Saya tidak tahu ingin memulai dari mana. Tetapi, saya harus katakan
bahwa penularan penyakit ini semakin membuat hati dan
telinga saya 'panas'. Lalu jari jemari saya semakin gatal mau mengetik
di keyboard agar meringankan ‘beban’ yang panas ini.
“Saya takkan pergi ke pasar malam. Jika saya pergi pun, saya tidak akan
beli apa-apa. Lihatlah, mereka itu solat atau tidak? Makanan yang kita
makan itu dari tangan orang tdk solat, tdk tutup aurat dengan baik?
Makanan itu kah yang akan kita berikan kepada keluarga kita?”
Saya dan teman saling memandang. Mata kami membulat dengan dahi
berkerut. Penceramah di hadapan meneruskan ide-idenya.
“ Dengar sini, kalau ada ‘akhwat’ kirim sms ke antum jam 2 pagi, tanya hal yang tidak penting, jangan pernah ambil dia sebagai istri”
Uhukuhuk. Wow, itu satu tips untuk akhwat juga! Hmm…
APA MASALAHNYA
Ya, tidak ada kesalahan teknis pada penyataan di atas.
Siapa juga yang mau makan dari hasil tangan orang yang tidak sholat, ahli maksiat dan tidak
masuk syurga? Siapa pula yang berharap beristrikan atau bersuamikan si
pengirim SMS lewat tengah malam, atau kata-kata popular ahli tarbiyah, “ Tak
jaga ikhtilath?” Nanti apabila sudah menikah, dibelakang pasangannya pun ia
akan melakukan hal yang sama, berhubungan dengan yang lain tanpa batasan!
Tetapi, ya tetapi…
Menjadi da’i atau peserta tarbiyah seringkali membuat diri sendiri menjadi berlebihan. Merasakan, hanya kita dan sesungguhnya hanya kita, dan
tidak ada yang lebih baik daripada kita. Merasa tidak ada yang lebih rajin sholat daripada kita. Merasa hanya amal dari kita, dari partai kita, atau dari jamaah kita yang paling nyata. Merasakan hanya kita lah yang lebih layak diambil sebagai isteri atau suami, yang lebih wara’ sikapnya dibandingkan manusia ‘ammah’ lain yang kita lihat di pasar
malam, di dalam kampus, di tepi-tepi jalan, di pasar, di facebook dan
di mana-mana tempat yang kita rasa di situ adalah ‘sarang maksiat’.
Memandang manusia lain yang tidak menutup aurat sebagai picisan, meremehkannya, dan
memandang satu kesalahannya seolah-olah ia sedang menanggung dosa yang sangat berat, serta menilai
keberadaan seseorang di suatu tempat adalah lambang keimanannya.
MENGAPA TIDAK…
…kita bersangka baik. Ataukah kita terlalu ‘izzah (atau bangga) dengan
tarbiyah yang kita miliki sehingga kita merasakan bahwa hanya kita sajalah manusia
yang paling beriman di muka bumi ini. Sebagai tanda syukur kita karena memperoleh
nikmat tarbiyah, membuat kita merasa ‘orang lain’ tidak bernasib baik
seperti kita.
Hati-hatilah pada kata-kata yang kita ucapkan saat mendiskusikan
tentang mereka, hati-hatilah terhadap ideologimu saat membanding bedanya jahiliyahnya mereka (yang ammah)
dan taqwanya dirimu.
Jangan sampai bersangka-sangka, menghukum dengan
hanya dengan satu pandangan, dan merasa ‘ujub akan kesucian dirimu. Saat
itulah amal seorang da’i/aktivis akan tersungkur hancur bagai debu. Dan mereka
yang dianggap tidak solat, tidak layak dibuat ‘jodoh’, dan mereka yang kita anggap tidak sholeh, tidak beramal, dan tidak bekerja untuk dakwah, akan melambaimu di
pintu syurga.
KETAHUILAH…
Tidak semua orang yang beramal ibadah lalu menunggu-nunggu agar orang melihat akan amalnya itu. Tidak semua orang ingin menunjukan dirinya adalah anak tarbiyah dan ingin kebaikannya agar diakui semua
orang.
Kawan, barangkali kita masih berada di kelompok orang tarbiyah,
lalu kita mudah ‘sensitif’ dengan satu kesalahan ikhwan kita dan lalu hilanglah tsiqah terhadapnya. Barangkali kita biasa menampilkan amal
untuk berlomba-lomba akan siapakah yang paling terdepan.
Berjalanlah kalian dimuka bumi... Tidak semua mereka yang
bercelana jeans, berambut panjang dan bertato itu adalah preman. Belum tentu ikhwan yang kita tahu tidak aktif di jamaah kita, atau bahkan tidak aktif jamaah manapun adalah orang yang ammah terhadap diennya. Tidak seharusnya juga ukhti yang mengirim SMS di malam hari dihukum menjadi PERAWAN TUA karena dijauhi ikhwan-ikhwan yang mengetahui ketidakpeduliannya
dalam masalah ‘ikhtilat’.
Siapa tau..
Mereka yang kita sangkakan 'ammah' ternyata
adalah ‘seseorang di sisi Allah’, sedang kita yang begitu ‘izzah dalam menjaga
kata-kata dan kelakuan kita, mungkin sedang dipilih Allah untuk ke
jurang neraka.
Ya, saya banyak bertemu manusia ‘aneh’ yang soleh dan
manusia soleh yang aneh. Mungkin karena saya diberikan peluang hidup dalam
keadaan dua dunia yang berbeda; dunia tarbiyah dan dunia sosial.
Tidak
jarang saya temukan manusia ‘ammah’ ini lebih manusiawi, lebih sufi dan
lebih bagus akhlaknya daripada orang soleh. Mungkin itu karena mereka sadar, mereka
bukanlah ustad, ustadzah sehingga mereka tidak menunjukkan amal-amal dan luasnya ilmu agama mereka.
Kita bukanlah hakim terhadap iman dan amal manusia. Sedangkan
malaikat tugasnya hanya mencatat, karena apa yang dalam hati itu hanya
Allah mengetahuinya. Tidak rugi jika kita
berprasangka baik, memandang diri sendiri yang tidak cukup baik. Jika tidak mampu mengontrol zhonn dalam hati, jangan pula kita sebarkan prasangka ke segenap alam. Ingatlah, tarbiyah bukan satu-satunya jalan ke surga, karena surga
itu banyak pintunya..
wallahualam..
wallahualam..
Tulisan yang jernih dan menyegarkan...namun perlu diskusi yang mendalam untuk memperkaya tulisan tersebut agar tak hanya jernih, tapi berkilau...agar sudut pandang kita lebih utuh...
ReplyDeleteSubhanAllah. saya sependapat (tapi itu dulu, sebelum saya benar-benar tahu apa itu tarbiyah, apa itu gerakan2 Islam lainnya, HTI, Ikhwanul, dll). Apa itu halaqoh, apa itu meng-kaji (baca: mengaji). Kita memang tidak berhak menilai seseorang baik atau uruk dalam pandangannya di Mata Allah. Pun kita juga tidak berhak apakah seseorang itu akan masuk surga atau neraka. tetatpi yang namanya kebaikan harus memiliki tolok ukur yang jelas. yang setidaknya bisa kita nilai. dan ukuran itu tentunya sdh dicontohkan oleh pribadi Rasulullah terdahulu. Sebagai contoh adalah Sholat (sbg ibadah ritual kita). Lalu berhakkah kita mengatakan orang yg tidak Sholat itu salah dan dosa (tentu saja berhak, karena Rasulullah saja Sholat dan mengajarkan sholat). Kita tidak bisa mengatakan: "LEBIH BAIK ORANG YANG TIDAK SHOLAT TAPI BAIK PADA TETANGGANYA, DARI PADA SHOLAT TAI SERING MENJELEKKAN TETANGGANYA" (sebuah pernyataan yg sebetulnya sangat menjustis bahwa sebetulnya sholat itu tdk penting). Yah, walau pada kenyataannya Sholat tdk jg menjamin kita baik dan masuk surga. Tapi yang jelas, Islam tdk mengajarkan main timbang-timbangan, "ketimbang ini mending gitu". Islam mengajarkan kita untuk Khaffah.
ReplyDeleteKalau ada orang yg perbuatannya jelas di mata kita baik, mengapa malah mengatakan orang yang kebaikannya belum jelas di mata kita itu yang lebih baik?!
LUCU'kn! Kita tidak bisa mengatakan orang sholat blum tentu masuk syurga. Tapi knapa kita malah berfikir orang yg tdk sholat bisa masuk syurga?!
mengutip pernyataan Anda :
"Memandang manusia lain yang tidak menutup aurat sebagai picisan, meremehkannya, dan memandang satu kesalahannya seolah-olah ia sedang menanggung dosa yang sangat berat, serta menilai keberadaan seseorang di suatu tempat adalah lambang keimanannya."
Ini contoh lucu. Islam (mau tarbiyah, HTI, NU, MD, dll) g pernah kemudian mengajarkan untuk mencela (pun ketika orang itu bnr2 salah). Tapi, tentunya sdh selayaknya. Bila yang tdk berjilbab saja kita sukai, maka yang berjilbab akan lebih layak (bkn malah lbh dibenci). Bila kita senang berteman dg orang2 yg nongkrong di diskotik, knp kita malah membenci yang sering di masjid.
So... saya rasa sdh selayaknya yang kebaikannya jelas di mata kita untuk dinilai lbh baik drpd yang kebaikannya blm jelas.
terima kasih atas masukkannya. sangat brilian. Tulisan diatas sebenarnya khusus ditujukan kepada mereka yang tarbiyah, dan merasa diri mereka lebih baik daripada yg tidak tarbiyah.
DeleteTulisan diatas juga bukan sedang menyamakan antara orang yg tarbiyah dan ammah.
"Kalau ada orang yg perbuatannya jelas di mata kita baik, mengapa malah mengatakan orang yang kebaikannya belum jelas di mata kita itu yang lebih baik?!" (inilah contoh penyakit MEREMEHKAN, jawabannya ada di artikel ini ^_^)
jazakallah.