“Bekerjasamalah kamu dalam hal kebaikan dan taqwa, dan jangan sekali-kali bekerjasama dalam hal dosa dan permusuhan.” (Al-Maaidah:2)
Manakala
para pemimpin menjalankan perintah Al-Qur’an agar mereka menunaikan
amanah dan menegakkan keadilan secara konsisten, maka niscaya akan
terwujud harmoni antara politik Keadilan dengan kepemimpinan yang benar.
[
1]
Amanah, menurut Ibnu Taimiyah, ada dua macam, yakni:
Pertama, menempatkan seseorang dalam posisi atau jabatan tertentu berdasarkan kompetensi, bukan berdasar
like and dislike (pilih kasih), atau karena kolusi, nepotisme, atau kroniisme, juga bukan berdasar ambisi atau obsesi.
Kedua, mengelola harta, mulai dari penerimaannya hingga pengeluarannya, secara transparan,
auditable, accountable, serta dapat dipertanggungjawabkan secara
syar’i dan konstitusi; juga jauh dari perilaku koruptif, manipulatif dan hedonis. [
2]
Sumber Kekuasaan ada pada Umat
Qiyadah
adalah pemegang kekuasaan dalam sebuah institusi, dalam kedudukannya
sebagai pemimpin bukan sebagai pribadi, selama umat tetap menempatkan
dirinya pada jabatan tertinggi ini. Jabatan ini dimaksudkan agar ia
dapat mengatur umat dengan hukum Allah dan syari'at-Nya serta
membimbingnya ke jalan kemashlahatan dan kebaikan, mengurus
kepentingannya secara jujur dan adil dan memimpinnya ke arah kehidupan
mulia dan terhormat.
Sekali pun demikian, seorang qiyadah tetap
merupakan salah seorang dari warga itu sendiri, tetapi ia dipercayai
untuk mengatur urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, ia merupakan
orang yang paling banyak tanggung jawab dan bebannya. Meskipun begitu,
ia tidak dapat dengan semena-mena memerintah orang lain dan beranggapan
tak ada lagi kekuasaan yang melebihi dirinya serta merasa sebagai sumber
kekuasaan dan kekuatan.
Allah Swt telah berfirman kepada Rasul-Nya:
"Berilah peringatan! Engkau sebenarnya hanya seorang pemberi peringatan. Engkau sama sekali bukan penguasa atas diri mereka." (Al-Ghasyiyah: 21-22)
"Kami
lebih mengetahui perkataan mereka dan engkau sama sekali bukanlah
pemaksa terhadap mereka. Karena itu berilah peringatan dengan Al-Qur'an
terhadap orang yang takut kepada ancaman."( Qaf: 45)
Umar
bin Khathab pernah berkata kepada salah seorang Gubernurnya, Abu Musa
Al-Asy'ari, "Wahai Abu Musa, engkau seperti halnya orang-orang lain.
Akan tetapi Allah menjadikan engkau memperoleh beban lebih berat."
Umar
seorang yang oleh umat terkadang dirasakan bersikap sangat keras dan
ketat dalam kebenaran, berkata kepada orang banyak: "Demi Allah, aku
sama sekali bukanlah seorang raja, sehingga dengan kekuasaan dan
tiraninya memperbudak kalian. Aku sama seperti halnya salah seorang di
antara kalian. Kedudukanku terhadap kalian adalah seperti kedudukan
seorang wali anak yatim yang memelihara diri dan hartanya."
Kalau khalifah, sebagai pemimpin tertinggi negara bukan sumber kekuasaan, lalu siapakah yang menjadi sumber kekuasaan ini?
Sumber
kekuasaan adalah umat itu sendiri, bukan khalifah atau qiyadah. Karena
khalifah adalah wakil umat untuk menangani kepentingan agama dan dunia
selaras dengan syariat Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, kekuasaannya
bersumber pada umat. Jika khalifah atau qiyadah berbuat salah, umat
mempunyai hak untuk menasihati, meluruskan, dan mengoreksi, bahkan
mempunyai hak untuk memecat bila terdapat alasan sah untuk bertindak
demikian. Maka adalah logis kalau sumber kekuasaan tetap ada pada
pemberi mandat, bukan pada pemegang mandat.
Demikianlah pendapat
jumhur ahli Fikih dan ulama Fikih Siyasah dahulu maupun sekarang,
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab Khalaf: "Kepemimpinan
tertinggi statusnya di dalam pemerintahan Islam sama dengan kepemimpinan
tertinggi dalam suatu pemerintahan yang berundang-undang dasar. Karena
khalifah, kekuasaannya bersumber pada umat yang diwakili oleh lembaga
"Ahlul Halli wal Aqdi".
Kekuasaan ini berlanjut selama mendapat kepercayaan mereka dan
kemampuannya untuk menjalankan kepentingan umat. Karena itulah para
ulama Islam menetapkan bahwa umat punya hak memecat khalifah, bila ada
alasan-alasan yang sah. Bilamana pemecatan dapat menimbulkan fitnah,
maka boleh mengambil langkah untuk mempertimbangkan antara dua kerugian. [3
]
Demikianlah, bahkan ada yang mendasarkan umat sebagai sumber kekuasaan pada hadits sebagai berikut:
"Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan."
Atau seperti tersebut pada riwayat lain:
Hal ini berarti bahwa apabila umat bersepakat pada suatu pendapat,
berarti pendapat itu benar dan wajib dilaksanakan. Karena muncul dari
pihak yang menjadi sumber kekuasaan. Begitu juga, dalam soal ini
ada yang berdalil bahwa terdapat banyak ayat Al-Qur'an yang memuat titah
kepada kaum muslimin mengenai masalah-masalah umum. Hal ini
dimaksudkan untuk menyatakan bahwa, kaum muslimin adalah sumber
kekuasaan bagi para qiyadah dan juga sebagai pengawas terhadap para
qiyadah. Atau dengan kata lain, umat merupakan sumber kekuasaan dan
wewenang. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:
"Wahai
orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji janji kamu."
"Tolong-menolonglah kamu pada kebaikan dan takwa dan janganlah kamu
tolong- menolong dalam dosa dan permusuhan." "Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah penegak karena Allah, yaitu saksi-saksi yang adil. Dan
janganlah kebencian kepada suatu kaum menjadikan kamu durhaka, sehingga
berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena hal ini lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengawasi
perbuatan-perbuatan kamu." (Al-Maidah:1, 2, dan 8)
Ayat-ayat
semacam ini menunjukkan dengan jelas bahwa umatlah yang memikul
tanggung jawab menegakkan agama, syariat Ilahi dan memelihara
kemashlahatan umum. Hal ini berarti bahwa umat menjadi sumber kekuasaan
tertinggi negara dan mengawasinya serta mengawasi para pejabat negara.
Dengan
demikian, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Utsman Khalil, bahwa Fikih
Islam tidak menganggap pemimpin sebagai sumber kekuasaan, tetapi sumber
kekuasaan ini di tangan umat itu sendiri yang dijalankan oleh pemimpin
(qiyadah) dalam statusnya sebagai pemegang mandat atau pelayan. Karena
itu, umat dapat memecatnya, bila terdapat alasan-alasan sah untuk itu.
Secara
keseluruhan berarti "umat sebagai sumber kekuasaan" dan hubungan antara
umat dengan qiyadah adalah "kontrak politik", yang oleh kaum muslimin
dinamakan "
Mubaya'ah" (Bai’at). "Mubaya'ah" ini merupakan sesuatu
yang hakiki, bukan bersifat simbol. Demikianlah pengertian kekuasaan
yang benar pada masa modern ini.
Sekedar perbandingan, di dalam
demokrasi sekular pun teori semacam ini, yaitu "kontrak politik" juga
berkembang, yang kini mencapai fase paling modern, yaitu teori Jean
Jacques Rousseau (1712-1778), yang merupakan teori paling baik dibanding
dengan teori-teori lain masa lalu, terutama teori dua filsuf Inggris
yang terkenal Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).
Jadi, kekuasaan itu adalah hak umat yang dilimpahkan kepada
Ulil Amri sebagai pihak yang wajib ditaati berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur'an, atau yang dalam istilah ahli fikih disebut "
Ahlul Aqdi wal Halli". Oleh karena itu, siapakah sebenarnya golongan ini?
Allah Swt berfirman:
"Wahai
orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya
serta Ulil Amri di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu,
maka kembalikanlah urusan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu adalah lebih
baik dan langkah yang lebih tepat." (An-Nisa’:59)
Imam Al-Mawardi berpendapat, Ulil Amri adalah sekumpulan orang yang adil, berilmu, berwawasan dan bersikap bijak. [5
]
Syaikh
Rasyid Ridha menyatakan: "Pengertian Ulil Amri diperselisihkan oleh
para ulama. Sebagian berpendapat, mereka adalah para amir, dengan syarat
tidak menyuruh berbuat yang haram. Sedangkan ayat di atas bersifat
umum. Mereka membuat batasan pengertian semacam itu berdasarkan pada
dalil-dalil lain, seperti hadits:
"Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk bila melakukan kedurhakaan kepada Al-Khaliq."
"Ketaatan hanya pada hal-hal yang baik."
Sebagian
lagi berpendapat, yang dimaksud adalah ulama. Akan tetapi para ulama
ternyata berselisih. Lalu siapakah yang ditaati dan siapa yang
ditinggalkan bila terjadi perbedaan-perbedaan penetapan hukum yang tidak
terdapat nashnya secara tegas di dalam Kitabullah dan sunnah Rasul.
Sedangkan
Syaikh Muhammad Abduh mengatakan: "Pandangan mengenai masalah ini sudah
ada sejak dahulu kala, tetapi kemudian berakhir pada pengertian "
Ahlul Halli wal Aqdi"
dari kalangan umat Islam. Yang dimaksud ialah para amir, penguasa,
ulama, komandan tentara dan semua para pemimpin yang menjadi tempat umat
untuk meminta pertimbangan memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama.
Bila orang-orang ini sepakat menetapkan suatu hal atau hukum, maka
mereka wajib ditaati di dalam hal tersebut, dengan syarat mereka itu
dari golongan kita sendiri dan keputusannya tidak bertentangan dengan
perintah Allah dan sunnah Rasulullah saw serta menyangkut kemashlahatan
bersama, di mana Ulil Amri mempunyai wewenang untuk hal itu.
Adapun masalah-masalah ibadah dan segala yang menyangkut akidah agama, maka tak ada hubungannya dengan ketetapan
Ahlul Halli wal Aqdi.
Bahkan diambil langsung dari Allah dan Rasul-Nya semata-mata serta
tidak seorang pun mempunyai hak untuk merumuskan pendapatnya kecuali
sekedar pemahaman.
Jadi,
Ahlul Halli wal Aqdi adalah dari
kalangan orang-orang mukmin. Bila mereka menyepakati sesuatu hal yang
menyangkut kepentingan umat yang tidak ada nashnya, maka mereka
mempunyai hak untuk memilih, tanpa boleh dipaksa oleh kekuasaan
seseorang atau pengaruh kekuasaannya. Maka mentaati "Ulil Amri" semacam
ini adalah wajib. Oleh karena itu, perintah taat kepada mereka diberikan
dalam bentuk umum, tanpa sesuatu syarat, dengan catatan sesuai dengan
pengertian yang dimaksud oleh ayat tersebut. Sebagai contoh adalah
lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Umar melalui musyawarah dengan
tokoh-tokoh sahabat ahli pikir dan pembentukan lain-lain kepentingan
yang dilakukan oleh "Ulil Amri" di kalangan sahabat yang sebelumnya
tidak ada pada zaman Nabi saw dan tidak seorang pun dari kalangan
sahabat menentang tindakan semacam itu. [6
]
Kedudukan Qiyadah dan Hubungannya dengan Umat
Qiyadah
atau imam hanyalah seseorang yang dipilih oleh umat untuk menjadi
mandataris dan menangani kepentingan serta kebutuhan umat. Karena itu
umat berkewajiban untuk menyampaikan nasihat bila dipandang perlu.
Bahkan ia wajib memberikan kontrol maupun bimbingan. Selain itu, ia
berhak memecatnya jika terdapat alasan-alasan yang sah, seperti halnya
berlaku dalam hubungan seseorang terhadap orang lain yang diberinya
mandat.
Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal adanya kedudukan
istimewa seorang qiyadah terhadap umatnya. Yaitu suatu kedudukan yang
membuatnya tidak memerlukan nasihat, bimbingan dan bebas dari
kewajiban-kewajiban tertentu yang berlaku kepada umatnya. Akan tetapi
setiap orang Islam dalam pandangan Islam punya kewajiban dan hak yang
sama. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
“Manusia itu semuanya sama seperti gigi seri.”
Qiyadah,
dalam pandangan Islam sama sekali tidak mempunyai sifat ketuhanan. Dia
bukanlah manusia "kudus" dan bebas dari dosa, juga tidak memiliki
wewenang tunggal untuk menjelaskan dan menafsirkan ketentuan-ketentuan
agama dan tidak pula mempunyai kekuasaan terhadap diri orang lain. Akan
tetapi ia hanyalah seseorang yang karena agamanya dan keadilannya
memperoleh kepercayaan umat untuk menangani dan mengurus kepentingan
mereka berdasarkan perintah dan syari'at Allah.
Di dalam hal ini
Syaikh Muhammad Abduh berkata: "Seorang Imam dalam pandangan Islam
bukanlah manusia "maksum" dan penerima wahyu serta sebagai orang yang
punya wewenang tunggal untuk menafsirkan Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah
saw. Di dalam Islam tidak ada yang dinamakan "kekuasaan keagamaan",
yang ada hanya "kekuasaan memberi nasihat", mengajak kepada kebaikan dan
memperingatkan agar menjauhi dosa. Kekuasaan semacam ini Allah berikan
kepada orang Islam paling awam, untuk menegur orang yang paling tinggi
kedudukannya sekalipun. Sebagaimana kekuasaan semacam ini diberikan
kepada orang Islam yang paling tinggi kedudukannya terhadap yang paling
awam. [7]
Oleh
sebab itu, Islam memandang qiyadah atau imam sama saja dengan
orang-orang lainnya. Yang membedakannya hanyalah karena kedudukannya
memerintah atas nama umat. Ia memperoleh kehormatan dan kemuliaan lebih
besar tetapi dengan tanggung jawab dan beban terberat di antara umat
Islam.
Karena itulah khalifah pertama ketika menerima jabatan khilafah menyampaikan pidatonya kepada umat Islam dengan kata-katanya:
"Aku
diangkat memerintah kalian, tetapi aku bukanlah orang yang terbaik di
antara kalian. Jika aku berbuat baik, tolonglah aku. Dan jika aku salah,
luruskanlah aku." Begitu juga Umar bin Khathab berpidato kepada kaum muslimin
:
"Bantulah aku dengan amar ma'ruf nahi munkar dan sampaikan nasihat
kepadaku di dalam menangani urusan-urusan kalian yang Allah bebankan
kepadaku." Sebagaimana halnya Umar mengatakan tentang dirinya dalam hubungan dengan penanganan harta kaum muslimin, katanya:
"Aku
dan harta kalian adalah laksana seorang wali anak yatim. Kalau aku
telah cukup, aku tidak akan mengambil harta itu. Tetapi kalau aku tidak
ada, maka aku akan mengambilnya sekedar memenuhi kebutuhan. [8]
Atas
dasar inilah seorang khalifah tidak melihat dirinya lebih dari yang
lain, atau kedudukannya lebih tinggi dari sesama warga umat. Ibnu Jauzi
meriwayatkan bahwa pernah Umar ditegur seseorang laki-laki yang berkata
kepadanya: “Takutlah kepada Allah, wahai Amirul Mukminin!” Kemudian ada
seseorang menyahut: “Berani-beraninya engkau berkata seperti itu kepada
Amirul Mukminin!” Lalu Umar berkata kepadanya: “Biarkanlah orang ini
menyampaikan kata-katanya kepadaku. Sungguh baik kata-katanya itu.
Tidak ada lagi kebaikan di tengah kalian kalau kalian tidak lagi
menyampaikan kata-kata seperti itu kepada kami. Dan tidak ada lagi
kebaikan pada diri kamu, jika kami tidak mau menerima kata-kata itu dari
kalian.” [9]
Dalam
penegakan hukum pidana dan "qishash" terhadap pelaku kejahatan, Islam
tidak membedakan antara penguasa, sekali pun seorang khalifah atau imam
dengan rakyat. Setiap orang di mata syari'at Allah dan Rasul-Nya adalah
sama.
Sebagai contoh, inilah kata-kata Amirul Mukminin Umar bin
Khathab yang sampai kini tetap bergaung: “Aku tidaklah mengangkat para
pemimpin buat menindas kalian, merusak kehormatan kalian atau pun
merampas harta kalian. Akan tetapi aku mengangkat mereka guna mengajari
kalian dengan Kitab Tuhan kalian dan sunnah Nabi kalian. Maka, jika ada
di antara mereka berlaku zhalim. hendaklah ia diadukan kepadaku, agar
aku dapat menjatuhkan "qishash'' kepadanya.” [10]
Amr
bin Ash ketika menjabat gubernur di Mesir, berkata: “Wahai Amirul
Mukminin, apakah anda akan menjatuhkan "qishash" kepada seorang amir
yang melakukan pemukulan kepada seseorang rakyatnya demi mendidiknya?”
Jawab Umar: “Mengapa aku tidak menjatuhkan "qishash" kepadanya,
sedangkan aku pernah melihat Rasulullah saw menjatuhkan "qishash" kepada
diri beliau sendiri.” [11]
Ibnu
Atsir meriwayatkan bahwa Nabi saw ketika di akhir masa sakitnya keluar
dari kamar Sayyidah Aisyah melewati Fadhal bin Abbas dan Ali bin Abi
Thalib sampai beliau tiba di mimbar lalu beliau duduk. Kemudian beliau
membaca "hamdalah" dan pujian kepada Allah, lalu mengucapkan shalawat
untuk sahabat-sahabat Uhud dan memintakan ampunan untuk mereka. Kemudian
sabdanya: “Wahai manusia! Barangsiapa pernah kupukul punggungnya, maka
inilah punggungku dan silahkan menuntut balas karenanya. Dan
barangsiapa pernah aku lukai kehormatannya, maka silahkan ia menuntut
balas terhadapku karenanya. Dan barangsiapa pernah kuambil hartanya,
maka inilah hartaku. Silahkan ia mengambilnya. Orang yang dendam
kepadaku tidaklah perlu takut, sebab aku bukanlah orang-orang pendendam.
Ketahuilah, bahwa orang yang paling cinta kepadaku di antara kalian
adalah orang yang bersedia mengambil haknya yang ada padaku, atau ia
menghalalkannya kepadaku, agar kelak aku bertemu dengan Tuhanku dengan
hati tenang.” Kemudian beliau turun dari mimbar, lalu shalat Dhuhur.
Lalu beliau naik ke mimbar dan mengulangi sabdanya semula. [12]
Demikianlah,
Rasulullah saw meminta untuk diqishash oleh orang-orang yang punya hak
untuk berbuat demikian atas diri beliau. Bagi kita, pribadi beliau
adalah teladan terbaik seperti tersebut di dalam Al-Qur'an. Begitu pula
yang pernah dilakukan oleh Abubakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, semua
khalifah, amir dan gubernur yang mengikuti teladan mereka yang baik.
Inilah yang diajarkan Islam, yaitu perlakuan sama di mata hukum atas
segenap warga umat.
Para tokoh madzhab Fikih yang terkenal pun
mengikuti prinsip ini dalam pendapatnya yaitu: kedudukan khalifah atau
imam yang tertinggi, tidaklah bebas atau kebal dari hukuman jika ia
melakukan tindak pidana, baik kejahatan atas jiwa atau pun harta benda.
Ia dijatuhi hukuman "qishash" sama seperti halnya warga umat yang lain. [13]
Ketaatan Kepada Qiyadah Tidak Absolut
Ketika
mewajibkan kepada umat agar menaati pemimpin, Islam tidak menjadikan
ketaatan ini bersifat absolut. Sebab, ketaatan yang absolut itu
mengakibatkan kekuasaan individualistis, tiranik dan diktator. Di
samping itu, ketaatan seperti itu akan merusak kepribadian dan karakter
umat, dan hal ini ditentang keras oleh Islam. Karenanya, Islam
mewajibkan ketaatan kepada pemimpin dalam batas-batas, ikatan dan
syarat-syarat yang telah ditentukan.
Muhammad Abduh berpendapat
bahwa, seorang imam atau qiyadah ditaati selama ia berpegang kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, sedangkan kaum muslimin melakukan
kontrol terhadapnya. Jika ia keliru, maka dia diluruskan. Dan jika ia
tersesat, ia diberi nasihat dan diberi peringatan. Karena tidak boleh
ada ketaatan kepada makhluk dalam perbuatan mendurhakai Allah. Akan
tetapi jika ia telah meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di
dalam tindakan-tindakannya, maka umat wajib menggantinya dengan orang
lain, selama usaha penggantiannya tidak menimbulkan bahaya lebih besar.
Umat atau wakilnya yang mengangkat qiyadah (
ahlul halli wal ‘aqdi), yang berhak melakukan pengawasan dan memecatnya bila dipandang perlu demi kemashlahatan. [14]
Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya:
Di
antara jawaban yang indah adalah perkataan sebagian tabi’in kepada
umara’ keturunan bani Umayyah, ketika dikatakan: “Bukankah Allah telah
memerintahkan kalian untuk menaati kami di dalam firman-Nya:
“… dan ulil amri di antara kalian?”
Tabi’in balas bertanya, “Bukankah ketaatan itu telah dicabut dari
kalian apabila kalian menyalahi kebenaran berdasar firman-Nya:
“…Apabila
kalian berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan rasul-Nya, jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah
dan Hari Akhir?” [16]
Ath-Thaibi berpendapat, “Diulangnya
fi’il dalam firman Allah:
“dan taatilah rasul-Nya” menunjuk pada kewajiban menaati Rasulullah secara tersendiri (tidak dihubungkan dengan Allah). Sedangkan tidak diulangnya
fi’il itu dalam menaati ulil amri menunjukkan, bahwa di antara mereka ada yang tidak wajib ditaati.
Kemudian hal ini diterangkan dengan firman-Nya:
“…Apabila kalian berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya…”
Di sini seolah dikatakan: Jika Ulil Amri tidak menjalankan kebenaran,
maka janganlah kalian menaati mereka, dan kembalikanlah apa yang kalian
perselisihkan kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.” [17]
Jadi,
berdasar nash-nash tersebut di atas, umat wajib menaati pemimpinnya
sebatas apabila mereka menerapkan syari’at Allah, menegakkan keadilan
secara konsekuen dan konsisten, tidak melakukan maksiat kepada Allah
serta tidak mengajak umat untuk bermaksiat kepada Allah Swt.
Pemakzulan Imam atau Qiyadah
Ketika
seorang imam atau qiyadah yang tidak lagi dapat memenuhi syarat yang
penting untuk menduduki jabatannya, seperti: tidak amanah dan tidak
mampu menegakkan keadilan, maka ia semestinya diganti oleh orang lain.
Tetapi untuk jabatan tertinggi dalam institusi Negara, tidaklah semudah
itu menyelesaikannya. Sebab hal semacam itu dapat menimbulkan banyak
fitnah terhadap umat, dan dapat merusak persatuan umat. Sesuai dengan
kaidah ushul Fikih: "Bahwa bahaya yang lebih besar wajib dihilangkan
dengan resiko yang sekecil-kecilnya”. Sehingga dalam hal ini patut
dipertimbangkan mana resiko yang lebih kecil untuk ditempuh, guna
menyelesaikan persoalannya.
Sebelum memecahkan permasalahan ini,
kita harus lebih dahulu memperoleh kejelasan masalah dan mencari
solusinya sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. Kita harus
selalu ingat bahwa Al-Qur'an mewajibkan taat kepada "Ulil Amri" atau
imam. Rasulullah pun menegaskan, menjelaskan dan menyatakan seberapa
jauh kewajiban umat untuk tetap taat kepada imam dan bersabar dalam
menghadapi kebijakan qiyadah yang tidak menyenangkan umat. Banyak
hadits menerangkan hal semacam itu. Namun di sini akan dikemukakan
beberapa saja, diantaranya:
“Barangsiapa
melihat sesuatu yang tidak disukainya dari seorang pemimpin, maka
bersabarlah; karena barangsiapa yang membelot dari jama’ah sejengkal
saja kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [17]
“Mendengar
dan menaati (pemimpin) adalah wajib bagi seorang muslim, dalam hal yang
ia sukai maupun yang tidak disukai, selama ia tidak diperintah dalam
konteks maksiat. Apabila diperintah dalam konteks kemaksiatan, maka
tidak wajib mendengar atau menaati.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi) [18]
“Barangsiapa
melanggar janji setianya kepada Imam dan mati dalam keadaan demikian,
maka pada Hari Kiamat ia akan menemui Allah tanpa mempunyai hujjah
(argumentasi).” (HR. Ahmad) [19]
“Wajiblah
engkau mendengar dan taat, dalam keadaan engkau sulit maupun mudah,
dalam keadaan kau senang maupun terpaksa, dan engkau mengutamakan lebih
dari dirimu.” (HR. Muslim) [20]
Disebutkan, bahwa Ubadah bin Shamit berkata: "Nabi
saw mengundang kami, lalu kami membaiat beliau untuk mendengar dan
menaatinya, baik ketika kami senang maupun terpaksa, ketika kami dalam
kesulitan atau pun kemudahan, dan kami mengutamakan beliau lebih dari
kami. Kami tidak boleh menentang perintah yang dikeluarkan oleh yang
berwenang, kecuali bila “kalian melihat kekufuran yang nyata, dan ada
bukti-bukti dari Kitabullah yang dapat kalian pegang.” (HR. Bukhari) [21]
Kita
wajib memahami dan meneliti hadits-hadits tersebut dengan seksama,
sehingga kita dapat menangkap makna yang semestinya, sebagaimana patut
juga kita pertimbangkan hal-hal di bawah ini:
a. Kewajiban menjaga persatuan umat, menjauhi fitnah dan kekacauan, kecuali kalau keadaan sudah sangat memaksa.
b. Resiko yang lebih kecil wajib ditempuh untuk menghindari timbulnya bahaya yang lebih besar.
c.
Pemberontakan terhadap khalifah Utsman dan penolakan beliau terhadap
tuntutan para pemberontak untuk mengundurkan diri dari jabatan khilafah,
kemudian tindakan orang-orang yang ingin menolong beliau dari usaha
pembunuhan.
d. Beberapa sahabat yang menjauhkan diri dari kemelut peperangan antara Sayyidina Ali dan Mu'awiyah.
e.
Sayyidina Husain keluar dari ketaatan kepada Yazid bin Mu'awiyah,
khalifah kedua Bani Ummaiyyah. Kemudian disusul oleh Abdullah bin
Zubair.
Hal-hal semacam ini, dan terutama sekali
kejadian-kejadian sejarah masa lalu yang kita kenal dan kita ketahui,
merupakan "rambu-rambu" dan petunjuk kepada kita dalam melakukan kajian
yang benar. Oleh karena itu, kita wajib memahami, memperhatikan dan
mengambil hikmah terhadap peristiwa-peristiwa yang kita ketahui.
Selanjutnya,
jika Al-Qur'an mewajibkan taat kepada "Ulil Amri" dan Rasulullah
menyuruh mentaati mereka selama tidak menyuruh berbuat dosa, serta
menyuruh bersabar dan tidak melawan mereka, kecuali mereka berbuat kufur
dengan terang-terangan; jika semacam ini keadaannya, maka kita harus
memperhatikan secara cermat dan seksama, sehingga di dalam hal ini tidak
ada seorang pun atau sekelompok orang yang berwenang untuk mengambil
keputusan, bahwa khalifah atau qiyadah sesungguhnya telah durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam salah satu tindakannya, sehingga dia
tidak lagi wajib ditaati. Atau dengan kata lain, qiyadah telah
melakukan kekufuran yang nyata, sehingga ia berhak untuk dilawan dan
mengajak orang lain menarik diri dari menaatinya.
Persoalan ini
telah dibicarakan oleh ulama-ulama Fiqih Siyasah. Juga dibicarakan oleh
ulama-ulama ilmu Kalam. Di sini akan penulis ketengahkan pandangan Imam
Mawardi ketika ia membicarakan persoalan pertama, yaitu apa syarat
seorang imam dapat dipecat atau dimakzulkan, dan umat boleh keluar dari
kepemimpinannya. [22]
Apabila
imam telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap umat seperti
telah kita sebutkan di atas, maka berarti ia telah melaksanakan
kewajiban terhadap umat dan hak Allah yang telah diberikan kepada
mereka. Oleh sebab itu, umat mempunyai dua kewajiban terhadap imam; taat
dan membelanya, selama imam tidak berbuat melanggar. Pelanggaran imam
yang dapat dijadikan alasan ia kehilangan hak imamah ada dua, yaitu
tidak menegakkan keadilan dan mengalami cacat fisik.
Adapun
perbuatan-perbuatan yang dikategorikan "tidak menegakkan keadilan" yaitu
berbuat fasik. Hal ini dapat dibagi dua, yaitu mengikuti hawa nafsunya
dan yang kedua, menyangkut hal yang "syubhat". Adapun yang berkaitan
dengan jenis pertama yaitu melakukan perbuatan-perbuatan yang jelas
terlarang dan berani melanggar yang munkar, karena menurutkan syahwat
dan hawa nafsu. Perbuatan semacam ini adalah fasik, sehingga yang
bersangkutan kehilangan wewenang keimamahan dan dilarang melanjutkan
kepemimpinannya.
Qiyadah yang telah kehilangan wewenang
keimamahannya, berarti telah lepas dari jabatannya. Dan sekiranya ia
tidak bertaubat dari kefasikannya, maka tidak dengan otomatis
keimamahannya kembali kepadanya, sebelum ada baiat baru. Akan tetapi
menurut sebagian ulama ilmu Kalam keimamahannya otomatis kembali, tanpa
perlu akad dan baiat baru bila ia taubat dari kefasikannya. Alasannya,
karena mengadakan baiat baru sulit, dan adanya sifat umum pada
pengertian kepemimpinan.
Adapun jenis kedua bertalian dengan
akidah yang tak dapat ditafsirkan dengan cara-cara yang samar. Karena,
jika diadakan penafsiran terhadap masalah akidah yang jelas, menyalahi
kebenaran. Para ulama berpendapat, jika qiyadah melanggar hal semacam
ini, maka ia dapat dilepas dan kehilangan hak meneruskan kepemimpinannya
serta ia turun dari jabatannya. Karena, bila ia terbukti melakukan
kekufuran, baik yang masih diperselisihkan atau pun sudah jelas, harus
dipandang sama dengan berlaku fasik, baik yang masih diperselisihkan
atau pun sudah jelas.
Selanjutnya, Mawardi dengan panjang lebar
membahas syarat kedua yang dapat menyebabkan pemimpin turun dari
jabatannya, yaitu karena cacat fisik. Cacat fisik ini boleh jadi akan
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak.
Hal yang terakhir itu
bisa karena yang bersangkutan dikuasai, dibisiki oleh orang-orang di
sekelilingnya hingga tidak dapat menangani tugasnya dengan mandiri dan
objektif, sehingga dalam mengatur kebijaksanaan dan pengendalian umat,
menyimpang dari keadilan dan hukum "syara'". Begitu pula kalau ia di
bawah tekanan orang lain, seperti terikat oleh “perjanjian bawah
tangan”, atau menjadi sandera pihak lawan, tanpa sanggup melepaskan
diri dari mereka, baik musuhnya muslim maupun non-muslim.
Demikianlah,
bila imam Mawardi membicarakan masalah pertama secara rinci, kapan imam
kehilangan hak keimamahannya, akan tetapi dia sama sekali diam terhadap
masalah kedua, yaitu kapan seharusnya umat berlaku sabar, dan kapan
boleh melawannya dengan kekerasan, bila imam telah terbukti dia berhak
untuk dipecat.
Dalam masalah ini kita akan mulai dengan
pembicaraan bahwa para ulama, baik ahli Fikih maupun ahli Kalam dan
lain-lain sepakat, bahwa imam yang karena sesuatu sebab patut untuk
dipecat, maka ia harus dipecat, jika pelaksanaannya memungkinkan.
Pendapat semacam ini setahu penulis tak ada yang menyanggah.
Bahkan
dari pendapat-pendapat mereka yang kuat di dalam tulisan mereka tentang
imamah menyatakan, bahwa orang yang berhasil merebut kedudukan khilafah
dari khalifah yang berkuasa dipandang sah dan ia wajib diakui. Selain
itu, ia wajib ditaati secara hukum, kalau ia memenuhi syarat-syarat
sebagai imam. Tetapi jika ternyata tidak memenuhi syarat-syaratnya,
maka ia wajib ditaati sampai terpilihnya orang yang memenuhi syarat
sebagai imam.
Jika semua ulama di dalam masalah ini bersepakat,
namun mereka ternyata berselisih di dalam hal kewajiban berlaku sabar,
menasihati dan meluruskan khalifah yang telah patut dipecat atau
kewajiban menentangnya dengan kekuatan dan menggantinya dengan orang
lain.
Menurut pendapat penulis, perselisihan di dalam masalah
yang sangat penting ini, jika kita lakukan kajian pada nash dan
fakta-fakta, maka hal ini timbul karena tiga sebab:
1. Adanya
hadits-hadits Rasulullah yang menyuruh bersabar dan tidak membenarkan
melawan para imam, sebelum mereka terbukti melakukan kekafiran
terang-terangan.
2. Peristiwa-peristiwa sejarah pada masa Sahabat
dan Tabi'in, yang ternyata dapat kita lihat bahwa terdapat beberapa
Sahabat yang menentang sebagian khalifah Bani Ummaiyyah, karena mereka
pandang melakukan kefasikan dan kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya
didalam sikap dan perilakunya.
3. Begitu juga di dalam
peristiwa-peristiwa sejarah tersebut kita melihat banyak Sahabat dan
Tabi'in yang tidak mau menentang para imam semacam itu, tetapi mereka
menjauhkan diri dari fitnah dan tidak mau membantu kaum penentang.
Demikianlah,
sebab-sebab yang menjadikan ulama dan ahli Fikih berselisih pendapat
di dalam masalah ini. Sebagian membenarkan perlawanan, tetapi sebagian
lagi mengharuskan bersabar. Tokoh yang berpendapat boleh menentang dan
melawan khalifah dengan kekerasan jika ia menyimpang, adalah golongan
Khawarij, Mu'tazilah dan Zaidiyyah. Sedangkan jumhur ahli hadits
mengharuskan bersabar.
Imam Abul Hasan Al Asy'ari dalam masalah
ini menyatakan: “Para ulama terbagi dalam empat pendapat mengenai
perlawanan dengan senjata terhadap khalifah yang telah menyimpang.
Golongan Mu'tazilah, Zaidiyyah, Khawarij dan mayoritas Murji'ah
menyatakan wajib, jika kita dapat menyingkirkan penguasa durhaka dan
menegakkan kebenaran dengan pedang (senjata).”
Mereka beralasan dengan firman Allah berikut:
“Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa.” (Al-Maaidah:2)
“Maka perangilah orang-orang yang durhaka sampai mereka kembali kepada agama Allah.” (Al-Hujurat:9)
“Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zhalim.” (Al-Baqarah:124)
Abubakar
Al-Asham (seorang Mu'tazili) dan orang-orang yang sepaham dengannya
berkata: "Menyingkirkan imam yang durhaka dengan kekuatan bersenjata itu
wajib, bila telah ditemukan imam yang adil sebagai penggantinya."
Akan
tetapi beberapa ulama berpendapat: “Mengangkat senjata terhadap imam
tidak sah. Sebab imam itu adakalanya adil dan adakalanya tidak adil.
Kita tidak punya hak untuk memecatnya, sekali pun ia fasik. Mereka
menolak gerakan melawan Imam dan tidak membenarkannya. Pendapat ini
dikemukakan oleh ahli-ahli hadits.” [23]
Asy'ari
menyebutkan pada tulisan-tulisannya yang lain, bahwa seluruh golongan
Zaidiyyah berpendapat, boleh mengangkat senjata terhadap para imam yang
durhaka, untuk menghilangkan perbuatan zhalim dan menegakkan kebenaran.
Mereka juga berpendapat, bahwa shalat di belakang orang yang durhaka
tidak sah. Dan hanya shalat di belakang orang yang tidak fasiklah yang
sah. [24]
Masalah
ini dibahas oleh Ibnu Hazm ketika membicarakan “amr ma'ruf nahi
munkar”. Ia dengan panjang lebar menjelaskan pendapatnya yang
mengatakan: wajib menentang imam yang menyimpang. Bahkan orang yang
bersikap sabar terhadap imam semacam ini telah berbuat dosa, dan dinilai
sama dengan membantu kezhalimannya. Begitu juga beliau mengulas
hadits-hadits yang memerintahkan bersabar terhadap imam yang dzalim. [25]
Pertama, ia menyebutkan, bahwa telah menjadi “
ijma’”,
bila umat wajib melakukan “amar ma'ruf nahi munkar”. Tetapi bagaimana
caranya melaksanakan kewajiban ini, para ulama berbeda pendapat. Para
sahabat dahulu dan orang-orang yang datang kemudian dari kalangan Ahlus
Sunnah, seperti Ahmad bin Hambal, Sa'ad bin Abi Waqash, Usamah bin Zaid,
Ibnu Umar, Muhammad bin Maslamah dan lain-lain berpendapat, pada
dasarnya tidak dibenarkan dengan cara kekuatan atau dengan cara
menghunus pedang. Sunnah di dalam hal ini mengikuti jejak Utsman bin
Affan dan kalangan sahabat yang tidak membenarkan penggunaan kekerasan.
Tetapi
segolongan kecil Ahlus Sunnah, seluruh Mu'tazilah, Khawarij, dan
Zaidiyyah menyatakan wajib menggunakan pedang di dalam melakukan "amar
ma'ruf nahi munkar", bila tak ada jalan lain. Mereka berkata: “Bila
penegak kebenaran dapat melakukan serangan dan diperhitungkan tidak
akan kalah, maka mereka diwajibkan bertindak demikian. Tetapi jika
jumlah mereka kecil dan diperhitungkan tidak akan menang, maka
dibenarkan untuk tidak menggunakan kekerasan.”
Pendapat ini juga
dikemukakan Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang menjadi pendukung
beliau. Juga pendapat Aisyah, Thalhah, Zubair, dan para sahabat yang
menjadi pendukungnya, Mu'awiyah, Amr bin Ash, Nu'man bin Basyir dan para
sahabat yang menjadi pendukung mereka.
Begitu pula pendapat golongan
yang telah melakukan perlawanan terhadap khalifah Bani Ummaiyyah dan
Abbasiyyah dan semua golongan yang mendukung mereka untuk menggunakan
kekerasan melawan khalifah yang durhaka. Misalnya, Imam Husain bin Ali
yang melawan Yazid bin Mu'awiyah dan Abdullah bin Zubair yang
memberontak Abdul Malik bin Marwan.
Selanjutnya, Ibnu Hazm
mengakhiri keterangannya dengan pendapat dari orang-orang yang
menyatakan sebagai berikut: Sebagaimana ditunjukkan oleh
pendapat-pendapat ahli Fikih, seperti; Abu Hanifah, Syuraik, Malik,
Syafi'i, Dawud bin Ali Al-Asfahani [26]
dan para murid mereka, bahwa masing-masing pihak yang kami sebutkan,
baik dari golongan lama maupun baru, apakah mereka nyatakan dengan fatwa
atau dengan kekuatan bersenjata, sepakat melawan perbuatan yang mereka
pandang sebagai munkar.
Ibnu Hazm tidak puas sekedar
mengetengahkan kedua kelompok yang saling berbeda pendapat dan kelompok
yang membenarkan memberontak. Tetapi ia lebih jauh melakukan ulasan
terhadap pandangan kedua kelompok sebagai berikut:
Golongan tersebut ini, pertama berdalil dengan hadits-hadits, antara lain:
"Wahai Rasulullah, apakah kami bolehi memerangi mereka (para imam)?"
Jawabnya: “tidak, selama mereka shalat.”
“...kecuali kalau kamu melihat kekufuran yang jelas, yang kamu mempunyai bukti-bukti dari Kitabullah.”
“Jadilah hamba Allah yang terbunuh, jangan menjadi hamba Allah yang pembunuh.”
“Jika
kamu khawatir kilatan pedang membinasakan kamu, maka tutupkanlah bajumu
pada wajahmu dan katakanlah aku ingin karena dosaku dan dosamu engkau
menyediakan tempat kembali, sehingga kamu menjadi ahli neraka.”
Selanjutnya,
ia menjelaskan bahwa golongan tersebut tidak memiliki dalil yang kuat
sebagai dasar pendapat-pendapatnya. Karena Rasulullah saw tidak mungkin
menyuruh bersabar menghadapi perbuatan yang merugikan itu menimpa harta
atau diri seorang muslim. Begitu juga suatu hal yang mustahil sabda
beliau bertentangan dengan firman Allah. Padahal Allah berfirman pada
QS. 5 : 2:
“Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Bila
permasalahannya jelas seperti ini, yaitu setiap muslim yang mengetahui
bahwa mengambil harta seorang muslim dengan cara dosa dan permusuhan
tidak benar, maka perbuatan-perbuatan tersebut haram dan orang yang
melakukannya wajib dilawan. Kalau begitu, seseorang yang diambil
hartanya secara zhalim atau dipukul dirinya secara zhalim, padahal dia
mampu melawannya dengan cara apa pun yang mungkin, tetapi tidak melawan,
berarti ia menolong pelaku kezhaliman dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Sikap semacam ini adalah haram berdasarkan nash Al-Qur'an
dan sunnah Rasulullah.
Rasulullah saw telah bersabda:
“Barangsiapa
di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan
tangannya. Jika ia tidak sanggup, dengan lisannya, jika ia tidak
sanggup, dengan hatinya. Dan hal semacam ini adalah iman yang paling
lemah.”
”Tidak ada ketaatan pada perbuatan dosa.”
“Barangsiapa
terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid. Dan orang yang
terbunuh karena membela agamanya, maka dia syahid. Dan orang yang
terbunuh karena melawan penganiayaan, adalah syahid.”
Dalam menyikapi dalil-dalil tersebut di atas yang “seolah saling bertentangan”, Ibnu Hazm ber pendapat:
“Hadits-hadits
tersebut pada zhahirnya bertentangan satu lama lain. Sehingga benarlah
jika dikatakan bahwa salah satu dari dua kelompok hadits tersebut
sebagai "
penasakh", tidak ada cara lain. Tetapi yang perlu
diperhatikan mana di antara dua kelompok hadits tersebut yang menjadi
penasakh. Hadits-hadits yang berisikan larangan berperang sejalan dengan
keadaan pokok ketika pertama kali Islam muncul di Makkah. Tetapi
hadits-hadits kelompok lain telah datang dengan syariat baru yaitu
perang. Dan hal ini tidak diragukan kebenarannya.
Hadits-hadits
tersebut maknanya sah, tetapi ketika Nabi menyabdakan hadits-hadits
yang lain, tidak diragukan lagi, maka hukum hadits-hadits yang pertama
terhapus. Adalah suatu hal yang mustahil menggunakan ketentuan yang "
mansukh"
dan meninggalkan keyakinan. Barangsiapa yang beranggapan bahwa
hadits-hadits yang telah menjadi penasakh bisa berubah menjadi yang
dimansukh, berarti anggapannya batil, mengikuti sesuatu tanpa ilmu dan
melakukan kebodohan atas nama agama serta berbuat tidak halal.
Sekiranya hal semacam ini benar, niscaya Allah memberikan dalil dan keterangan yang menjelaskan kebenaran pemakaian "
mansukh" menjadi "
nasikh". Karena dalam firman-Nya: QS. 16:89 dinyatakan:
“...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu....”
Dalil lain yaitu firman Allah QS. 49:9 yang menyatakan: Tak seorang muslim pun memperselisihkan
ayat yang mewajibkan memerangi kelompok yang zhalim sebagai ayat
"muhkamat" yang tak dapat dimansukhkan. Maka jelaslah bahwa ayat ini
menjadi penguat hadits-hadits semakna dengan ayat ini, sehingga
hadits-hadits tersebut menjadi penasakh yang kuat. Sedangkan
hadits-hadits yang bertentangan dengan ayat ini yang merupakan ketentuan
yang dimansukh."Rasulullah saw bersabda:Hadits ini sah. Kami riwayatkan dengan sanad-sanad yang kuat, dari Anas bin Malik dari Abubakar Ash-Shiddiq dari Rasulullah saw.Hadits
ini membatalkan penafsiran orang-orang yang menafsirkan hadits-hadits
yang menyatakan berperang membela harta hanya dimaksudkan melawan
pencuri. Oleh karena itu, seandainya para pembela kebenaran bersatu,
niscaya pendukung kebatilan tidak punya kekuatan. []Mengenai ciri umat ini, Allah telah menyebutkan dengan firman-Nya:Yaitu umat Allah yang
jadikan sebagai tolok ukur kebenaran dan ditempatkan pada kedudukan
sebagai pimpinan dan teladan bagi seluruh manusia. Tidak ada umat yang
punya posisi semacam ini patut menerima perlakuan rendah dalam segala
urusannya dan berdiam diri terhadap qiyadah yang merampas martabatnya
dan melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan ia sanggup untuk
memecatnya dan menggantinya dengan orang lain.Walaupun memilih
pendapat ini, namun penulis harus membatasinya dengan suatu syarat,
yaitu bahwa pendapat yang membenarkan melakukan perlawanan bersenjata
kepada imam yang patut dipecat, harus punya kemampuan penuh dan menjaga
persatuan umat dengan sekuat-kuatnya serta wajib menjauhkan tindakan
yang menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah yang tidak perlu.Yang jelas Rasulullah saw telah mengingatkan:Dengan
demikian kita dapat mengambil kesimpulan dari isi hadits-hadits yang
bertalian dengan obyek kajian ini. Ada empat prinsip yang jelas, yaitu:, bahwa imam atau qiyadah sebagai mandataris umat, mempunyai hak untuk ditaati oleh semua umatnya.,
apabila qiyadah mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang dengan jelas
menurut syara' memuat hal-hal berbau maksiat dan menyusahkan umat, maka
umat tidak ada kewajiban taat dan mendengarkan peraturan atau kebijakan
semacam itu., apabila qiyadah bersikap
terang-terangan melawan nilai-nilai Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka sikap
semacam ini dinilai sebagai kekufuran terang-terangan. Dan perbuatan
semacam ini merupakan alasan pencabutan kekuasaan dari tangannya serta
pemecatannya., pencabutan kekuasaan dari tangan
imam tidak dapat dilakukan dengan revolusi bersenjata. Karena Rasulullah
saw mengingatkan kita agar menghindarkan penggunaan senjata semacam
ini, sebagaimana beliau sabdakan: Dan sabdanya pula: Dengan
demikian jelaslah, bahwa Rasulullah saw menyuruh kaum muslimin menolak
mematuhi perintah-perintah qiyadah yang bertentangan dengan ketentuan
syari'at, dan bila tindakan qiyadah telah mencapai tingkat kekufuran,
mereka diperintah memecat qiyadah.