Mukadimah
Atas nama
dakwah sebagian da’i (baca: anggota dewan) bergerak laju mencari
sumber-sumber dana. Dakwah memang perlu dana, tak dipungkiri. Namun
benarkah mereka demi semata-mata dakwah? Benarkah sudah
ditimbang-timbang sesuai syariah? Semoga, dan tidak boleh berburuk
sangka!
Tetapi, yang pasti dan lebih penting, bahwa dakwah lebih membutuhkan kepada dana yang berkah, dana yang bebas dari haram dan syubhat, atau bebas dari segala keraguan dan ketidakjelasan, agar agama dan dunia terjaga. Dakwah tidak membutuhkan para penggiat yang selalu mencari rukhshah dan alasan darurat, para pelaku yang selalu membidik celah fatwa para ulama mana yang bisa ‘dimainkan’, atau mencari legitimasi ketika bertanya. Tetapi dakwah lebih membutuhkan kepada pelaku yang ikhlas, kuat, jujur, terpercaya, amanah, tidak takut celaan manusia, wara’, sensitif terhadap dosa, ingat mati, dan menggantungkan kemenangan dakwah hanya kepada Allah Ta’ala. Di tangan merekalah kemenangan hakiki akan di raih. Insya Allah.
Tetapi, yang pasti dan lebih penting, bahwa dakwah lebih membutuhkan kepada dana yang berkah, dana yang bebas dari haram dan syubhat, atau bebas dari segala keraguan dan ketidakjelasan, agar agama dan dunia terjaga. Dakwah tidak membutuhkan para penggiat yang selalu mencari rukhshah dan alasan darurat, para pelaku yang selalu membidik celah fatwa para ulama mana yang bisa ‘dimainkan’, atau mencari legitimasi ketika bertanya. Tetapi dakwah lebih membutuhkan kepada pelaku yang ikhlas, kuat, jujur, terpercaya, amanah, tidak takut celaan manusia, wara’, sensitif terhadap dosa, ingat mati, dan menggantungkan kemenangan dakwah hanya kepada Allah Ta’ala. Di tangan merekalah kemenangan hakiki akan di raih. Insya Allah.
Dari An Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ
“Sesungguhnya yang halal telah jelas, dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya ada yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga dirinya dari syubuhat (samar) maka sesungguhnya dia telah menjaga agama dan harga dirinya. Barangsiapa yang jatuh pada yang syubuhat, maka dia akan terjatuh pada hal yang haram, seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di daerah terlarang, maka ia akan nyaris terperosok jatuh ke dalamnya.”
(HR. Bukhari, Kitab Al
Iman Bab Fadhli Man Istabra’a Li Dinihi, Juz. 1, Hal. 90, No hadits. 50.
Muslim, Kitab Al Musaqah Bab Akhdzi al Halal wa Tarki asy Syubuhat,
Juz. 8, Hal. 290, No hadits. 2996. Al Maktabah Asy Syamilah)
Kemenangan
dakwah dan harakah hanya akan diberikan kepada orang-orang bertaqwa,
sebagaimana yang Allah Ta’ala janjikan, ketika menceritakan karakter
orang-orang bertaqwa di Madinah pada awal-awal surat Al Baqarah:
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
“Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al Baqarah (2): 5)
“Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al Baqarah (2): 5)
Bukan hanya memberikan kemenangan, Allah Ta’ala juga hanya mau menerima amal shalih orang-orang bertaqwa.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak akan menerima kecuali yang baik-baik.”
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak akan menerima kecuali yang baik-baik.”
(HR.
Muslim, Kitab Az Zakah Bab Qabul Ash Shadaqah min Al Kasbi Ath Thayyib
wa Tarbiyatiha, Juz. 5, Hal. 192, No hadits. 1686. At Tirmidzi, Kitab
Tafsirul Quran ‘an Rasulillah Bab wa Min Suratil Baqarah, Juz. 10, Hal.
249, No hadits. 2915. Ahmad, Juz. 17, Hal. 40, No hadits. 7998)
Bagaimanakah orang bertaqwa itu? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan:
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ
“Seorang
hamba tidaklah sampai derajat bertaqwa, sampai dia meninggalkan apa-apa
yang dibolehkan, karena dia hati-hati jatuh kepada hal yang terlarang.”
(HR.
Tirmidzi, Kitab Shifah Al Qiyamah war Raqa’iq wal Wara’ ‘an Rasulillah
Bab Ma Ja’a fi Shifati Awanil Haudh, Juz. 8, Hal. 490, No hadits. 2375.
At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib, saya tidak mengetahui
kecuali dari jalur ini.” Ibnu Majah, Kitab Az Zuhd Bab Al Wara’ wat
Taqwa, Juz. 12, Hal. 260, No hadits. 4205. Al Hakim, Mustadrak ‘Alas
Shahihain, Juz. 18, Hal. 271, No hadits. 8013. Al Hakim berkata: “Hadits
ini sanadnya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya.”
Syaikh al Albany menyatakan hasan, dalam Misykah al Mashabih, Juz. 2,
Hal. 127, No hadits. 2775. Al Maktabah Asy Syamilah)
Maka,
sudah sepantasnya bagi pejuang Islam, pejuang partai dakwah, mereka
menjadi orang pertama dalam hal kehati-hatian ini. Bukan justru menjadi
bahan cemooh manusia –yang seharusnya mereka mendapatkan contoh yang
baik- lantaran dengan begitu simplistis mengatakan ‘ini demi dakwah’,
lalu secara tidak terkendali bermain api pada proyek, lalu dibahasakan
dengan ‘mengawal proyek’, namun orang lain melihatnya sebagai minta
jatah, minta persenan, dan lainnya. Sehingga ada kesan ‘kemaruk’ proyek
dan menjadi bahan hangat pemberitaan media masa dan pengamat.
Ini
semua sudah terjadi. Maka, hati-hatilah! Alih-alih demi maslahat
dakwah, ternyata dakwah dan da’inya justru dijauhkan dan diperolok-olok
umat karena perbuatan yang mereka sangka baik namun tanpa perhitungan,
Allah Ta’ala telah memperingatkan:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104)
“Katakanlah: "Apakah akan
Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi (18): 103-104)
Yang
Pasti-Pasti Saja, Memang, di zaman serba sulit, banyak manusia yang
berputus asa. Sampai-sampai ada yang mengatakan –walau nada gurau-,
“Jangankan yang halal, yang haram saja susah.” Ungkapan nihil optimisme
ini tidak boleh ada pada pribadi da’i yang telah lulus seleksi salimul
aqidah yang meyakini wallahu khairur raaziqiin (Allah-lah sebaik-baiknya
pemberi rezeki).
Dahulu, Al Imam
Asy Syahid –Insya Allah- Hasan al Banna Rahimahullah, ditawari
berceramah tentang demokrasi di radio dengan imbalan 5000 Pound (nilai
yang sangat besar saat itu) dari penjajah Inggris, dangan syarat ia
harus berceramah tentang Demokrasi menurut pemahaman Inggris. Imam al
Banna menolak dan berkata: “Enyahlah kalian! Kalian telah tersesat dari
jalan yang benar dan menyimpang dari kebenaran!” (Badr Abdurrazzaq Al
Mash, Manhaj Da’wah Hasan Al Banna, Hal. 79)Inilah Al Banna, dia tidak
berkata: “Saya akan terima, uang ini akan saya manfaatkan demi maslahat
dakwah ke depan.” Tidak! Dia bukan tipe orang yang menggadaikan ashalah
dakwah demi seonggok sampah dunia, dan dia meyakini bahwa niat yang baik
tidaklah merubah keharaman. Dia bukan tipe orang yang berdalih ‘demi
maslahat’ tetapi syariat menjadi korban. Sebab, dia memahami, “Dar’ul
Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih” (menolak kerusakan harus
didahulukan dari pada mengambil maslahat).
Dahulu,
Ustadz Umar At Tilmisani Rahimahullah bertemu dengan salah seorang
menteri pada masa pemerintahan Anwar Sadat. Keduanya saling bertukar
pandangan, di akhir perbincangan menteri itu berkata:
“Bagaimana kondisi keuangan Anda?”
Ustadz Umar menjawab: “Alhamdulillah baik, tertutupi.”
Menteri: “Sesungguhnya Negara mendukung Koran dan majalah di Mesir, dan majalah Ad Da’wah sebagai majalah Islam lebih berhak mendapatkannya.”
Ustadz Umar sambil menahan emosinya berkata: “Ya Syaikh … nabi sudah mendahului Anda … jangan lagi membicarakan ini denganku.” (Muhammad Abdul Hamid, 100 Pelajaran Dari Para Pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hal. 141)
“Bagaimana kondisi keuangan Anda?”
Ustadz Umar menjawab: “Alhamdulillah baik, tertutupi.”
Menteri: “Sesungguhnya Negara mendukung Koran dan majalah di Mesir, dan majalah Ad Da’wah sebagai majalah Islam lebih berhak mendapatkannya.”
Ustadz Umar sambil menahan emosinya berkata: “Ya Syaikh … nabi sudah mendahului Anda … jangan lagi membicarakan ini denganku.” (Muhammad Abdul Hamid, 100 Pelajaran Dari Para Pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hal. 141)
Dahulu,
ketika Syaikh Dr. Said Ramadhan al Buthy mendapatkan honor pertamanya
sebagai dosen dari mengajar pada perguruan milik pemerintah, lalu dia
memberikan sebagian honornya kepada ayahnya yakni Syaikh Ramadhan al
Buthy. Namun tanpa diduga, uang itu ditolak ayahnya, karena faktor
‘syubhat’nya uang pemerintah.
Demikianlah
contoh para du’at sejati, du’at yang jujur, dan pemimpin sejati, dan
seharusnya begitulah kita berlomba-lomba, hanya berani menerima dana
untuk dakwahnya dari sumber pendanaan yang pasti kehalalannya dan pasti
keamanannya. Tidak lucu jika seorang da’i –karena keluguan dan
kelatahannya main proyek- dia memanfaatkan uang yang bukan haknya, bukan
pula hak jamaah, dengan dalih demi dakwah, dan dia membeberkan hal itu
ketika digeledah KPK! Lalu diberitakan media massa, yang mereka tahu
adalah Anda telah memanfaatkan uang negara untuk kepentingan pribadi dan
kelompok. Untuk dakwah? Untuk daurah? Mereka tidak mau tahu ….. Sekali
lagi, tahan nafsumu …. Jangan sampai ini terjadi. Minimal … Rasa Malu ..
Rasa
malu adalah benteng terakhir. Rasa malu membuat pezina mengurungkan
niatnya, rasa malu membuat pelaku porno aksi membatalkan aksinya dan
rasa malu membuat seorang tokoh harus menjaga citra dirinya. Para da’i
adalah orang yang paling berhak menyandang sebagai pemalu. Malu berbuat
maksiat, malu jika diam dari kemungkaran, malu tidak shalat berjamaah di
masjid, malu jika menerima uang yang bukan haknya, malu ‘memohon’ jatah
mobil baru ke pemda dengan dalih demi operasional dakwah … lagi-lagi
dakwah dijadikan alas an, lebih tepatnya dikambinghitamkan.
Hendaklah
mereka malu kepada Allah Ta’ala, dan kalau pun sudah tidak malu kepada
Allah Ta’ala, malu-lah kepada malaikat sang pencatat, kalau pun tidak
malu kepada malaikat, malu-lah kepada manusia, kalau pun tidak malu
kepada manusia, malu-lah kepada keluarga di rumah, kalau pun tidak malu
kepada keluarga, maka malu-lah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur
bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan, minimal meragukan. Fitrah
keimanan akan menolaknya, kecuali jika memang sudah taraf Imanuhum fi
Proyekihim (Iman mereka ada pada proyek-proyek mereka).
Maafkan saya jika harus mengatakan seperti yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang manusia dapatkan adalah: “Jika kamu tidak lagi mempunyai rasa malu, maka lakukanlah apa saja sekehendakmu.” (HR. Bukhari, Kitab Ahadits Al Anbiya Bab Hadits Al Ghar, Juz.11, Hal. 302, No hadits. 3224. Ibnu Majah, Kitab Az Zuhd Bab Al Haya’, Juz. 12, Hal. 221, No hadits. 4173, semuanya dari jalur Abu Mas’ud. Al Maktabah Asy Syamilah)
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang manusia dapatkan adalah: “Jika kamu tidak lagi mempunyai rasa malu, maka lakukanlah apa saja sekehendakmu.” (HR. Bukhari, Kitab Ahadits Al Anbiya Bab Hadits Al Ghar, Juz.11, Hal. 302, No hadits. 3224. Ibnu Majah, Kitab Az Zuhd Bab Al Haya’, Juz. 12, Hal. 221, No hadits. 4173, semuanya dari jalur Abu Mas’ud. Al Maktabah Asy Syamilah)
Harus Diselamatkan!
Tak
ada kata lain, dakwah ini harus diselamatkan jika ingin tidak berakhir
sebelum kisahnya selesai. Allah Ta’ala telah menceritakan umat-umat
terdahulu yang dimusnahkanNya lantaran sikap keras kepala,
pembangkangan, dan menghalalkan segala cara.
Sudah
sering kita membicarakan ‘Kemenangan Dakwah’. Seharusnya –saat ini-
lebih penting kita membicarakan ‘Keselamatan Dakwah’. Bagaimana bisa
menang jika eksistensi terancam. Ya, secara formal masih eksis, tetapi
secara nilai dan moral, sudah tidak dianggap oleh manusia. Manusia
menganggapnya sama dengan (partai) lainnya. Ini bahaya. Harus diluruskan
dengan evaluasi dan koreksi diri lalu bertobat dan merubah sikap, bukan
dengan apologi dan membela diri membabi buta, tak peduli benar salah.
Sayang,
jika dakwah ini –yang Syaikh Mutawalli Asy Sya’rawi Rahimahullah
katakan laksana pohon yang baik, akarnya menghujam dan dahannya
meninggi- harus rubuh lantaran perilaku segelintir orang yang tidak lagi
peduli, paling tidak memudar kepekaannya terhadap salah satu perkara
penting dalam Islam; yakni halal-haram, khususnya halal-haram dalam
mendapatkan uang.
Wallahu A’lam
Oleh:Ust. Farid Nu'man
0 comments:
Post a Comment