Mesir kembali bergolak. Pasca revolusi tahap pertama yang berhasil
menggulingkan Fir’aun Mesir ketika itu, Husni “Laisa” Mubarak, kini
penggantinya, Mursi dijuluki “Fir’aun Baru” Mesir. Julukan “Fir’aun
Baru” Mesir disematkan ke Mursi setelah dirinya mengeluarkan dekrit yang
memberinya kewenangan luar biasa dan membebaskan seluruh keputusannya
dari tantangan hukum, Jum’at (23/11/2012).
Meski akhirnya dekrit telah dibatalkan oleh Mursi, Senin
(10/12/2012), masa depan Mesir masih belum pasti apakah ke arah yang
lebih baik sebelum revolusi atau sebaliknya. Aksi unjuk rasa masih
terjadi di depan Istana Al-Ittihadiya atau Istana Heliopolis, Kairo,
Senin kemarin. Massa yang digalang kubu oposisi menuntut Mursi menunda
referendum konstitusi pada 15 Desember mendatang.
Bagaimanakah masa depan Mesir di tengah pertarungan sengit kubu Pro
Presiden “Fir’aun Baru” Mursi versus lawannya dari kalangan sekuler
liberal Mesir yang sama-sama “bermain” dengan aturan demokrasi? Apakah
Mesir perlu revolusi tahap kedua yang lebih jelas memperjuangkan visi
dan misinya, yakni menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam
bingkai negara Khilafah Islam? Bagaimana peluang Mujahidin dalam
pertarungan ini?
Konstitusi Baru Mesir, Islami?
Ironis, banyak pihak yang tergesa-gesa menganggap konstitusi baru
Mesir yang diusulkan Mursi dan yang kemudian akan dijadikan
undang-undang dasar baru di Mesir bersifat Islami, alias bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sangkaan dan dugaan itu bisa jadi muncul karena kesan bahwa Mursi
adalah berasal dari partai Ikhwanul Muslimin, dan didukung oleh dua
partai atau gerakan Islam lainnya, yakni Partai Nour, dari Salafi dan
Jama’ah Islamiyah dari kalangan jihadis.
Kubu Mursi memang kemudian disebut dan dikenal sebagai kelompok
Islamis, melawan kubu atau kelompok sekuler liberal. Namun hal ini tentu
saja tidak serta merta menjadikan usulan atau rancangan konstitusi baru
Mesir itu Islami, melainkan harus dilihat dahulu apakah usulan
konstitusi baru Mesir itu bersumber dan bersesuaian dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, dan yang ditunjuk oleh keduanya.
Memang, keinginan agar konstitusi baru Mesir bersumberkan syariat
Islam atau hukum Islam mencuat, terutama oleh partai-partai Islam yang
ada di parlemen, seperti Partai Nour dari Salafi, dan Partai
Pengembangan dan Pembangunan dari Jama’ah Islamiyah. Namun tentu saja
keinginan tersebut harus dibuktikan, mengingat faktanya berbicara lain,
yakni sesuatu yang mustahil, alias jauh panggang dari api jika syariat
Islam yang kaafah (sempurna) bisa lahir dari sebuah kesepakatan politik
di arena dewan rakyat yang bersistemkan demokrasi.
Lihat saja situasi terbaru dan yang akan terus memanas di Mesir,
pasca usulan konstitusi baru Mesir (yang dianggap Islami) yang segera
saja ditolak oleh kubu oposisi. Parahnya, karena bermain di arena atau
menggunakan sistem demokrasi, maka Mursi atas tuntutan dan tekanan
publik dan kelompok oposisi akhirnya mencabut dekrit, meski tetap ngotot
akan melakukan referendum.
Esensi sebenarnya bukan dalam masalah “perang” kekuatan untuk
menggolkan konstitusi baru atau menggagalkannya, tetapi pada masalah isi
konstitusi tersebut apakah betul Islami, betul sesuai dengan syariat
Islam? Apalagi konstitusi baru Mesir tersebut lahir dari rahim demokrasi
yang sudah cacat sejak lahir jika ditimbang dengan syariat Islam. Hal
ini karena demokrasi adalah sebuah millah alias agama yang berseberangan
dengan Islam. Oleh karena itu, kaum Muslimin haram mengambil,
menjalankan, apalagi kemudian memperjuangkan dan mempertahankan
demokrasi.
Di bawah aturan demokrasi, anggota parlemen dari sekuler liberal dan
juga dari Kristen akan dianggap memiliki suara dan hak yang sama untuk
mengajukan pendapat, dan jika menemui jalan buntu, maka biasanya voting
dilakukan. Ini adalah jiwa dari sistem haram demokrasi, yakni kedaulatan
berada di tangan rakyat, yang diwakili oleh parlemen. Tentu saja aturan
ini bertentangan secara tegas dengan sistem Islam dimana hukum-hukum
Allah, yang dikenal
dengan nama syariat Islam adalah aturan tertinggi di mana semua
rakyat, bahkan pemimpin negara harus tunduk kepadanya. Tidak perlu ada
dekrit, dan tidak perlu ada referendum!
Sementara itu, kelompok oposisi Mesir habis-habisan mengecam isi
draft konstitusi baru Mesir dan menganggapnya tidak menghargai HAM dan
hak-hak perempuan. Salah satu tokohnya, Muhammad Adel mengatakan :
“Ini adalah undang-undang milik Ikhwanul, Salafiyah dan militer bukan milik rakyat Mesir.”
Dalam sebuah sistem demokrasi, maka sidang-sidang parlemen adalah
tempat untuk memperdebatkan apakah hukum-hukum Islam layak diterapkan
atau tidak layak. Ironisnya, semangat penerapan atau mengusulkan syariat
Islam terkadang tidak lagi berangkat dari kewajiban perintah Allah
SWT., melainkan karena kepentingan-kepentingan politik dan pesanan dari
negara-negara yang bekepentingan.
Contoh kasus hal ini terjadi saat para pemimpin Salafi menuduh
Ikhwanul Muslimin telah menyerah pada kelompok liberal dan terlalu lunak
dalam penerapan Syariah. Sementara Ikhwanul Muslimin bersama dengan
kekuatan politik lain yang ambil bagian dalam penulisan draft konstitusi
mengaku menyepakati penggunaan istilah “prinsip-prinsip Syariah”
sebagai referensi hukum yang akan mengatur negara. “Posisi kami sangat
jelas, Ikhwanul Muslimin dan Partai Kebebasan dan Keadilan tidak bermain
politik kali ini, periode ini sangat penting untuk menjadikan Islam
sebagai dasar” kata juru bicara Ikhwanul, Waleed al-Haddad. “Kami
menolak tuduhan dari kelompok Salafi ini, karena kita semua sepakat
dengan Islam,” tambah al-Haddad. Banyak warga Mesir percaya, Salafi
didanai dan didukung negara asing, termasuk Arab Saudi dan Qatar, untuk
melayani kepentingan kedua negara tersebut di Mesir. “Kita semua tahu,
bahwa Salafi secara luas didanai oleh Arab Saudi dan Qatar,” kata
seorang warga Mesir. Sementara itu, pemimpin partai Ikhwanul Muslim lain
yang juga mantan kandidat presiden Abdel Moneim Abul Fotouh juga
menolak draft baru konstitusi Mesir tersebut. Serikat Hakim Mesir juga
menolak draft tersebut dan mengatakan bahwa isi dari konstitusi baru itu
bertentangan dengan independensi peradilan negara dan meletakkannya di
bawah kewenangan Presiden Muhammad Mursi.
Sementara itu, dari pihak Ikhwanul Muslimin dengan sekuat tenaga
berupaya meyakinkan publik, terutama kalangan rakyat Mesir yang memang
hanya ingin hidup di bawah naungan syariat Islam, bahwa mereka
betul-betul serius memperjuangkan syariat Islam agar diterapkan di
Mesir.
Hal ini sebagaimana penegasan Mufti Ikhwanul Muslimin, Dr.
Abdurrahman Al Barr dalam konferensi yang diselenggarakan oleh
Departeman Dakwah Ikhwanul Muslimin untuk para dai dan imam di provinsi
Qaliubiya, Senin (12/11/2012).
Dr. Al Barr pada kesempatan tersebut menekankan bahwa syariat jauh
lebih luas dari sekedar materi ataupun prinsip dan hukum saja.
Konstitusi yang akan datang ini, tambahnya, tidak akan bertentangan
dengan syariat Islam. Ia juga berisi hak-hak dan kebebasan yang semuanya
itu berdasarkan nilai-nilai Islam.
Tentu saja, bahasa-bahasa “bersayap” khas politikus, apalagi asal IM
seperti ini harus dibuktikan, karena cenderung manipulatif dan
disampaikan untuk kepentingan sesaat, agar rakyat tanpa reserve menerima
usulan konstitusi baru Mesir tersebut dan menganggapnya sudah Islami.
Wallahu’alam!
Sebelumnya, ribuan rakyat Mesir menggelar aksi sejuta umat di Kairo,
Jumat (9/11/2012) lalu. Mereka berkonsentrasi di Tahrir Square menuntut
penegakan syariat Islam. Ironisnya, Partai An Nour dari Salafi dan
Partai Kebebasan dan Keadilan dari Ikhwanul Muslimin yang menduduki
kursi mayoritas di parlemen Mesir mengatakan bahwa mereka tidak ambil
bagian dalam aksi tersebut. Jadi, siapa yang sebenarnya menghendaki
penerapan syariat Islam secara sempurna di Mesir?
Konstitusi Baru Mesir Tidak Islami!
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam draft rancangan konstitusi
baru Mesir, apalagi secara berlebihan jika kemudian disebut-sebut bahwa
Konstitusi baru Mesir Berdasarkan Syariat Islam. Pernyataan ini jelas
jauh panggang dari api. Mimpi!
Dalam Pasal 2 Konstitusi yang baru, dikatakan bahwa syariah Islam
sebagai sumber hukum tertinggi di dalam konstitusi Mesir. Namun tentu
saja hal ini bukan jaminan, masih memerlukan bukti kongkrit penerapan di
lapangan, dalam seluruh aspek kehidupan di Mesir.
Artinya, apakah konstitusi baru Mesir tersebut betul-betul akan
menerapkan syariat Islam secara utuh, dari dasarnya, hingga aplikasinya,
termasuk penerapan hukum-hukum hudud terhadap para pelanggar syariat
Islam, seperti hukum potong tangan bagi para pencuri, hukum rajam bagi
para pezinah, dan lainnya.
Sayangnya, hal tersebut tidak mencuat dan dicantumkan dalam draft
usulan konstitusi baru Mesir tersebut. Apalagi draftnya saja sudah
menjadi polemik, lalu diselesaikan melalui jalur demokrasi, tentu lebih
ngawur lagi dan semakin menjauhkan keinginan menerapkan syariat Islam
secara sempurna di Mesir.
Dalam draft konstitusi baru Mesir ini juga ada aturan yang menetapkan
masa jabatan presiden (yang dianggap Islami) yang hanya dapat menjabat
dua kali (periode), kemudian dianggap sebagai sebuah perubahan sejarah
bagi sistem pemerintahan Mesir.
Di mana Islami-nya draft konstitusi baru Mesir ini jika yang diatur
adalah masa jabatan presiden? Bukankah dalam Islam hanya dikenal istilah
Khalifah atau Amirul Mu’minin untuk
jabatan seorang kepala negara? Apalagi dalam Islam jabatan seorang
kepala negara (Khalifah atau Amirul Mu’minin) jelas tidak dibatasi dalam
bilangan tahun, melainkan dengan syarat-syarat yang membatalkan
jabatannya sesuai syariat Islam, seperti murtad, dan lainnya. Dalam
masalah yang paling pokok dan dasar saja, yakni tentang kepala negara,
konstitusi ini sudah tidak bersumberkan kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Bagaimana dengan yang lainnya?
Jadi jelaslah sudah bahwa konstitusi baru Mesir tidak Islami dan
bukan bersumber dari syariat Islam, dari Al-Qur’an dan As Sunnah,
melainkan dari hawa nafsu orang-orang partai yang ada di parlemen Mesir,
khususnya Ikhwanul Muslimin, yang mengatasnamakan Islam dan kemudian
melabelinya dengan syariat Islam. Ironis!\
Dimana Posisi Mujahidin?
Jangan lupa, Mesir adalah sejarah panjang perjalanan dan perjuangan
jihad dari dahulu hingga kini. Beragam gerakan dakwah dan jihad bermula
dan berasal dari bumi Kinanah ini. Bahkan Mesir juga diprediksi sebagai
wilayah kebangkitan Islam di masa datang, mengingat posisinya yang
strategis, khususnya untuk masuk ke wilayah Palestina.
Syekh Abu Bakar Naajiy dalam bukunya Al-Khawanah (Para Pengkhianat)
mengungkapkan bahwa Mesir beserta aparat keamanannya termasuk salah satu
rezim thoghut di muka bumi yang memiliki pengalaman panjang, karena
mewarisi rezim thoghut Fir’aun yang berulang kali disebut dalam
Al-Qur’an agar orang-orang sesudahnya mewaspadainya. Rezim Mesir
merupakan sebuah permisalan bagi wujud manhaj setan yang ideal dengan
segenap unsur-unsurnya, dari mulai tukang sihirnya, para dukunnya,
penjaranya, siksaannya, makarnya dan tipu dayanya.
Dalam peta konflik dan krisis Mesir terkini, ada beberapa gerakan
jihad yang konsisten menolak jalan demokrasi, mengkritik Mursi, dan
menawarkan dakwah dan jihad sebagai satu-satunya solusi untuk masa depan
Mesir yang lebih baik. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan
sebutan Salafi Jihadi, dan biasanya berafiliasi dengan gerakan jihad
terbesar dan tercanggih abad ini, Al Qaeda.
Salah satunya adalah Ansar Al-Sharia Mesir, di bawah komando Syekh
Ahmad Ashous, hafizahullah. Baru-baru ini beliau menegaskan sikapnya
bahwa hanya dengan dakwah dan jihad sajalah problem di Mesir dapat
diselesaikan.
Syekh Ahmad juga mengkritik Mursi yang tidak memberlakukan syariat
Islam, dan lebih memilih proses demokrasi. Syekh Ahmad sangat mengecam
proses demokrasi yang haram.
Syekh Ahmad yang juga diindikasikan dekat dengan Al Qaeda ini
menyerukan kebangkitan dan kekhalifahan, serta mendukung seluruh gerakan
Mujahidin di setiap negeri kaum Muslimin, termasuk Mesir tentunya.
Tokoh Mujahidin lainnya dalam peta politik Mesir dewasa ini adalah
Syekh Muhammad al Zawahiri hafidzahullah, saudara kandung Syekh Ayman,
Hafizahullah. Beliau adalah salah satu dari beberapa pendukung Al Qaeda
yang menyerukan Ikhwanul Muslimin untuk menyisihkan segala bentuk hukum
selain syariah. Beliau saat ini memimpin Jihad Islam (JI)
Mesir. Selama wawancara dengan Kairo Al Masry al Youm, Syekh Muhammad
al Zawahiri ditanya tindakan apa yang dia inginkan dari Presiden Mesir
Muhammad Mursi. “Saya menuntut [Mursi] dan semua umat Islam untuk
berpegang teguh dengan syahadat mereka, untuk menjadi Muslim yang saleh,
mengetahui bahwa mereka akan dimintai pertanggung jawaban, berusaha
untuk menghindari hal-hal yang terlarang di dalam Islam dan menerapkan
syariat Islam,” jawab beliau. Syariah “memiliki solusi untuk semua
masalah kita,” tegasnya.
Untuk mengetahui lebih jelas lagi posisi dan kekuatan Salafi Jihadi
di Mesir, kita bisa melihatnya pada dokumentasi demonstrasi di Kedubes
AS di Kairo, yang dirilis oleh Al Faroq Media.
Dalam rilisan tersebut, nampak kekuatan pendukung Salafi Jihadi di
Mesir, yang terdiri dari beberapa elemen Salafi Jihadi, dan
keseluruhannya turun saat demonstrasi melawan hegemoni barat dan
mengusung ide mengembalikan Khilafah. Bendera-bendera Daulah Islam Iraq
mewarnai demonstrasi tersebut, menjadi simbol kesatuan visi dan misi
mereka.
“Kami menyerukan demonstrasi damai bersama-bersama ikut di dalamnya
faksi Islam yang berbeda termasuk Jihad Islam Mesir (JIM) dan gerakan
Hazem Abu Ismael,” Syekh Muhammad Az-Zawahiri menjelaskan, seperti
diberitakan CNN. Selain Syekh Muhammad Al Zawahiri, ada juga Syekh ‘Adel
Shehato. Beliau juga seorang pejabat senior di gerakan Jihad Islam
Mesir, juga Syekh Rifai Ahmed Musa Taha, dan Syekh Tawfiq Al ‘Afani.
Nampaknya Jihad Islam Mesir semakin eksis dan mengkristal dengan
afiliasi yang kuat kepada Al Qaeda, menolak demokrasi Mesir ala Mursi
dan Ikhwanul Muslimin, dan menuntut penegakan syariat Islam dengan
keKhilafahan.
Revolusi Baru Untuk Mesir
Syekh Ayman, terlahir dari rahim Ikhwanul Muslimin, namun kemudian
beliau meninggalkan Ikhwanul Muslimin dan menganut serta menyebarkan
ideologi Salafi Jihadi melalui Al Qaeda yang kini beliau pimpin. Banyak
nasihat-nasihat beliau untuk gerakan Islam yang membesarkan beliau,
Ikhwanul Muslimin, mulai dari yang halus hingga keras dan tegas.
Syekh Ayman bahkan secara khusus telah menulis sebuah buku yang
berjudul Al-Hishad Al-Murr, Al-Ikhwan Al-Muslimun Fi Sittina Amman,
(Panen Kepahitan : Kilas Balik Ikhwanul Muslimin Selama 60 Tahun) yang
menjelaskan bahwa Al Ikhwan Al Muslimin (IM) adalah penganut manhaj
demokrasi dan mereka telah ikut serta di dalam lembaga-lembaga
berhalanya yang membuat hukum yang tidak Allah izinkan.
Syekh Ayman menyatakan, “Kami bertanya, manakah yang lebih berbahaya
bagi jihad, pemerintah kafir yang membayar (di Mesir dan yang lainnya)
wartawan untuk menyerang jihad atau pemerintah menggunakan “Jama’ah
al-Ikhwan” untuk itu?
Tidak diragukan lagi, bahwa menggunakan al-ikhwan untuk menyerang jihad jauh lebih
berbahaya, karena ia menghalangi jalan Allah atas nama da’wah kepada
Allah, sehingga dengan argumen itu akan bisa menipu kaum Muslimin yang
lemah imannya dan sedikit ilmunya.
Tidakkah kau lihat wahai saudara Muslim, bahwa Thaghut –apabila telah
dikuasai oleh kekuasaanya dan khawatir kekuasaannya akan jatuh karena
aktifitas Jama’ah Jihad– ia mengangkat anggota al-Ikhwan sebagai
menteri, untuk membuat pencampuradukan bagi masyarakat atas nama Islam,
dan memukul jihad atas nama Islam?
Syekh Ayman juga mengatakan, “Institusi-institusi pemerintahan di
kalangan ummat Islam masih terus membuat makar terhadap Islam dan para
pemeluknya. Pemikiran mereka yang paling mutakhir adalah –bahwa mereka
telah memaksa penghancuran barisan umat Islam, dan memalingkan mereka
dari kewajiban syar’i yang termasuk wajib ’ain, yaitu jihad melawan
orang kafir dan murtad, terutama pemerintah yang menguasai negeri kaum
Muslimin. Untuk mencapai rencana penghancuran ini mereka mengikutkan
berbagai sarana, yang terpenting adalah mendorong seruan-seruan yang
dibungkus dengan cover yang indah menarik, dan pada hakekatnya
menyebabkan dua hal;
Pertama; Meruntuhkan rukun aqidah yang paling penting, yaitu rukun
tunduk kepada hakimiyah Allah SWT., dengan mengikut kepada pokok hukum
jahiliyah demokrasi dalam perundang-undangan dengan dalih tunduk kepada
hak sesama manusia dalam hal yang mereka boleh memilih karena mereka
pandang bukan termasuk urusan tasyri’ dan aqidah.
Kedua; Memposisikan jihad yang fardlu ‘ain vis-à-vis pemerintah
murtad yang memerintah negeri Islam tersebut, bahkan memusuhi dan
besikap buruk terhadap orang-orang yang menyeru kepada jihad itu,
mencaci maki mereka dan menyeru agar pemerintah mengadili mereka,
sedangkan imam thaghut itu berlepas tangan.
Dahsyat bukan? Apalagi kini Al Ikhwan Al Muslimin yang dikomentari
oleh Syekh Ayman tersebut saat ini sedang berkuasa dan memegang tampuk
pemerintahan di Mesir. Maka seperti apa dampaknya dan apa saja yang bisa
mereka perbuat ?
Syekh Ayman melanjutkan dalam bukunya tersebut, di antara jama’ah
yang menyerukan dua hal ini untuk memecah belah barisan umat Islam
adalah jama’ah al-Ikhwan al-Muslimun –khususnya pada tahun-tahun
terakhir ini– dimana ia berusaha untuk mencabut kekerasan dan
mengumumkan sikap taat terhadap syar’iyyah undang-undang dasar,
syar’iyyah undang-undang jahiliyah, syar’iyyah pengingkaran terhadap hak
Allah dalam menentukan tasyri’ bagi hamba-Nya. Sesungguhnya jama’ah ini
memetik hasil semangat para aktifis Muslim untuk bergabung dengan
shafnya, bahkan untuk memasukkannya ke dalam peti esnya, dan untuk
mangalihkan arah semangat Islam dari jihad melawan thaghut kepada
mu’tamar dan pemilihan umum.
Laa haula wa laa quwwata illa billah!
Akhirnya, khusus untuk Mesir, Syekh Ayman, Hafizahullah, orang nomer
satu di Al Qaeda yang juga asli Mesir, telah menyerukan kepada seluruh
rakyat Mesir untuk memulai kembali revolusi guna mendesak
diberlakukannya syariat Islam di sana.
Syekh Ayman juga menyebut pemerintahan baru Mesir di bawah
kepemimpinan presiden dari Ikhwanul Muslimin, korup. Dikatakan juga oleh
Syekh Ayman, perang tengah berlangsung di Mesir antara minoritas
sekuler dan para Muslim yang menginginkan penerapan syariat Islam.
Syekh Ayman juga mengatakan “Revolusi di Mesir harus berlanjut dan
umat Muslim harus berkorban sampai mencapai apa yang diinginkan.”
Jadi, masa depan Mesir kini kembali berada di tangan umat Muslim
Mesir, apakah lebih memilih konstitusi baru Mesir bermanhaj demokrasi
ala Mursi, atau memilih penerapan syariat Islam secara sempurna dengan
jalan dakwah dan jihad hingga tegak Khilafah yang akan menjalankannya.
Wallahu’alam bis showab!
0 comments:
Post a Comment