang dari Mesir setelah menyelesaikan studi S-1 di Al-Azhar. Kini beliau menjabat sebagai staff ahli salah satu Anggota DPR RI F-PKS.

Dalam dialog ini saya bertanya tentang Ikhwanul Muslimin di Mesir, saya awali dengan pertanyaan:

“Ustad HNW pernah bilang PKS bukan IM, antum tau alasan beliau bilang seperti itu akhi?”

kawan saya ini dengan enteng menjawab “jelaslah kita bukan IM, karena kualitas kita jauh dari IM”

“Maksud antum apa?” tanya saya lagi.

“Akhi, kalau kader PKS di Indonesia memang yang Hafidz Qur’an banyak, namun bukan mayoritas kader, sedangkan di Mesir sana kader IM yang tidak hafidz Qur’an mungkin yang jadi minoritas, dari satu kampung ke kampung lainnya engkau akan menemukan seorang kader yang pasti seorang hafidzul Qur’an, dan yang hafidz Quran bukan cuman kader-kader elit yang marhalah tarbiyahnya tinggi akhi, tapi kader-kader muda biasa kayak ana dan antum juga mayoritas hafidz”.

Saya hanya manggut-manggut, teringat diri ini bahwa menjadi hafidzul Qur'an adalah hal yang luar biasa, tidak semua orang bisa menjadi hafidzul Qur'an. Hanya mereka yang benar-benar menjaga ketakwaan pada Allah, menjaga pandangan dan segala hari hal-hal yang haram yang mampu menjadi seorang penghapal Qur'an.

Masih terus nyerocos penuh antusias kawan saya melanjutkan “kalau antum ke Mesir, semakin antum ke kampung, maka akan semakin banyak kader dan simpatisan IM. Mereka begitu merakyat, hidup mereka adalah hidup rakyat Mesir. IM semakin kuat di pedesaan karena kerja mereka begitu nyata terasa di masyarakat. Setiap ada kejadian apapun yang menimpa masyarakat, yakinlah disana ada seorang kader IM yang sudah sampai untuk membantu”. 
 (Opini : Hadiyan Faris Azhar, lihat selengkapnya di sini)
----------------------------------------------------------
tanggapan:
Kalau di Indonesia, 
yang banyak duit dan massa, itu yang diangkat jadi kader untuk maju dalam pemilu.
yang paling besar 'mahar' nya, itu yang diberi perahu.
pemimpin yang diangkat/diusung, bukan lagi dilihat dari segi akhlaknya.
bukan dilihat dari segi shidiq, fathonah, dan amanah nya.
tapi dari elektabilitas dan popularitasnya.
dan tebal kantongnya...

Ust Abi Syakir pernah menceritakan pengalamannya,

Ada sebuah peristiwa menarik bertahun-tahun silam, menjelang Indonesia memasuki era Reformasi. Saya lupa waktunya, mungkin tahun 1996 atau 1997. Waktu itu di Masjid Al Manar Jl. Puter Bandung diadakan bedah buku Memoar Hasan Al Banna. Buku ini diterbitkan oleh Era Intermedia dari Solo. Hadir sebagai pembicara pimpinan Era Intermedia sendiri dan KH. Rahmat Abdullah.
Dalam sessi tanya-jawab, Ustadz Rahmat rahimahullah ditanya tentang eksistensi Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Singkat kata, adakah Ikhwanul Muslimin di Indonesia? Secara mengejutkan, beliau malah menjawab: “Wallahu A’lam, ada atau tidak.” Saya terus terang kecewa dan berburuk sangka kepada Ustadz Rahmat Abdullah ketika itu. “Masak sih, ada kader-kader Tarbiyah (IM) sedemikian banyak, kok dibilang wallahu A’lam?” begitu pertanyaan saya di hati.
Luar biasanya, jawaban Ustadz Rahmat Abdullah diulang kembali ketika beliau diwawancarai wartawan Suara Hidayatullah. Malah dalam wawancara itu beliau didesak-desak terus oleh sang wartawan untuk mengakui, bahwa Jamaah Tarbiyah di Indonesia, adalah representasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi berulang-ulang beliau tidak memberi jawaban tegas. Kesannya sama seperti dalam bedah buku di atas, jawaban sengaja ‘digantung’.
Alasan Ustadz Rahmat sangat menarik. Kata beliau, kurang-lebih, “Kalau kita mengaku bagian dari Ikhwanul Muslimin Mesir, apa memang kita ini sudah memiliki kualitas seperti mereka?” Bahkan, ketika beliau diberitahu bahwa Habib Husein Al Habsyi telah mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin Indonesia, beliau mengecam hal itu dengan sengit. “Kalau ada yang mengklaim, biar dia makan klaimnya,” kata Ustadz Rahmat tegas.
Saya semula menyangka, pernyataan Ustadz Rahmat itu adalah bagian dari diplomasi, atau katakanlah menjaga amniyah(kerahasiaan). Kalau diakui secara jujur, khawatir nanti komunitas Jamaah Tarbiyah atau Partai Keadilan (PK) ketika itu akan diberangus habis oleh kekuasaan. Ya, katakanlah pernyataan beliau hanya semata diplomasi belaka.
Namun jujur saja, ketika saya melihat sikap-sikap PKS dewasa ini, saya sangat ragu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Bagi yang menyimak perkembangan Al Ikhwan di Timur Tengah, pasti akan merasa ragu melihat sikap PKS selama ini. Benarkah partai ini representasi Al Ikhwan? Atau hanyangaku-ngaku saja? Kenyataannya, perbedaan sikap di antara mereka amatlah tajam.
Seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, Kamaluddin As Saraniri (saya yakin orang-orang PKS saat ini banyak yang tidak tahu tokoh ini). Beliau pernah diminta menandatangani surat yang isinya mengakui kepemimpinan Anwar Sadat dan meminta maaf kepadanya. Dengan sangat tegas beliau mengatakan, “Kalau sepatuku ini mau tunduk kepada Anwar Sadat, ia akan aku buang.” Atas sikap kerasnya itu beliau mendapat hukuman eksekusi di selnya sendiri. Bandingkan dengan sikap PKS yang sangat pro kekuasaan, siapapun yang memegang tampuk kekuasaan itu. PKS bukan saja pro kekuasaan, tetapi tidak malu-malu menampakkan diri dengan maneuver-manuver menggelikan.
Kemudian lihatlah sikap tegas Hamas kepada Israel. Biarpun tokoh-tokoh Hamas sudah banyak yang terbunuh oleh kezhaliman Israel, mereka tetap teguh dengan pendiriannya. Mereka tidak menginginkan, kecuali Israel keluar dari bumi Palestina. Hamas itu jelas-jelas sosok Ikhwanul Muslimin sejati. Jelas yang demikian ini sangat berbeda dengan PKS di Indonesia.
Bahkan, sampai saat ini Ikhwanul Muslimin masih menyertai gerakan jihad fisik di Iraq dan Afghanistan, selain di Palestina tentunya. Selain pemuda-pemuda Saudi, banyak pemuda Al Ikhwan berjuang di Irak mengusir penjajah. Berbeda dengan PKS yang kemarin itu “berjihad” dengan mengumpulkan sedekah untuk membantu korban bencana kemanusiaan di Ghaza. Tifatul Sembiring secara jelas mengatakan di media-media, mereka tidak berkepentingan dengan jihad fisik, tetapi lebih ke soal charity untuk membantu korban peperangan di Ghaza.
Di Turki pun, kader-kader Al Ikhwan memiliki sikap yang militan. Baik Refah, Najamuddin Erbakan, maupun Erdogan, mereka tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas dalam pendirian politiknya. Seperti Erdogan yang mengecam keras Shimon Perez dalam pertemuan di Davos yang menghebohkan dunia itu. Tipikal tegasnya Al Ikhwan ada disana.
Malah sampai saat ini, penangkapan kader-kader Al Ikhwan di Mesir tidak pernah berakhir. Ia terus terjadi. Termasuk beberapa puluh pemuda Al Ikhwan yang ditangkap Pemerintah Mesir karena mau menyebrang ke Ghaza. Ingat lho, ini peristiwa aktual, baru beberapa bulan lalu saat Tragedi Ghaza meletus. Ini bukan peristiwa di jaman Syaikh Al Banna atau Syaikh Sayyid Quthb rahimahumallah di masa lalu.
Parameter lain. Tidak ada tokoh-tokoh PKS yang menjadi para alim, ahli ilmiah Islam yang mumpuni. Padahal, Al Ikhwan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang terkenal. Tokoh-tokoh seperti Said Ramadhan Al Buthi, Thaha Jabir Al Ulwani, Abdullah Nashih Ulwan, Jasim Al Muhalhil, dll. sangat banyak. Kalau di Palestina memang jarang melahirkan tokoh-tokoh ahli ilmu, tetapi dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah  lainnya, banyak lahir ilmuwan Islam.
Padahal kalau mau jujur, beberapa elit PKS adalah doktor-doktor di bidang ilmiah Islam. Mengapa ilmunya yang sudah puluhan tahun dikejar seperti tidak dipakai? Masak ilmu sebanyak itu hanya dipakai sebagai “roket” pendorong kepentingan politik? Termasuk para ustadz yang bergelar Lc, alumni Saudi maupun LIPIA. Masak semuanya tumplek blek untuk urusan politik semua? Aneh bin ajaib.
Begitu pula, jamaah Al Ikhwan terkenal dengan tradisi menghafal Al Qur’an di kalangan mereka. Konon, mahasiswa-mahasiswa Kedokteran di Mesir, rata-rata sudah hafizh Al Qur’an. Menurut seorang kenalan baik di Jakarta, budaya Al Qur’an di Mesir itu sangat kuat. Sampai para satpam pun, saat-saat senggang mereka membaca Al Qur’an.
Tapi kalau melihat komunitas PKS saat ini, apakah mereka benar-benar menghidupkan Al Qur’an dengan membaca, menghafal, dan mentadabburinya? Saya tidak yakin hal itu. Sebab, seperti yang disebutkan Sayyid Quthb, buah dari interaksi yang intens dengan Al Qur’an akan melahirkan banyak barakah. Sedangkan kalau melihat sikap-sikap politik PKS akhir-akhir ini, bagian mana yang disebut barakahnya?
Semua ini menunjukkan, bahwa ada yang salah dari partai ini kalau mengaitkan diri dengan Al Ikhwan. Dan ada hal-hal lain yang bisa digali sebagai parameter pelengkap.
Lalu karakter Ikhwanul Muslimin sendiri seperti apa?
Setahu saya, wallahu A’lam bisshawaab, mereka memiliki karakter sebagai berikut:
[-] Minat kepada kajian ilmiah Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya lahir penulis-penulis Al Ikhwan, banyak dosen-dosen ilmu Syar’i di Al Azhar maupun Universitas-universitas Saudi, Qatar, dan lainnya.
[-] Komitmen kepada Syariat Islam. Sampai jabatanMursyid Aam Ikhwanul Muslimin dipegang oleh Syaikh Muhammad Mahdi Akib saat ini, belum pernah ada pernyataan Mursyid Aam Ikhwan yang melegitimasi aliran sesat, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
[-] Anti terhadap anasir-anasir asing (kafir) di dunia Islam. Ini sikap yang jelas dan banyak buktinya. Bahkan, sebenarnya jamaah Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Syaikh Al Banna di Mesir ialah untuk: Mengusir penjajah Inggris dari Mesir, dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Meskipun kemudian sikap pemimpin-pemimpin Ikhwan tidak sefrontal Al Banna dan Sayyid Quthb, tetapi perlawanan mereka terhadap penjajah asing tetap kuat. Buktinya ialah jihad di Palestina, Afghanistan, dan Irak saat ini.
Akhirnya, saya mengerti ucapan Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullahyang disebutkan di bagian muka. Benar kata beliau, kalau hanya mengklaim saja mudah. Tetapi apakah suatu kaum telah memiliki kualitas seperti pihak yang diklaimnya? Nah, itulah pertanyaannya.
Silakan Anda renungkan sendiri baik-baik, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Wallahu A’lam bisshawaab.
- See more at: http://tarbiyahbukanpks.com/antara-pks-dan-ikhwanul-muslimin/#sthash.qPceHa3O.dpuf
Ada sebuah peristiwa menarik bertahun-tahun silam, menjelang Indonesia memasuki era Reformasi. Saya lupa waktunya, mungkin tahun 1996 atau 1997. Waktu itu di Masjid Al Manar Jl. Puter Bandung diadakan bedah buku Memoar Hasan Al Banna. Buku ini diterbitkan oleh Era Intermedia dari Solo. Hadir sebagai pembicara pimpinan Era Intermedia sendiri dan KH. Rahmat Abdullah.

Dalam sessi tanya-jawab, Ustadz Rahmat rahimahullah ditanya tentang eksistensi Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Singkat kata, adakah Ikhwanul Muslimin di Indonesia? Secara mengejutkan, beliau malah menjawab: “Wallahu A’lam, ada atau tidak.” Saya terus terang kecewa dan berburuk sangka kepada Ustadz Rahmat Abdullah ketika itu. “Masak sih, ada kader-kader Tarbiyah (IM) sedemikian banyak, kok dibilang wallahu A’lam?” begitu pertanyaan saya di hati.

Luar biasanya, jawaban Ustadz Rahmat Abdullah diulang kembali ketika beliau diwawancarai wartawan Suara Hidayatullah. Malah dalam wawancara itu beliau didesak-desak terus oleh sang wartawan untuk mengakui, bahwa Jamaah Tarbiyah di Indonesia, adalah representasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi berulang-ulang beliau tidak memberi jawaban tegas. Kesannya sama seperti dalam bedah buku di atas, jawaban sengaja ‘digantung’.

Alasan Ustadz Rahmat sangat menarik. Kata beliau, kurang-lebih, “Kalau kita mengaku bagian dari Ikhwanul Muslimin Mesir, apa memang kita ini sudah memiliki kualitas seperti mereka?” Bahkan, ketika beliau diberitahu bahwa Habib Husein Al Habsyi telah mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin Indonesia, beliau mengecam hal itu dengan sengit. “Kalau ada yang mengklaim, biar dia makan klaimnya,” kata Ustadz Rahmat tegas.

Saya semula menyangka, pernyataan Ustadz Rahmat itu adalah bagian dari diplomasi, atau katakanlah menjaga amniyah(kerahasiaan). Kalau diakui secara jujur, khawatir nanti komunitas Jamaah Tarbiyah atau Partai Keadilan (PK) ketika itu akan diberangus habis oleh kekuasaan. Ya, katakanlah pernyataan beliau hanya semata diplomasi belaka.

Namun jujur saja, ketika saya melihat sikap-sikap PKS dewasa ini, saya sangat ragu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Bagi yang menyimak perkembangan Al Ikhwan di Timur Tengah, pasti akan merasa ragu melihat sikap PKS selama ini. Benarkah partai ini representasi Al Ikhwan? Atau hanya ngaku-ngaku saja? Kenyataannya, perbedaan sikap di antara mereka amatlah tajam.

Seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, Kamaluddin As Saraniri (saya yakin orang-orang PKS saat ini - apalagi yang baru gabung- banyak yang tidak tahu tokoh ini). Beliau pernah diminta menandatangani surat yang isinya mengakui kepemimpinan Anwar Sadat dan meminta maaf kepadanya. Dengan sangat tegas beliau mengatakan, “Kalau sepatuku ini mau tunduk kepada Anwar Sadat, ia akan aku buang.” Atas sikap kerasnya itu beliau mendapat hukuman eksekusi di selnya sendiri. Bandingkan dengan sikap PKS yang sangat pro kekuasaan, siapapun yang memegang tampuk kekuasaan itu. PKS bukan saja pro kekuasaan, tetapi tidak malu-malu menampakkan diri dengan maneuver-manuver menggelikan.

Kemudian lihatlah sikap tegas Hamas kepada Israel. Biarpun tokoh-tokoh Hamas sudah banyak yang terbunuh oleh kezhaliman Israel, mereka tetap teguh dengan pendiriannya. Mereka tidak menginginkan, kecuali Israel keluar dari bumi Palestina. Hamas itu jelas-jelas sosok Ikhwanul Muslimin sejati. Jelas yang demikian ini sangat berbeda dengan PKS di Indonesia.

Bahkan, sampai saat ini Ikhwanul Muslimin masih menyertai gerakan jihad fisik di Iraq dan Afghanistan, selain di Palestina tentunya. Selain pemuda-pemuda Saudi, banyak pemuda Al Ikhwan berjuang di Irak mengusir penjajah. Berbeda dengan PKS yang kemarin itu “berjihad” dengan mengumpulkan sedekah untuk membantu korban bencana kemanusiaan di Ghaza. Tifatul Sembiring secara jelas mengatakan di media-media, mereka tidak berkepentingan dengan jihad fisik, tetapi lebih ke soal charity untuk membantu korban peperangan di Ghaza.

Di Turki pun, kader-kader Al Ikhwan memiliki sikap yang militan. Baik Refah, Najamuddin Erbakan, maupun Erdogan, mereka tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas dalam pendirian politiknya. Seperti Erdogan yang mengecam keras Shimon Perez dalam pertemuan di Davos yang menghebohkan dunia itu. Tipikal tegasnya Al Ikhwan ada disana.

Malah sampai saat ini, penangkapan kader-kader Al Ikhwan di Mesir tidak pernah berakhir. Ia terus terjadi. Termasuk beberapa puluh pemuda Al Ikhwan yang ditangkap Pemerintah Mesir karena mau menyebrang ke Ghaza. Ingat lho, ini peristiwa aktual, baru beberapa bulan lalu saat Tragedi Ghaza meletus. Ini bukan peristiwa di jaman Syaikh Al Banna atau Syaikh Sayyid Quthb rahimahumallah di masa lalu.

Parameter lain. Tidak ada tokoh-tokoh PKS yang menjadi para alim, ahli ilmiah Islam yang mumpuni. Padahal, Al Ikhwan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang terkenal. Tokoh-tokoh seperti Said Ramadhan Al Buthi, Thaha Jabir Al Ulwani, Abdullah Nashih Ulwan, Jasim Al Muhalhil, dll. sangat banyak. Kalau di Palestina memang jarang melahirkan tokoh-tokoh ahli ilmu, tetapi dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah  lainnya, banyak lahir ilmuwan Islam.

Padahal kalau mau jujur, beberapa elit PKS adalah doktor-doktor di bidang ilmiah Islam. Mengapa ilmunya yang sudah puluhan tahun dikejar seperti tidak dipakai? Masak ilmu sebanyak itu hanya dipakai sebagai “roket” pendorong kepentingan politik? Termasuk para ustadz yang bergelar Lc, alumni Saudi maupun LIPIA. Masak semuanya tumplek blek untuk urusan politik semua? Aneh bin ajaib.

Begitu pula, jamaah Al Ikhwan terkenal dengan tradisi menghafal Al Qur’an di kalangan mereka. Konon, mahasiswa-mahasiswa Kedokteran di Mesir, rata-rata sudah hafizh Al Qur’an. Menurut seorang kenalan baik di Jakarta, budaya Al Qur’an di Mesir itu sangat kuat. Sampai para satpam pun, saat-saat senggang mereka membaca Al Qur’an.

Tapi kalau melihat komunitas PKS saat ini, apakah mereka benar-benar menghidupkan Al Qur’an dengan membaca, menghafal, dan mentadabburinya? Saya tidak yakin hal itu. Sebab, seperti yang disebutkan Sayyid Quthb, buah dari interaksi yang intens dengan Al Qur’an akan melahirkan banyak barakah. Sedangkan kalau melihat sikap-sikap politik PKS akhir-akhir ini, bagian mana yang disebut barakahnya?

Semua ini menunjukkan, bahwa ada yang salah dari partai ini kalau mengaitkan diri dengan Al Ikhwan. Dan ada hal-hal lain yang bisa digali sebagai parameter pelengkap.

Lalu karakter Ikhwanul Muslimin sendiri seperti apa?

Setahu saya, wallahu A’lam bisshawaab, mereka memiliki karakter sebagai berikut:
[-] Minat kepada kajian ilmiah Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya lahir penulis-penulis Al Ikhwan, banyak dosen-dosen ilmu Syar’i di Al Azhar maupun Universitas-universitas Saudi, Qatar, dan lainnya.
[-] Komitmen kepada Syariat Islam. Sampai jabatanMursyid Aam Ikhwanul Muslimin dipegang oleh Syaikh Muhammad Mahdi Akib saat ini, belum pernah ada pernyataan Mursyid Aam Ikhwan yang melegitimasi aliran sesat, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
[-] Anti terhadap anasir-anasir asing (kafir) di dunia Islam. Ini sikap yang jelas dan banyak buktinya. Bahkan, sebenarnya jamaah Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Syaikh Al Banna di Mesir ialah untuk: Mengusir penjajah Inggris dari Mesir, dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Meskipun kemudian sikap pemimpin-pemimpin Ikhwan tidak sefrontal Al Banna dan Sayyid Quthb, tetapi perlawanan mereka terhadap penjajah asing tetap kuat. Buktinya ialah jihad di Palestina, Afghanistan, dan Irak saat ini.
Akhirnya, saya mengerti ucapan Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah yang disebutkan di bagian muka. Benar kata beliau, kalau hanya mengklaim saja mudah. Tetapi apakah suatu kaum telah memiliki kualitas seperti pihak yang diklaimnya? Nah, itulah pertanyaannya.

Silakan Anda renungkan sendiri baik-baik, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Wallahu A’lam bisshawaab.

Ada sebuah peristiwa menarik bertahun-tahun silam, menjelang Indonesia memasuki era Reformasi. Saya lupa waktunya, mungkin tahun 1996 atau 1997. Waktu itu di Masjid Al Manar Jl. Puter Bandung diadakan bedah buku Memoar Hasan Al Banna. Buku ini diterbitkan oleh Era Intermedia dari Solo. Hadir sebagai pembicara pimpinan Era Intermedia sendiri dan KH. Rahmat Abdullah.
Dalam sessi tanya-jawab, Ustadz Rahmat rahimahullah ditanya tentang eksistensi Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Singkat kata, adakah Ikhwanul Muslimin di Indonesia? Secara mengejutkan, beliau malah menjawab: “Wallahu A’lam, ada atau tidak.” Saya terus terang kecewa dan berburuk sangka kepada Ustadz Rahmat Abdullah ketika itu. “Masak sih, ada kader-kader Tarbiyah (IM) sedemikian banyak, kok dibilang wallahu A’lam?” begitu pertanyaan saya di hati.
Luar biasanya, jawaban Ustadz Rahmat Abdullah diulang kembali ketika beliau diwawancarai wartawan Suara Hidayatullah. Malah dalam wawancara itu beliau didesak-desak terus oleh sang wartawan untuk mengakui, bahwa Jamaah Tarbiyah di Indonesia, adalah representasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi berulang-ulang beliau tidak memberi jawaban tegas. Kesannya sama seperti dalam bedah buku di atas, jawaban sengaja ‘digantung’.
Alasan Ustadz Rahmat sangat menarik. Kata beliau, kurang-lebih, “Kalau kita mengaku bagian dari Ikhwanul Muslimin Mesir, apa memang kita ini sudah memiliki kualitas seperti mereka?” Bahkan, ketika beliau diberitahu bahwa Habib Husein Al Habsyi telah mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin Indonesia, beliau mengecam hal itu dengan sengit. “Kalau ada yang mengklaim, biar dia makan klaimnya,” kata Ustadz Rahmat tegas.
Saya semula menyangka, pernyataan Ustadz Rahmat itu adalah bagian dari diplomasi, atau katakanlah menjaga amniyah(kerahasiaan). Kalau diakui secara jujur, khawatir nanti komunitas Jamaah Tarbiyah atau Partai Keadilan (PK) ketika itu akan diberangus habis oleh kekuasaan. Ya, katakanlah pernyataan beliau hanya semata diplomasi belaka.
Namun jujur saja, ketika saya melihat sikap-sikap PKS dewasa ini, saya sangat ragu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Bagi yang menyimak perkembangan Al Ikhwan di Timur Tengah, pasti akan merasa ragu melihat sikap PKS selama ini. Benarkah partai ini representasi Al Ikhwan? Atau hanyangaku-ngaku saja? Kenyataannya, perbedaan sikap di antara mereka amatlah tajam.
Seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, Kamaluddin As Saraniri (saya yakin orang-orang PKS saat ini banyak yang tidak tahu tokoh ini). Beliau pernah diminta menandatangani surat yang isinya mengakui kepemimpinan Anwar Sadat dan meminta maaf kepadanya. Dengan sangat tegas beliau mengatakan, “Kalau sepatuku ini mau tunduk kepada Anwar Sadat, ia akan aku buang.” Atas sikap kerasnya itu beliau mendapat hukuman eksekusi di selnya sendiri. Bandingkan dengan sikap PKS yang sangat pro kekuasaan, siapapun yang memegang tampuk kekuasaan itu. PKS bukan saja pro kekuasaan, tetapi tidak malu-malu menampakkan diri dengan maneuver-manuver menggelikan.
Kemudian lihatlah sikap tegas Hamas kepada Israel. Biarpun tokoh-tokoh Hamas sudah banyak yang terbunuh oleh kezhaliman Israel, mereka tetap teguh dengan pendiriannya. Mereka tidak menginginkan, kecuali Israel keluar dari bumi Palestina. Hamas itu jelas-jelas sosok Ikhwanul Muslimin sejati. Jelas yang demikian ini sangat berbeda dengan PKS di Indonesia.
Bahkan, sampai saat ini Ikhwanul Muslimin masih menyertai gerakan jihad fisik di Iraq dan Afghanistan, selain di Palestina tentunya. Selain pemuda-pemuda Saudi, banyak pemuda Al Ikhwan berjuang di Irak mengusir penjajah. Berbeda dengan PKS yang kemarin itu “berjihad” dengan mengumpulkan sedekah untuk membantu korban bencana kemanusiaan di Ghaza. Tifatul Sembiring secara jelas mengatakan di media-media, mereka tidak berkepentingan dengan jihad fisik, tetapi lebih ke soal charity untuk membantu korban peperangan di Ghaza.
Di Turki pun, kader-kader Al Ikhwan memiliki sikap yang militan. Baik Refah, Najamuddin Erbakan, maupun Erdogan, mereka tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas dalam pendirian politiknya. Seperti Erdogan yang mengecam keras Shimon Perez dalam pertemuan di Davos yang menghebohkan dunia itu. Tipikal tegasnya Al Ikhwan ada disana.
Malah sampai saat ini, penangkapan kader-kader Al Ikhwan di Mesir tidak pernah berakhir. Ia terus terjadi. Termasuk beberapa puluh pemuda Al Ikhwan yang ditangkap Pemerintah Mesir karena mau menyebrang ke Ghaza. Ingat lho, ini peristiwa aktual, baru beberapa bulan lalu saat Tragedi Ghaza meletus. Ini bukan peristiwa di jaman Syaikh Al Banna atau Syaikh Sayyid Quthb rahimahumallah di masa lalu.
Parameter lain. Tidak ada tokoh-tokoh PKS yang menjadi para alim, ahli ilmiah Islam yang mumpuni. Padahal, Al Ikhwan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang terkenal. Tokoh-tokoh seperti Said Ramadhan Al Buthi, Thaha Jabir Al Ulwani, Abdullah Nashih Ulwan, Jasim Al Muhalhil, dll. sangat banyak. Kalau di Palestina memang jarang melahirkan tokoh-tokoh ahli ilmu, tetapi dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah  lainnya, banyak lahir ilmuwan Islam.
Padahal kalau mau jujur, beberapa elit PKS adalah doktor-doktor di bidang ilmiah Islam. Mengapa ilmunya yang sudah puluhan tahun dikejar seperti tidak dipakai? Masak ilmu sebanyak itu hanya dipakai sebagai “roket” pendorong kepentingan politik? Termasuk para ustadz yang bergelar Lc, alumni Saudi maupun LIPIA. Masak semuanya tumplek blek untuk urusan politik semua? Aneh bin ajaib.
Begitu pula, jamaah Al Ikhwan terkenal dengan tradisi menghafal Al Qur’an di kalangan mereka. Konon, mahasiswa-mahasiswa Kedokteran di Mesir, rata-rata sudah hafizh Al Qur’an. Menurut seorang kenalan baik di Jakarta, budaya Al Qur’an di Mesir itu sangat kuat. Sampai para satpam pun, saat-saat senggang mereka membaca Al Qur’an.
Tapi kalau melihat komunitas PKS saat ini, apakah mereka benar-benar menghidupkan Al Qur’an dengan membaca, menghafal, dan mentadabburinya? Saya tidak yakin hal itu. Sebab, seperti yang disebutkan Sayyid Quthb, buah dari interaksi yang intens dengan Al Qur’an akan melahirkan banyak barakah. Sedangkan kalau melihat sikap-sikap politik PKS akhir-akhir ini, bagian mana yang disebut barakahnya?
Semua ini menunjukkan, bahwa ada yang salah dari partai ini kalau mengaitkan diri dengan Al Ikhwan. Dan ada hal-hal lain yang bisa digali sebagai parameter pelengkap.
Lalu karakter Ikhwanul Muslimin sendiri seperti apa?
Setahu saya, wallahu A’lam bisshawaab, mereka memiliki karakter sebagai berikut:
[-] Minat kepada kajian ilmiah Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya lahir penulis-penulis Al Ikhwan, banyak dosen-dosen ilmu Syar’i di Al Azhar maupun Universitas-universitas Saudi, Qatar, dan lainnya.
[-] Komitmen kepada Syariat Islam. Sampai jabatanMursyid Aam Ikhwanul Muslimin dipegang oleh Syaikh Muhammad Mahdi Akib saat ini, belum pernah ada pernyataan Mursyid Aam Ikhwan yang melegitimasi aliran sesat, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
[-] Anti terhadap anasir-anasir asing (kafir) di dunia Islam. Ini sikap yang jelas dan banyak buktinya. Bahkan, sebenarnya jamaah Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Syaikh Al Banna di Mesir ialah untuk: Mengusir penjajah Inggris dari Mesir, dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Meskipun kemudian sikap pemimpin-pemimpin Ikhwan tidak sefrontal Al Banna dan Sayyid Quthb, tetapi perlawanan mereka terhadap penjajah asing tetap kuat. Buktinya ialah jihad di Palestina, Afghanistan, dan Irak saat ini.
Akhirnya, saya mengerti ucapan Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullahyang disebutkan di bagian muka. Benar kata beliau, kalau hanya mengklaim saja mudah. Tetapi apakah suatu kaum telah memiliki kualitas seperti pihak yang diklaimnya? Nah, itulah pertanyaannya.
Silakan Anda renungkan sendiri baik-baik, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Wallahu A’lam bisshawaab.
- See more at: http://tarbiyahbukanpks.com/antara-pks-dan-ikhwanul-muslimin/#sthash.qPceHa3O.dpuf
 
Support : Al-Mustaqbal.Net | Jamaah Tarbiyah | Ansar Mujahideen
Copyright © 2013. Catatan Anak Mushola Di Pontianak - All Rights Reserved
Saya hanya berusaha menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi
dengan kapasitas ilmu yang saya miliki