Dakwah di jalan Allah (ad-da'wat ilallah) adalah pekerjaan mulia yang dijanjikan dengan pahala yang besar. Dalam hadits Shahih disebutkan, bahwa menunjuki ke jalan yang baik sama seperti melakukan perbuatan baik itu sendiri (muttafaq alaih). Begitu juga dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam, menyatakan, jika anda mampu menjadi sebab bagi seseorang mendapat petunjuk Allah ta'ala, itu lebih baik dari 'unta merah' (sebuah symbol kemewahan pada masa dahulu). Dari dua hadits ini, kita bisa memahami bahwa profesi dakwah adalah profesi terhormat di mata Allah ta'ala.
Dakwah di era kontemporer ini bertujuan untuk mengembalikan kehidupan kaum Muslimin ke garis yang benar, demi mengarahkan mereka kepada ibadatullah dalam segala aspeknya. Para du'at itu mendakwahi ekonom dan bisnismen, tanpa harus mereka berprofesi sebagai pebisnis. Mereka mendakwahi politisi dan negarawan, tanpa harus mereka beralih profesi dari da'I menjadi politisi. Mereka mendakwahi artis, tanpa harus menjadi artis. Mendakwahi preman, tanpa harus jadi preman. Untuk merubah sesuatu, khususnya sebuah dunia gelap, tidak mengahruskan kita menceburkan diri dalam dunia itu. Dari contoh-contoh dakwah pendahulu pun, tidak melakukan hal itu. Karena untuk menjadi pebisnis, begitu juga politisi, tidak semudah yang dikhayalkan oleh banyak orang.
Asumsi bahwa jika kita masuk ke sebuah dunia, kita bisa merubah dunia itu, atau merubah banyak di dunia itu, ini lebih kepada teori indah, tapi ketika dikerjakan, amatlah sungguh berat. Karena dunia bisnis dan politik itu, sarat dengan kebohongan, ketidak jujuran, khianat, halal menjadi haram, halal menjadi haram. Sehingga yang terjadi ialah perubahan akhlak dan identitas keislaman da'i-dai' yang masuk ke dalamnya. Sikap wara' menjadi rapuh. Kebohongan menjadi biasa. Syubhat menjadi keharusan. Yang sebelumnya takut pada yang syubhat, belakangan terkesan menjadi berani pada yang syubhat bahkan mungkin juga pada yang haram. Kewara'an dan zuhud yang menjadi muwashofat seorang da'I, nyaris menjadi tak popular. Penilaian juga ikut berubah. Hal-hal (baca : uang) yang sebelumnya dianggap haram, harus dihindari, dan merusak kewara'an, belakangan sudah dianggap biasa, atau tuntutan berbisnis atau berpolitik. Untuk menjustifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah kaidah-kaidah fiqh secara berani dan tidak proporsional. Seolah-olah yang menetapkan hukum dan fatwa, orang-orang sekaliber Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i. Kalau Imam Malik dulu, lebih banyak menjawab "tidak tahu" dari 40 masalah yang diajukan kepadanya, padahal dia seorang Imam Mujtahid, sementara di zaman sekarang banyak peneliti agama, menjawab dengan berani masalah apa saja yang diajukan kepada mereka, dengan dalih ijtihad, maslahat.
Para imam itu dahulu, enggan menjawab masalah padahal dia mengetahuinya, karena mengingat riwayat yang popular di kalangan fuqoha' : "Ajro'ukum ala al-Futya ajro'ukum ala an-Nar". (orang yang paling berani di antara kalian berfatwa, adalah orang yang paling berani masuk neraka.)
Memang masih ada orang yang mampu bertahan dengan idealismenya di dunia rawan seperti itu, tapi jumlah mereka hanya berapa? Tapi yang umum adalah terbawa oleh arus utama dalam dunia yang baru dihadapinya. Di dalam Shohih Muslim, terekam nasehat Nabi Saw kepada Abu Zar. Beliau mengatakan, Hai Abu Zar. Aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Kulihat engkau sosok yang lemah,janganlah memimpin dua orang (apalagi orang banyak), dan janganlah mengurusi harta anak yatim.
Inilah pesan Nabi kepada salah seorang Sahabat dekatnya. Apa yang bisa kita pahami dari kisah ini? Bahwa dunia tertentu seperti kepemimpinan publik menuntut qualifikasi tertentu. Artinya, tak setiap orang soleh bisa terjun ke dunia politik. Rasul sama sekali tak meragukan kesolehan dan ketakwaan Abu Zarr, beliau adalah seorang sohaby yang mulia. Tetapi kepemimpinan publik adalah dunia yang tak cukup mengandalkan hanya kesolehan pribadi. Batu-batu licin dan batu terjal nan tajam yang membahayakan berhamparan di sana. Padahal di jaman itu yang hidup adalah para sahabat, generasi terbaik dengan segala keistimewaannya. Namun Rasul tidak merekomendasi Abu Zar untuk terjun ke dunia publik, karena faktor-faktor pribadi yang beliau lihat pada Abu Zar.
Yang terjadi dari zaman ke zaman dalam uji coba terjun ke dunia politik oleh para aktifis dakwah, mirip dengan gambaran Abu Zar itu. Semangat awal memang cukup menakjubkan, yaitu ingin merubah dunia hitam menjadi dunia cemerlang. Uji coba seperti itu bukan baru pertama kali dilakukan. Generasi-generasi sebelumnya di negeri ini juga sudah melakukan itu. Tetapi hasilnya serupa. Tak berubah. Orang yang masuk kesana, bukan merubah, tapi ikut berubah. Bukan mewarnai, tetapi terwarnai. Bagaimana jika yang terwarnai ini adalah sebuah rombongan besar yang bercita-cita menegakkan mega proyek Islam?Bukankah siasat itu menjadi praktik 'bunuh diri' dan set back atau mundur dalam memahami materi-materi dakwah? Orang lain pun akan mengatakan, kenapa anda tidak belajar dari pengalaman saudara-saudara anda sebelumnya? Apakah anda terlalu percaya diri atau anda telah jatuh dalam isti'jal (terburu-buru mencapai tujuan)?
Persoalan yang dihadapi bukan satu-satu soal uang, risywah dan sejenisnya, walaupun ini telah banyak merubah orientasi aktifis Islam dari idealism eke fragmatisme. Tapi ada hal-hal yang sudah masuk wilayah 'Aqidah. Seorang Mukmin yang aqidahnya sudah tershibghoh tawhid, bagaimana dapat bekerjasama dengan kaum yang menghalalkan segala cara, bahkan menghalalkan kekufuran dan kefasikan? Bukankah Allah Subhanah Wata'ala mengingatkan NabiNya dengan peringatan yang keras, tak ada peringatan sekeras itu dalam firman-Nya: "Dan jika Kami tidak menetapkan hatimu, hampir-hampir saja engkau condong sedikit kepada mereka. Jika itu terjadi, pasti Kami rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia dan begitu pula siksaan berlipat ganda setelah mati, dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolongpun terhadap Kami." (Al-Isro' 74-75).
Jika yang berjuang itu Nabi Allah, yang menetapkan hatinya adalah Allah Swt, dan wahyu turun menegurnya, bila terjadi pembelokan dalam gerak dakwahnya. Tapi jika yang berjuang itu manusia biasa, wahyu apakah yang turun mengingatkannya? Yang mengingatkan hanyalah manusia yang masih ingin memelihara orisinalitas dakwahnya. Tapi musibah besar jika yang memberi nasehat dianggap sebagai penghalang jalan dakwah. Padahal andaikan tidak ada si 'penghalang' itu, mereka bisa terjerumus seluruhnya kepada kebinasaan.
Peringatan keras Robbany seperti di atas seharusnya juga dipahami sebagai peringatan untuk para da'i yang berjuang menegakkan dienullah. Mereka harus benar-benar konsisten di jalan dakwah dan tidak tergiur oleh rayuan-rayuan manusia dan bisikan-bisikan syaitan untuk merubah arah, pemahaman dan metodologi dakwah mereka.
Adalah peringatan Nabi kepada Para Sahabatnya dilaporkan oleh Abu Sa'id al-Khudry yang menceritakan: "Ketika kami duduk di sekitar mimbar Rasul, Beliau bersabda, sesungguhnya yang paling kutakuti menimpa kalian, adalah jika dunia terbuka lebar di depan kalian, kesenangan nya terhampar di hadapan kalian." (muttafaq alaihi).
Jadi cobaan yang dikhawatirkan bukan cobaan yang datang dari luar, tetapi cobaan dari dalam diri sendiri, menganggap diri sudah besar, sudah berpengaruh, dapat simpati besar, dunia pun terbentang di hadapan. Inilah awal ketergelinciran. So. Siapakah yang mau merenung, Fahal min muddakir?
oleh: Daud Rasyid
Dakwah di era kontemporer ini bertujuan untuk mengembalikan kehidupan kaum Muslimin ke garis yang benar, demi mengarahkan mereka kepada ibadatullah dalam segala aspeknya. Para du'at itu mendakwahi ekonom dan bisnismen, tanpa harus mereka berprofesi sebagai pebisnis. Mereka mendakwahi politisi dan negarawan, tanpa harus mereka beralih profesi dari da'I menjadi politisi. Mereka mendakwahi artis, tanpa harus menjadi artis. Mendakwahi preman, tanpa harus jadi preman. Untuk merubah sesuatu, khususnya sebuah dunia gelap, tidak mengahruskan kita menceburkan diri dalam dunia itu. Dari contoh-contoh dakwah pendahulu pun, tidak melakukan hal itu. Karena untuk menjadi pebisnis, begitu juga politisi, tidak semudah yang dikhayalkan oleh banyak orang.
Asumsi bahwa jika kita masuk ke sebuah dunia, kita bisa merubah dunia itu, atau merubah banyak di dunia itu, ini lebih kepada teori indah, tapi ketika dikerjakan, amatlah sungguh berat. Karena dunia bisnis dan politik itu, sarat dengan kebohongan, ketidak jujuran, khianat, halal menjadi haram, halal menjadi haram. Sehingga yang terjadi ialah perubahan akhlak dan identitas keislaman da'i-dai' yang masuk ke dalamnya. Sikap wara' menjadi rapuh. Kebohongan menjadi biasa. Syubhat menjadi keharusan. Yang sebelumnya takut pada yang syubhat, belakangan terkesan menjadi berani pada yang syubhat bahkan mungkin juga pada yang haram. Kewara'an dan zuhud yang menjadi muwashofat seorang da'I, nyaris menjadi tak popular. Penilaian juga ikut berubah. Hal-hal (baca : uang) yang sebelumnya dianggap haram, harus dihindari, dan merusak kewara'an, belakangan sudah dianggap biasa, atau tuntutan berbisnis atau berpolitik. Untuk menjustifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah kaidah-kaidah fiqh secara berani dan tidak proporsional. Seolah-olah yang menetapkan hukum dan fatwa, orang-orang sekaliber Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i. Kalau Imam Malik dulu, lebih banyak menjawab "tidak tahu" dari 40 masalah yang diajukan kepadanya, padahal dia seorang Imam Mujtahid, sementara di zaman sekarang banyak peneliti agama, menjawab dengan berani masalah apa saja yang diajukan kepada mereka, dengan dalih ijtihad, maslahat.
Para imam itu dahulu, enggan menjawab masalah padahal dia mengetahuinya, karena mengingat riwayat yang popular di kalangan fuqoha' : "Ajro'ukum ala al-Futya ajro'ukum ala an-Nar". (orang yang paling berani di antara kalian berfatwa, adalah orang yang paling berani masuk neraka.)
Memang masih ada orang yang mampu bertahan dengan idealismenya di dunia rawan seperti itu, tapi jumlah mereka hanya berapa? Tapi yang umum adalah terbawa oleh arus utama dalam dunia yang baru dihadapinya. Di dalam Shohih Muslim, terekam nasehat Nabi Saw kepada Abu Zar. Beliau mengatakan, Hai Abu Zar. Aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Kulihat engkau sosok yang lemah,janganlah memimpin dua orang (apalagi orang banyak), dan janganlah mengurusi harta anak yatim.
Inilah pesan Nabi kepada salah seorang Sahabat dekatnya. Apa yang bisa kita pahami dari kisah ini? Bahwa dunia tertentu seperti kepemimpinan publik menuntut qualifikasi tertentu. Artinya, tak setiap orang soleh bisa terjun ke dunia politik. Rasul sama sekali tak meragukan kesolehan dan ketakwaan Abu Zarr, beliau adalah seorang sohaby yang mulia. Tetapi kepemimpinan publik adalah dunia yang tak cukup mengandalkan hanya kesolehan pribadi. Batu-batu licin dan batu terjal nan tajam yang membahayakan berhamparan di sana. Padahal di jaman itu yang hidup adalah para sahabat, generasi terbaik dengan segala keistimewaannya. Namun Rasul tidak merekomendasi Abu Zar untuk terjun ke dunia publik, karena faktor-faktor pribadi yang beliau lihat pada Abu Zar.
Yang terjadi dari zaman ke zaman dalam uji coba terjun ke dunia politik oleh para aktifis dakwah, mirip dengan gambaran Abu Zar itu. Semangat awal memang cukup menakjubkan, yaitu ingin merubah dunia hitam menjadi dunia cemerlang. Uji coba seperti itu bukan baru pertama kali dilakukan. Generasi-generasi sebelumnya di negeri ini juga sudah melakukan itu. Tetapi hasilnya serupa. Tak berubah. Orang yang masuk kesana, bukan merubah, tapi ikut berubah. Bukan mewarnai, tetapi terwarnai. Bagaimana jika yang terwarnai ini adalah sebuah rombongan besar yang bercita-cita menegakkan mega proyek Islam?Bukankah siasat itu menjadi praktik 'bunuh diri' dan set back atau mundur dalam memahami materi-materi dakwah? Orang lain pun akan mengatakan, kenapa anda tidak belajar dari pengalaman saudara-saudara anda sebelumnya? Apakah anda terlalu percaya diri atau anda telah jatuh dalam isti'jal (terburu-buru mencapai tujuan)?
Persoalan yang dihadapi bukan satu-satu soal uang, risywah dan sejenisnya, walaupun ini telah banyak merubah orientasi aktifis Islam dari idealism eke fragmatisme. Tapi ada hal-hal yang sudah masuk wilayah 'Aqidah. Seorang Mukmin yang aqidahnya sudah tershibghoh tawhid, bagaimana dapat bekerjasama dengan kaum yang menghalalkan segala cara, bahkan menghalalkan kekufuran dan kefasikan? Bukankah Allah Subhanah Wata'ala mengingatkan NabiNya dengan peringatan yang keras, tak ada peringatan sekeras itu dalam firman-Nya: "Dan jika Kami tidak menetapkan hatimu, hampir-hampir saja engkau condong sedikit kepada mereka. Jika itu terjadi, pasti Kami rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia dan begitu pula siksaan berlipat ganda setelah mati, dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolongpun terhadap Kami." (Al-Isro' 74-75).
Jika yang berjuang itu Nabi Allah, yang menetapkan hatinya adalah Allah Swt, dan wahyu turun menegurnya, bila terjadi pembelokan dalam gerak dakwahnya. Tapi jika yang berjuang itu manusia biasa, wahyu apakah yang turun mengingatkannya? Yang mengingatkan hanyalah manusia yang masih ingin memelihara orisinalitas dakwahnya. Tapi musibah besar jika yang memberi nasehat dianggap sebagai penghalang jalan dakwah. Padahal andaikan tidak ada si 'penghalang' itu, mereka bisa terjerumus seluruhnya kepada kebinasaan.
Peringatan keras Robbany seperti di atas seharusnya juga dipahami sebagai peringatan untuk para da'i yang berjuang menegakkan dienullah. Mereka harus benar-benar konsisten di jalan dakwah dan tidak tergiur oleh rayuan-rayuan manusia dan bisikan-bisikan syaitan untuk merubah arah, pemahaman dan metodologi dakwah mereka.
Adalah peringatan Nabi kepada Para Sahabatnya dilaporkan oleh Abu Sa'id al-Khudry yang menceritakan: "Ketika kami duduk di sekitar mimbar Rasul, Beliau bersabda, sesungguhnya yang paling kutakuti menimpa kalian, adalah jika dunia terbuka lebar di depan kalian, kesenangan nya terhampar di hadapan kalian." (muttafaq alaihi).
Jadi cobaan yang dikhawatirkan bukan cobaan yang datang dari luar, tetapi cobaan dari dalam diri sendiri, menganggap diri sudah besar, sudah berpengaruh, dapat simpati besar, dunia pun terbentang di hadapan. Inilah awal ketergelinciran. So. Siapakah yang mau merenung, Fahal min muddakir?
oleh: Daud Rasyid
0 comments:
Post a Comment