.
Home » » Tsiqoh, Thoat dan Faham

Tsiqoh, Thoat dan Faham

 Tsiqoh dan Thoat Bersyarat

Ikhwah fillah, di dalam sebuah organisasi apapun maka ketaatan dan kepercayaan pada pemimpin itu harus ada, termasuk di dalamnya jamaah PKS. Tapi sebatas apa ketsiqohan itu? Kalau untuk tsiqoh dan thoat secara total, maka kita harus hati-hati. Tsiqoh dan thoat total itu hanya boleh kepada Quran dan sunnah. Tsiqoh dan thoat kepada pemimpin hanya boleh selama tidak melanggar Quran dan sunnah. Kalau melanggar, maka tidak ada kewajiban taat.

Sebagian dalilnya sebagai berikut:

1. Quran

Quran menjelaskan: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (An Nisaa: 59).

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan makna surah tersebut bahwa di situ kata-kata "taat" hanya ada di depan kata Allah dan Rasul, tapi tidak ada di depan kata ulil amri, maknanya bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah di bawah jaminan kepada ketaatan kepada Rasul. "Ketaatan kepada pemimpin mengikuti ketaatan kepada Rasul, jika sesuai dengan perintah Rasul maka wajib ditaati, jika tidak sesuai maka tidak perlu didengar dan ditaati." (dari buku Ilamul Muwaqiin juz 1, dalam bab "Pendapat Para Imam Seputar Alat dan Syarat Fatwa")

2. Hadits

Dari Abdullah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: seorang muslim harus mendengar dan mematuhi perintah pemimpinnya terlepas dia setuju atau tidak, selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah, jika bertentangan maka dia tidak harus mendengarkan atau mematuhinya. (Shahih Bukhari, kitab Ahkam)

3. Fatwa Ulama

Imam Abu Hanifah rahimahullah, sbb: "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku"

Imam Malik rahimahullah, sbb: "Setiap pendapat ku yang sesuai dengan Quran dan sunnah, maka ambillah, jika tidak sesuai (dengan dua perkara itu), maka tinggalkanlah"

Imam Syafii rahimahullah, sbb: "Apabila kalian mendapatkan di kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka jadikanlah sunnah Rasulullah sebagai dasar pendapat kalian dan tinggalkanlah apa yang aku katakan"

Imam Ahmad rahimahullah, sbb: "Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Asy Syafii, Al-Auza'i maupun Ats-Tsauri, tapi ambillah dari mana mereka mengambilnya"

(perkataan empat imam mujtahid mutlak itu bisa dibaca pada buku Sifat Shalat Nabi, Syaikh Albani rahimahullah)

Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah mencela sikap wala' (loyal) secara mutlak tanpa pertimbangan benar atau salah. Beliau berkata barang siapa yang berjanji kepada seseorang untuk membela orang tersebut dan memusuhi siapapun yang memusuhi orang tersebut secara mutlak maka perbuatan ini adalah jenis perbuatan yang dilakukan oleh bangsa Tartar yang berjihad di jalan setan, bukan jalan Allah. (dari buku Risalah Baiat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah).

Imam al-Banna rahimahullah juga berkata, "pendapat imam dan wakilnya mengenai sesuatu yang tidak ada nashnya dan mengenai sesuatu yang mungkin banyak pendapat dalam 'mashalih mursalah' adalah bisa diamalkan selama tidak bertentangan dengan kaidah syar'i (Quran dan sunnah)" (dari Ushul Isyrin).

Kesimpulannya: tsiqoh dan thoat pada pemimpin itu harus ada, tapi bersyarat. Apa syaratnya: selama tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah.


Faham

Lalu darimana kita bisa tahu bahwa sebuah keputusan itu masih sejalan dengan Quran/sunnah atau tidak? Untuk itu maka kita harus faham atau berusaha untuk faham.

Jadi sebelum tsiqoh itu kita harus faham terlebih dahulu. Itu ada di arkanul baiah. Urutan arkanul baiah itu tidak sembarangan, syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi hafidzahullah berkata: "sebenarnya Hasan al-Banna benar-benar telah menyesuaikan pendahuluan urutan tersebut. Tidak syak lagi bahwa beliau adalah orang yang sangat faham tentang fiqih aulawiyat (prioritas)". (dari buku "Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam")

Syaikh al-Qaradhawi melanjutkan, musibah yang paling berbahaya menimpa manusia adalah kekeliruan dalam masalah tersebut. Sehingga dipandangnya yang batil itu haq dan yang haq itu batil, yang makruf itu mungkar dan yang mungkar itu makruf, yang sunnah itu bid'ah dan bid'ah itu sunnah.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan di dalam Ilamul Muwaqiin, bab "Surat Umar bin Khattab dan Penjelasannya", sbb: Pernyataan Umar "pahamilah perkara yang diajukan kepadamu" menunjukkan bahwa pemahaman yang benar dan niat yang baik merupakan nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya. Bahkan tidak ada kenikmatan yang lebih berharga setelah Islam selain kedua hal tersebut. Karena keduanya merupakan pilar Islam dan landasannya. Seorang hamba yang memiliki pemahaman benar akan terhindar dari jalan orang-orang yang dimurkai Allah yang niatnya telah rusak dan jalan orang-orang sesat yang pemahamannya telah menyimpang.


Resiko Tsiqoh dan Thoat Tanpa Faham

Apa resikonya kalau taat tanpa berusaha faham? Neraka!!!

Itu bukan kata-kata saya, tapi hadits. Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam bab dan kitab yang sama (Ilamul Muwaqiin juz 1, dalam bab "Pendapat Para Imam Seputar Alat dan Syarat Fatwa") berkata, sbb: "Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan orang-orang yang hendak masuk neraka di mana ketika itu pemimpin memerintahkan mereka untuk memasuki neraka tersebut. Seandainya mereka memasukinya, maka pemimpin itu tidak akan bisa mengeluarkan mereka dari neraka tersebut, padahal mereka memasukinya karena mentaati perintah pemimpinnya, dan mereka mengira bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi mereka, tapi mereka bermalas-malasan dalam berilmu. Mereka bermalas-malasan dalam melaksanakan ijtihad (memahami ilmu) dan bersegera dalam melaksanakan perintah yang dapat menimbulkan siksaan dan kehancuran dirinya, tanpa mereka pastikan dan tetapkan terlebih dahulu apakah perbuatan yang mereka lakukan itu digolongkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan RasulNya atau tidak."

Jadi dalam hal ini, merujuk kepada tuntunan dari Quran, sunnah dan para ulama, saya setuju bahwa ajaran bahwa kita "harus taat pada qiyadah dengan kondisi apapun" adalah SESAT dan MENYESATKAN.

Jangan bingung, Quran dan sunnah sudah menggariskan secara jelas, pendapat para ulama pun sangat jelas. Anda bisa baca kutipan-kutipan pendapat ulama tersebut, saya sebutkan buku referensinya, bisa Anda baca langsung, jadi jangan bingung.

Murabiah mengatakan bahwa kalau tidak tsiqoh dan thoat bisa masuk neraka karena sudah berbaiat? Wah, mungkin murabiahnya merasa sudah selevel mujtahid. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam buku Risalah Baiah menjawab pertanyaan "Baiat seperti apakah yang disyariatkan, yang jika ditinggalkan seorang muslim akan berdosa?"

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa makna yang paling mendekati kebenaran menurut beliau dari banyaknya dalil adalah bahwa baiat yang disyariatkan adalah baiat kepada pemimpin pemerintahan Islam. Barang siapa yang mampu berbaiat tetapi dia tidak melaksanakannya maka dia akan berdosa.

Di dalam buku tersebut dikutip pendapat dari kitab tafsir Imam Al Alusy rahimahullah, beliau berbicara tentang istilah "rabithah" di kalangan kaum sufi, beliau berkata: "...di kalangan mereka ada istilah rabithah (keterikatan murid dengan gurunya). Menurut mereka, rabithah ini ditujukan agar hati siap menerima berkah dari Allah. Padahal setahu saya tidak ada dalil dari Rasulullah atau dari khulafaur rasyidin yang mengajarkan seperti itu. Semua yang mereka angap dalil dalam masalah ini tidak lepas dari cacat. Bahkan dalil mereka sangat lemah..."

Di dalam fiqih Islam pun tuntunan untuk hal begini sudah sangat jelas. Kalau kita shalat jamaah, lalu imamnya buang angin, apakah masih sah kita tetap thoat pada imam itu? Atau imamnya harus diganti?

Nah, ibarat shalat jamaah, saya melihat saat ini PKS sudah bukan jamaah dengan imam yang buang angin lagi, tapi ini imamnya sudah BAB (buang air besar). Baunya busuknya sudah tercium ke mana-mana, herannya sebagian kalangan masih juga tertutup hidung (mata hati) nya untuk melihat bahwa ada ketidakberesan di dalam jamaah ini.

Jadi kalau begitu pertanyaannya, sampai seperti apa kadar ketaatan yang harus kita berikan kepada pemimpin, kalau tidak bisa total 100%? Jawabannya sudah jelas sesuai dengan rujukan dalil dan fatwa di atas, bahwa selama tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah.

Mungkin timbul lagi pertanyaan, apakah dengan begitu jika setiap ada perintah pemimpin kita harus fahami dulu baru laksanakan? Bukankah itu tidak praktis? Kalau menurut saya, untuk perkara-perkara yang krusial maka kita harus faham, atau paling tidak wajib untuk berusaha faham. Bertanya sampai dapat jawaban yang memuaskan. Memuaskan di sini bukan dalam konteks kepuasan pribadi, tapi 'puas' dalam arti bahwa penjelasan yang ada sudah comply dengan aturan syariat yang lebih tinggi. Sehingga hilanglah syubhat dan zann. Karena seperti yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah di bawah jaminan kepada ketaatan kepada Rasul. Ketaatan kepada pemimpin mengikuti ketaatan kepada Rasul, jika sesuai dengan perintah Rasul maka wajib ditaati, jika tidak sesuai maka tidak perlu didengar dan ditaati.

Jadi berhenti bertanya hanya karena qiyadah mengatakan "ini ijtihad, antum wajib taat", jelas sangat tidak sesuai dengan tuntunan syariah.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Al-Mustaqbal.Net | Jamaah Tarbiyah | Ansar Mujahideen
Copyright © 2013. Catatan Anak Mushola Di Pontianak - All Rights Reserved
Saya hanya berusaha menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi
dengan kapasitas ilmu yang saya miliki