.
Home » , , » Jauh Beda - PKS dan Ikhwanul Muslimin

Jauh Beda - PKS dan Ikhwanul Muslimin


Suatu hari saya bertemu dengan salah seorang kawan yang baru saja pulang dari Mesir setelah menyelesaikan studi S-1 di Al-Azhar. Kini beliau menjabat sebagai staff ahli salah satu Anggota DPR RI F-PKS.

Dalam dialog ini saya bertanya tentang Ikhwanul Muslimin di Mesir, saya awali dengan pertanyaan:

“Ustad HNW pernah bilang PKS bukan IM, antum tau alasan beliau bilang seperti itu akhi?”

kawan saya ini dengan enteng menjawab “jelaslah kita bukan IM, karena kualitas kita jauh dari IM”

“Maksud antum apa?” tanya saya lagi.

“Akhi, kalau kader PKS di Indonesia memang yang Hafidz Qur’an banyak, namun bukan mayoritas kader, sedangkan di Mesir sana kader IM yang tidak hafidz Qur’an mungkin yang jadi minoritas, dari satu kampung ke kampung lainnya engkau akan menemukan seorang kader yang pasti seorang hafidzul Qur’an, dan yang hafidz Quran bukan cuman kader-kader elit yang marhalah tarbiyahnya tinggi akhi, tapi kader-kader muda biasa kayak ana dan antum juga mayoritas hafidz”.

Saya hanya manggut-manggut, teringat diri ini bahwa menjadi hafidzul Qur'an adalah hal yang luar biasa, tidak semua orang bisa menjadi hafidzul Qur'an. Hanya mereka yang benar-benar menjaga ketakwaan pada Allah, menjaga pandangan dan segala hari hal-hal yang haram yang mampu menjadi seorang penghapal Qur'an.

Masih terus nyerocos penuh antusias kawan saya melanjutkan “kalau antum ke Mesir, semakin antum ke kampung, maka akan semakin banyak kader dan simpatisan IM. Mereka begitu merakyat, hidup mereka adalah hidup rakyat Mesir. IM semakin kuat di pedesaan karena kerja mereka begitu nyata terasa di masyarakat. Setiap ada kejadian apapun yang menimpa masyarakat, yakinlah disana ada seorang kader IM yang sudah sampai untuk membantu”. 
 (Opini : Hadiyan Faris Azhar, lihat selengkapnya di sini)
----------------------------------------------------------
tanggapan:
Kalau di Indonesia, 
yang banyak duit dan massa, itu yang diangkat jadi kader untuk maju dalam pemilu.
yang paling besar 'mahar' nya, itu yang diberi perahu.
pemimpin yang diangkat/diusung, bukan lagi dilihat dari segi akhlaknya.
bukan dilihat dari segi shidiq, fathonah, dan amanah nya.
tapi dari elektabilitas dan popularitasnya.
dan tebal kantongnya...

Ust Abi Syakir pernah menceritakan pengalamannya,

Ada sebuah peristiwa menarik bertahun-tahun silam, menjelang Indonesia memasuki era Reformasi. Saya lupa waktunya, mungkin tahun 1996 atau 1997. Waktu itu di Masjid Al Manar Jl. Puter Bandung diadakan bedah buku Memoar Hasan Al Banna. Buku ini diterbitkan oleh Era Intermedia dari Solo. Hadir sebagai pembicara pimpinan Era Intermedia sendiri dan KH. Rahmat Abdullah.
Dalam sessi tanya-jawab, Ustadz Rahmat rahimahullah ditanya tentang eksistensi Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Singkat kata, adakah Ikhwanul Muslimin di Indonesia? Secara mengejutkan, beliau malah menjawab: “Wallahu A’lam, ada atau tidak.” Saya terus terang kecewa dan berburuk sangka kepada Ustadz Rahmat Abdullah ketika itu. “Masak sih, ada kader-kader Tarbiyah (IM) sedemikian banyak, kok dibilang wallahu A’lam?” begitu pertanyaan saya di hati.
Luar biasanya, jawaban Ustadz Rahmat Abdullah diulang kembali ketika beliau diwawancarai wartawan Suara Hidayatullah. Malah dalam wawancara itu beliau didesak-desak terus oleh sang wartawan untuk mengakui, bahwa Jamaah Tarbiyah di Indonesia, adalah representasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi berulang-ulang beliau tidak memberi jawaban tegas. Kesannya sama seperti dalam bedah buku di atas, jawaban sengaja ‘digantung’.
Alasan Ustadz Rahmat sangat menarik. Kata beliau, kurang-lebih, “Kalau kita mengaku bagian dari Ikhwanul Muslimin Mesir, apa memang kita ini sudah memiliki kualitas seperti mereka?” Bahkan, ketika beliau diberitahu bahwa Habib Husein Al Habsyi telah mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin Indonesia, beliau mengecam hal itu dengan sengit. “Kalau ada yang mengklaim, biar dia makan klaimnya,” kata Ustadz Rahmat tegas.
Saya semula menyangka, pernyataan Ustadz Rahmat itu adalah bagian dari diplomasi, atau katakanlah menjaga amniyah(kerahasiaan). Kalau diakui secara jujur, khawatir nanti komunitas Jamaah Tarbiyah atau Partai Keadilan (PK) ketika itu akan diberangus habis oleh kekuasaan. Ya, katakanlah pernyataan beliau hanya semata diplomasi belaka.
Namun jujur saja, ketika saya melihat sikap-sikap PKS dewasa ini, saya sangat ragu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Bagi yang menyimak perkembangan Al Ikhwan di Timur Tengah, pasti akan merasa ragu melihat sikap PKS selama ini. Benarkah partai ini representasi Al Ikhwan? Atau hanyangaku-ngaku saja? Kenyataannya, perbedaan sikap di antara mereka amatlah tajam.
Seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, Kamaluddin As Saraniri (saya yakin orang-orang PKS saat ini banyak yang tidak tahu tokoh ini). Beliau pernah diminta menandatangani surat yang isinya mengakui kepemimpinan Anwar Sadat dan meminta maaf kepadanya. Dengan sangat tegas beliau mengatakan, “Kalau sepatuku ini mau tunduk kepada Anwar Sadat, ia akan aku buang.” Atas sikap kerasnya itu beliau mendapat hukuman eksekusi di selnya sendiri. Bandingkan dengan sikap PKS yang sangat pro kekuasaan, siapapun yang memegang tampuk kekuasaan itu. PKS bukan saja pro kekuasaan, tetapi tidak malu-malu menampakkan diri dengan maneuver-manuver menggelikan.
Kemudian lihatlah sikap tegas Hamas kepada Israel. Biarpun tokoh-tokoh Hamas sudah banyak yang terbunuh oleh kezhaliman Israel, mereka tetap teguh dengan pendiriannya. Mereka tidak menginginkan, kecuali Israel keluar dari bumi Palestina. Hamas itu jelas-jelas sosok Ikhwanul Muslimin sejati. Jelas yang demikian ini sangat berbeda dengan PKS di Indonesia.
Bahkan, sampai saat ini Ikhwanul Muslimin masih menyertai gerakan jihad fisik di Iraq dan Afghanistan, selain di Palestina tentunya. Selain pemuda-pemuda Saudi, banyak pemuda Al Ikhwan berjuang di Irak mengusir penjajah. Berbeda dengan PKS yang kemarin itu “berjihad” dengan mengumpulkan sedekah untuk membantu korban bencana kemanusiaan di Ghaza. Tifatul Sembiring secara jelas mengatakan di media-media, mereka tidak berkepentingan dengan jihad fisik, tetapi lebih ke soal charity untuk membantu korban peperangan di Ghaza.
Di Turki pun, kader-kader Al Ikhwan memiliki sikap yang militan. Baik Refah, Najamuddin Erbakan, maupun Erdogan, mereka tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas dalam pendirian politiknya. Seperti Erdogan yang mengecam keras Shimon Perez dalam pertemuan di Davos yang menghebohkan dunia itu. Tipikal tegasnya Al Ikhwan ada disana.
Malah sampai saat ini, penangkapan kader-kader Al Ikhwan di Mesir tidak pernah berakhir. Ia terus terjadi. Termasuk beberapa puluh pemuda Al Ikhwan yang ditangkap Pemerintah Mesir karena mau menyebrang ke Ghaza. Ingat lho, ini peristiwa aktual, baru beberapa bulan lalu saat Tragedi Ghaza meletus. Ini bukan peristiwa di jaman Syaikh Al Banna atau Syaikh Sayyid Quthb rahimahumallah di masa lalu.
Parameter lain. Tidak ada tokoh-tokoh PKS yang menjadi para alim, ahli ilmiah Islam yang mumpuni. Padahal, Al Ikhwan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang terkenal. Tokoh-tokoh seperti Said Ramadhan Al Buthi, Thaha Jabir Al Ulwani, Abdullah Nashih Ulwan, Jasim Al Muhalhil, dll. sangat banyak. Kalau di Palestina memang jarang melahirkan tokoh-tokoh ahli ilmu, tetapi dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah  lainnya, banyak lahir ilmuwan Islam.
Padahal kalau mau jujur, beberapa elit PKS adalah doktor-doktor di bidang ilmiah Islam. Mengapa ilmunya yang sudah puluhan tahun dikejar seperti tidak dipakai? Masak ilmu sebanyak itu hanya dipakai sebagai “roket” pendorong kepentingan politik? Termasuk para ustadz yang bergelar Lc, alumni Saudi maupun LIPIA. Masak semuanya tumplek blek untuk urusan politik semua? Aneh bin ajaib.
Begitu pula, jamaah Al Ikhwan terkenal dengan tradisi menghafal Al Qur’an di kalangan mereka. Konon, mahasiswa-mahasiswa Kedokteran di Mesir, rata-rata sudah hafizh Al Qur’an. Menurut seorang kenalan baik di Jakarta, budaya Al Qur’an di Mesir itu sangat kuat. Sampai para satpam pun, saat-saat senggang mereka membaca Al Qur’an.
Tapi kalau melihat komunitas PKS saat ini, apakah mereka benar-benar menghidupkan Al Qur’an dengan membaca, menghafal, dan mentadabburinya? Saya tidak yakin hal itu. Sebab, seperti yang disebutkan Sayyid Quthb, buah dari interaksi yang intens dengan Al Qur’an akan melahirkan banyak barakah. Sedangkan kalau melihat sikap-sikap politik PKS akhir-akhir ini, bagian mana yang disebut barakahnya?
Semua ini menunjukkan, bahwa ada yang salah dari partai ini kalau mengaitkan diri dengan Al Ikhwan. Dan ada hal-hal lain yang bisa digali sebagai parameter pelengkap.
Lalu karakter Ikhwanul Muslimin sendiri seperti apa?
Setahu saya, wallahu A’lam bisshawaab, mereka memiliki karakter sebagai berikut:
[-] Minat kepada kajian ilmiah Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya lahir penulis-penulis Al Ikhwan, banyak dosen-dosen ilmu Syar’i di Al Azhar maupun Universitas-universitas Saudi, Qatar, dan lainnya.
[-] Komitmen kepada Syariat Islam. Sampai jabatanMursyid Aam Ikhwanul Muslimin dipegang oleh Syaikh Muhammad Mahdi Akib saat ini, belum pernah ada pernyataan Mursyid Aam Ikhwan yang melegitimasi aliran sesat, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
[-] Anti terhadap anasir-anasir asing (kafir) di dunia Islam. Ini sikap yang jelas dan banyak buktinya. Bahkan, sebenarnya jamaah Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Syaikh Al Banna di Mesir ialah untuk: Mengusir penjajah Inggris dari Mesir, dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Meskipun kemudian sikap pemimpin-pemimpin Ikhwan tidak sefrontal Al Banna dan Sayyid Quthb, tetapi perlawanan mereka terhadap penjajah asing tetap kuat. Buktinya ialah jihad di Palestina, Afghanistan, dan Irak saat ini.
Akhirnya, saya mengerti ucapan Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullahyang disebutkan di bagian muka. Benar kata beliau, kalau hanya mengklaim saja mudah. Tetapi apakah suatu kaum telah memiliki kualitas seperti pihak yang diklaimnya? Nah, itulah pertanyaannya.
Silakan Anda renungkan sendiri baik-baik, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Wallahu A’lam bisshawaab.
- See more at: http://tarbiyahbukanpks.com/antara-pks-dan-ikhwanul-muslimin/#sthash.qPceHa3O.dpuf
Ada sebuah peristiwa menarik bertahun-tahun silam, menjelang Indonesia memasuki era Reformasi. Saya lupa waktunya, mungkin tahun 1996 atau 1997. Waktu itu di Masjid Al Manar Jl. Puter Bandung diadakan bedah buku Memoar Hasan Al Banna. Buku ini diterbitkan oleh Era Intermedia dari Solo. Hadir sebagai pembicara pimpinan Era Intermedia sendiri dan KH. Rahmat Abdullah.

Dalam sessi tanya-jawab, Ustadz Rahmat rahimahullah ditanya tentang eksistensi Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Singkat kata, adakah Ikhwanul Muslimin di Indonesia? Secara mengejutkan, beliau malah menjawab: “Wallahu A’lam, ada atau tidak.” Saya terus terang kecewa dan berburuk sangka kepada Ustadz Rahmat Abdullah ketika itu. “Masak sih, ada kader-kader Tarbiyah (IM) sedemikian banyak, kok dibilang wallahu A’lam?” begitu pertanyaan saya di hati.

Luar biasanya, jawaban Ustadz Rahmat Abdullah diulang kembali ketika beliau diwawancarai wartawan Suara Hidayatullah. Malah dalam wawancara itu beliau didesak-desak terus oleh sang wartawan untuk mengakui, bahwa Jamaah Tarbiyah di Indonesia, adalah representasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi berulang-ulang beliau tidak memberi jawaban tegas. Kesannya sama seperti dalam bedah buku di atas, jawaban sengaja ‘digantung’.

Alasan Ustadz Rahmat sangat menarik. Kata beliau, kurang-lebih, “Kalau kita mengaku bagian dari Ikhwanul Muslimin Mesir, apa memang kita ini sudah memiliki kualitas seperti mereka?” Bahkan, ketika beliau diberitahu bahwa Habib Husein Al Habsyi telah mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin Indonesia, beliau mengecam hal itu dengan sengit. “Kalau ada yang mengklaim, biar dia makan klaimnya,” kata Ustadz Rahmat tegas.

Saya semula menyangka, pernyataan Ustadz Rahmat itu adalah bagian dari diplomasi, atau katakanlah menjaga amniyah(kerahasiaan). Kalau diakui secara jujur, khawatir nanti komunitas Jamaah Tarbiyah atau Partai Keadilan (PK) ketika itu akan diberangus habis oleh kekuasaan. Ya, katakanlah pernyataan beliau hanya semata diplomasi belaka.

Namun jujur saja, ketika saya melihat sikap-sikap PKS dewasa ini, saya sangat ragu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Bagi yang menyimak perkembangan Al Ikhwan di Timur Tengah, pasti akan merasa ragu melihat sikap PKS selama ini. Benarkah partai ini representasi Al Ikhwan? Atau hanya ngaku-ngaku saja? Kenyataannya, perbedaan sikap di antara mereka amatlah tajam.

Seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, Kamaluddin As Saraniri (saya yakin orang-orang PKS saat ini - apalagi yang baru gabung- banyak yang tidak tahu tokoh ini). Beliau pernah diminta menandatangani surat yang isinya mengakui kepemimpinan Anwar Sadat dan meminta maaf kepadanya. Dengan sangat tegas beliau mengatakan, “Kalau sepatuku ini mau tunduk kepada Anwar Sadat, ia akan aku buang.” Atas sikap kerasnya itu beliau mendapat hukuman eksekusi di selnya sendiri. Bandingkan dengan sikap PKS yang sangat pro kekuasaan, siapapun yang memegang tampuk kekuasaan itu. PKS bukan saja pro kekuasaan, tetapi tidak malu-malu menampakkan diri dengan maneuver-manuver menggelikan.

Kemudian lihatlah sikap tegas Hamas kepada Israel. Biarpun tokoh-tokoh Hamas sudah banyak yang terbunuh oleh kezhaliman Israel, mereka tetap teguh dengan pendiriannya. Mereka tidak menginginkan, kecuali Israel keluar dari bumi Palestina. Hamas itu jelas-jelas sosok Ikhwanul Muslimin sejati. Jelas yang demikian ini sangat berbeda dengan PKS di Indonesia.

Bahkan, sampai saat ini Ikhwanul Muslimin masih menyertai gerakan jihad fisik di Iraq dan Afghanistan, selain di Palestina tentunya. Selain pemuda-pemuda Saudi, banyak pemuda Al Ikhwan berjuang di Irak mengusir penjajah. Berbeda dengan PKS yang kemarin itu “berjihad” dengan mengumpulkan sedekah untuk membantu korban bencana kemanusiaan di Ghaza. Tifatul Sembiring secara jelas mengatakan di media-media, mereka tidak berkepentingan dengan jihad fisik, tetapi lebih ke soal charity untuk membantu korban peperangan di Ghaza.

Di Turki pun, kader-kader Al Ikhwan memiliki sikap yang militan. Baik Refah, Najamuddin Erbakan, maupun Erdogan, mereka tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas dalam pendirian politiknya. Seperti Erdogan yang mengecam keras Shimon Perez dalam pertemuan di Davos yang menghebohkan dunia itu. Tipikal tegasnya Al Ikhwan ada disana.

Malah sampai saat ini, penangkapan kader-kader Al Ikhwan di Mesir tidak pernah berakhir. Ia terus terjadi. Termasuk beberapa puluh pemuda Al Ikhwan yang ditangkap Pemerintah Mesir karena mau menyebrang ke Ghaza. Ingat lho, ini peristiwa aktual, baru beberapa bulan lalu saat Tragedi Ghaza meletus. Ini bukan peristiwa di jaman Syaikh Al Banna atau Syaikh Sayyid Quthb rahimahumallah di masa lalu.

Parameter lain. Tidak ada tokoh-tokoh PKS yang menjadi para alim, ahli ilmiah Islam yang mumpuni. Padahal, Al Ikhwan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang terkenal. Tokoh-tokoh seperti Said Ramadhan Al Buthi, Thaha Jabir Al Ulwani, Abdullah Nashih Ulwan, Jasim Al Muhalhil, dll. sangat banyak. Kalau di Palestina memang jarang melahirkan tokoh-tokoh ahli ilmu, tetapi dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah  lainnya, banyak lahir ilmuwan Islam.

Padahal kalau mau jujur, beberapa elit PKS adalah doktor-doktor di bidang ilmiah Islam. Mengapa ilmunya yang sudah puluhan tahun dikejar seperti tidak dipakai? Masak ilmu sebanyak itu hanya dipakai sebagai “roket” pendorong kepentingan politik? Termasuk para ustadz yang bergelar Lc, alumni Saudi maupun LIPIA. Masak semuanya tumplek blek untuk urusan politik semua? Aneh bin ajaib.

Begitu pula, jamaah Al Ikhwan terkenal dengan tradisi menghafal Al Qur’an di kalangan mereka. Konon, mahasiswa-mahasiswa Kedokteran di Mesir, rata-rata sudah hafizh Al Qur’an. Menurut seorang kenalan baik di Jakarta, budaya Al Qur’an di Mesir itu sangat kuat. Sampai para satpam pun, saat-saat senggang mereka membaca Al Qur’an.

Tapi kalau melihat komunitas PKS saat ini, apakah mereka benar-benar menghidupkan Al Qur’an dengan membaca, menghafal, dan mentadabburinya? Saya tidak yakin hal itu. Sebab, seperti yang disebutkan Sayyid Quthb, buah dari interaksi yang intens dengan Al Qur’an akan melahirkan banyak barakah. Sedangkan kalau melihat sikap-sikap politik PKS akhir-akhir ini, bagian mana yang disebut barakahnya?

Semua ini menunjukkan, bahwa ada yang salah dari partai ini kalau mengaitkan diri dengan Al Ikhwan. Dan ada hal-hal lain yang bisa digali sebagai parameter pelengkap.

Lalu karakter Ikhwanul Muslimin sendiri seperti apa?

Setahu saya, wallahu A’lam bisshawaab, mereka memiliki karakter sebagai berikut:
[-] Minat kepada kajian ilmiah Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya lahir penulis-penulis Al Ikhwan, banyak dosen-dosen ilmu Syar’i di Al Azhar maupun Universitas-universitas Saudi, Qatar, dan lainnya.
[-] Komitmen kepada Syariat Islam. Sampai jabatanMursyid Aam Ikhwanul Muslimin dipegang oleh Syaikh Muhammad Mahdi Akib saat ini, belum pernah ada pernyataan Mursyid Aam Ikhwan yang melegitimasi aliran sesat, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
[-] Anti terhadap anasir-anasir asing (kafir) di dunia Islam. Ini sikap yang jelas dan banyak buktinya. Bahkan, sebenarnya jamaah Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Syaikh Al Banna di Mesir ialah untuk: Mengusir penjajah Inggris dari Mesir, dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Meskipun kemudian sikap pemimpin-pemimpin Ikhwan tidak sefrontal Al Banna dan Sayyid Quthb, tetapi perlawanan mereka terhadap penjajah asing tetap kuat. Buktinya ialah jihad di Palestina, Afghanistan, dan Irak saat ini.
Akhirnya, saya mengerti ucapan Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah yang disebutkan di bagian muka. Benar kata beliau, kalau hanya mengklaim saja mudah. Tetapi apakah suatu kaum telah memiliki kualitas seperti pihak yang diklaimnya? Nah, itulah pertanyaannya.

Silakan Anda renungkan sendiri baik-baik, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Wallahu A’lam bisshawaab.

Ada sebuah peristiwa menarik bertahun-tahun silam, menjelang Indonesia memasuki era Reformasi. Saya lupa waktunya, mungkin tahun 1996 atau 1997. Waktu itu di Masjid Al Manar Jl. Puter Bandung diadakan bedah buku Memoar Hasan Al Banna. Buku ini diterbitkan oleh Era Intermedia dari Solo. Hadir sebagai pembicara pimpinan Era Intermedia sendiri dan KH. Rahmat Abdullah.
Dalam sessi tanya-jawab, Ustadz Rahmat rahimahullah ditanya tentang eksistensi Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Singkat kata, adakah Ikhwanul Muslimin di Indonesia? Secara mengejutkan, beliau malah menjawab: “Wallahu A’lam, ada atau tidak.” Saya terus terang kecewa dan berburuk sangka kepada Ustadz Rahmat Abdullah ketika itu. “Masak sih, ada kader-kader Tarbiyah (IM) sedemikian banyak, kok dibilang wallahu A’lam?” begitu pertanyaan saya di hati.
Luar biasanya, jawaban Ustadz Rahmat Abdullah diulang kembali ketika beliau diwawancarai wartawan Suara Hidayatullah. Malah dalam wawancara itu beliau didesak-desak terus oleh sang wartawan untuk mengakui, bahwa Jamaah Tarbiyah di Indonesia, adalah representasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi berulang-ulang beliau tidak memberi jawaban tegas. Kesannya sama seperti dalam bedah buku di atas, jawaban sengaja ‘digantung’.
Alasan Ustadz Rahmat sangat menarik. Kata beliau, kurang-lebih, “Kalau kita mengaku bagian dari Ikhwanul Muslimin Mesir, apa memang kita ini sudah memiliki kualitas seperti mereka?” Bahkan, ketika beliau diberitahu bahwa Habib Husein Al Habsyi telah mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin Indonesia, beliau mengecam hal itu dengan sengit. “Kalau ada yang mengklaim, biar dia makan klaimnya,” kata Ustadz Rahmat tegas.
Saya semula menyangka, pernyataan Ustadz Rahmat itu adalah bagian dari diplomasi, atau katakanlah menjaga amniyah(kerahasiaan). Kalau diakui secara jujur, khawatir nanti komunitas Jamaah Tarbiyah atau Partai Keadilan (PK) ketika itu akan diberangus habis oleh kekuasaan. Ya, katakanlah pernyataan beliau hanya semata diplomasi belaka.
Namun jujur saja, ketika saya melihat sikap-sikap PKS dewasa ini, saya sangat ragu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Bagi yang menyimak perkembangan Al Ikhwan di Timur Tengah, pasti akan merasa ragu melihat sikap PKS selama ini. Benarkah partai ini representasi Al Ikhwan? Atau hanyangaku-ngaku saja? Kenyataannya, perbedaan sikap di antara mereka amatlah tajam.
Seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, Kamaluddin As Saraniri (saya yakin orang-orang PKS saat ini banyak yang tidak tahu tokoh ini). Beliau pernah diminta menandatangani surat yang isinya mengakui kepemimpinan Anwar Sadat dan meminta maaf kepadanya. Dengan sangat tegas beliau mengatakan, “Kalau sepatuku ini mau tunduk kepada Anwar Sadat, ia akan aku buang.” Atas sikap kerasnya itu beliau mendapat hukuman eksekusi di selnya sendiri. Bandingkan dengan sikap PKS yang sangat pro kekuasaan, siapapun yang memegang tampuk kekuasaan itu. PKS bukan saja pro kekuasaan, tetapi tidak malu-malu menampakkan diri dengan maneuver-manuver menggelikan.
Kemudian lihatlah sikap tegas Hamas kepada Israel. Biarpun tokoh-tokoh Hamas sudah banyak yang terbunuh oleh kezhaliman Israel, mereka tetap teguh dengan pendiriannya. Mereka tidak menginginkan, kecuali Israel keluar dari bumi Palestina. Hamas itu jelas-jelas sosok Ikhwanul Muslimin sejati. Jelas yang demikian ini sangat berbeda dengan PKS di Indonesia.
Bahkan, sampai saat ini Ikhwanul Muslimin masih menyertai gerakan jihad fisik di Iraq dan Afghanistan, selain di Palestina tentunya. Selain pemuda-pemuda Saudi, banyak pemuda Al Ikhwan berjuang di Irak mengusir penjajah. Berbeda dengan PKS yang kemarin itu “berjihad” dengan mengumpulkan sedekah untuk membantu korban bencana kemanusiaan di Ghaza. Tifatul Sembiring secara jelas mengatakan di media-media, mereka tidak berkepentingan dengan jihad fisik, tetapi lebih ke soal charity untuk membantu korban peperangan di Ghaza.
Di Turki pun, kader-kader Al Ikhwan memiliki sikap yang militan. Baik Refah, Najamuddin Erbakan, maupun Erdogan, mereka tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas dalam pendirian politiknya. Seperti Erdogan yang mengecam keras Shimon Perez dalam pertemuan di Davos yang menghebohkan dunia itu. Tipikal tegasnya Al Ikhwan ada disana.
Malah sampai saat ini, penangkapan kader-kader Al Ikhwan di Mesir tidak pernah berakhir. Ia terus terjadi. Termasuk beberapa puluh pemuda Al Ikhwan yang ditangkap Pemerintah Mesir karena mau menyebrang ke Ghaza. Ingat lho, ini peristiwa aktual, baru beberapa bulan lalu saat Tragedi Ghaza meletus. Ini bukan peristiwa di jaman Syaikh Al Banna atau Syaikh Sayyid Quthb rahimahumallah di masa lalu.
Parameter lain. Tidak ada tokoh-tokoh PKS yang menjadi para alim, ahli ilmiah Islam yang mumpuni. Padahal, Al Ikhwan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang terkenal. Tokoh-tokoh seperti Said Ramadhan Al Buthi, Thaha Jabir Al Ulwani, Abdullah Nashih Ulwan, Jasim Al Muhalhil, dll. sangat banyak. Kalau di Palestina memang jarang melahirkan tokoh-tokoh ahli ilmu, tetapi dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah  lainnya, banyak lahir ilmuwan Islam.
Padahal kalau mau jujur, beberapa elit PKS adalah doktor-doktor di bidang ilmiah Islam. Mengapa ilmunya yang sudah puluhan tahun dikejar seperti tidak dipakai? Masak ilmu sebanyak itu hanya dipakai sebagai “roket” pendorong kepentingan politik? Termasuk para ustadz yang bergelar Lc, alumni Saudi maupun LIPIA. Masak semuanya tumplek blek untuk urusan politik semua? Aneh bin ajaib.
Begitu pula, jamaah Al Ikhwan terkenal dengan tradisi menghafal Al Qur’an di kalangan mereka. Konon, mahasiswa-mahasiswa Kedokteran di Mesir, rata-rata sudah hafizh Al Qur’an. Menurut seorang kenalan baik di Jakarta, budaya Al Qur’an di Mesir itu sangat kuat. Sampai para satpam pun, saat-saat senggang mereka membaca Al Qur’an.
Tapi kalau melihat komunitas PKS saat ini, apakah mereka benar-benar menghidupkan Al Qur’an dengan membaca, menghafal, dan mentadabburinya? Saya tidak yakin hal itu. Sebab, seperti yang disebutkan Sayyid Quthb, buah dari interaksi yang intens dengan Al Qur’an akan melahirkan banyak barakah. Sedangkan kalau melihat sikap-sikap politik PKS akhir-akhir ini, bagian mana yang disebut barakahnya?
Semua ini menunjukkan, bahwa ada yang salah dari partai ini kalau mengaitkan diri dengan Al Ikhwan. Dan ada hal-hal lain yang bisa digali sebagai parameter pelengkap.
Lalu karakter Ikhwanul Muslimin sendiri seperti apa?
Setahu saya, wallahu A’lam bisshawaab, mereka memiliki karakter sebagai berikut:
[-] Minat kepada kajian ilmiah Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya lahir penulis-penulis Al Ikhwan, banyak dosen-dosen ilmu Syar’i di Al Azhar maupun Universitas-universitas Saudi, Qatar, dan lainnya.
[-] Komitmen kepada Syariat Islam. Sampai jabatanMursyid Aam Ikhwanul Muslimin dipegang oleh Syaikh Muhammad Mahdi Akib saat ini, belum pernah ada pernyataan Mursyid Aam Ikhwan yang melegitimasi aliran sesat, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
[-] Anti terhadap anasir-anasir asing (kafir) di dunia Islam. Ini sikap yang jelas dan banyak buktinya. Bahkan, sebenarnya jamaah Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Syaikh Al Banna di Mesir ialah untuk: Mengusir penjajah Inggris dari Mesir, dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Meskipun kemudian sikap pemimpin-pemimpin Ikhwan tidak sefrontal Al Banna dan Sayyid Quthb, tetapi perlawanan mereka terhadap penjajah asing tetap kuat. Buktinya ialah jihad di Palestina, Afghanistan, dan Irak saat ini.
Akhirnya, saya mengerti ucapan Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullahyang disebutkan di bagian muka. Benar kata beliau, kalau hanya mengklaim saja mudah. Tetapi apakah suatu kaum telah memiliki kualitas seperti pihak yang diklaimnya? Nah, itulah pertanyaannya.
Silakan Anda renungkan sendiri baik-baik, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Wallahu A’lam bisshawaab.
- See more at: http://tarbiyahbukanpks.com/antara-pks-dan-ikhwanul-muslimin/#sthash.qPceHa3O.dpuf
Share this article :

2 comments:

  1. Penuh dengan kebencian. Apakah iya atau tidak??

    Apakah kuat interaksi dgn al-Quran? apakah Hafidz? Apkah tidak mau berjuan dgn Fisik? Itu semau bukan urusan antum. Itu semau akan dipertanggung jawabkan dgn Allah. Kita hanya ingin menjawab di hadapan Allah bahwa kita pernah berjuang. Allahu Alam.

    ReplyDelete

 
Support : Al-Mustaqbal.Net | Jamaah Tarbiyah | Ansar Mujahideen
Copyright © 2013. Catatan Anak Mushola Di Pontianak - All Rights Reserved
Saya hanya berusaha menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi
dengan kapasitas ilmu yang saya miliki