Penanya:
Assalamu'alaikum, akhi bolehkah kita (jamaah jihadi) menjadikan fatwa ulama saudi menjadi rujukan?
-irfan-
Jawab:
Dari
Abdurrahman bin Abdulah bin Mas’ud, dari ayahnya diriwayatkan bahwa ada
seorang lelaki yang datang menemui Ibnu Mas’ud dan berkata, “Wahai Abu
Abdirrahman, ajarkan padaku beberapa kata yang sederhana dan padat lagi
berguna.”
Abdullah berkata, “Janganlah engkau menyekutukanNya dengan sesuatu pun,
berjalanlah seiring dengan ajaran al Qur’an ke manapun engkau mengarah,
dan barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebenaran, terimalah,
meskipun ia orang yang jauh yang engkau benci, dan barangsiapa yang
datang kepadamu membawa kebatilan, tolaklah, meskipun ia adalah kerabat
yang engkau cintai.”
Setiap manusia di dunia ini (kecuali Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang maksum) adalah makhluk yang pasti mempunyai kesalahan yang terkadang tidak disadari oleh diri mereka sendiri, tidak ada seorangpun! baik itu dari para ulama jihadi maupun ulama saudi... namun akhi, para ulama insyallah selalu bersikap jujur dan rendah hati terhadap kebenaran yang mereka terima. Mereka tidak menyuruh orang lain untuk mengikuti pendapatnya dengan taklid buta, tapi mereka menghendaki orang lain untuk tidak mengikuti pendapatnya jika itu memang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah.
Dari Abul Ahwash, dari Abdullah diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Janganlah seorang itu bertaklid kepada orang lain dalam urusan diennya, yang apabila orang lain itu beriman, ia ikut beriman dan bila orang itu kafir maka ia pun ikut kafir. Kalaupun kita harus bertaklid, hendaknya kita bertaklid kepada (tauladan) yang sudah mati (maksudnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam). Karena orang yang masih hidup, masih belum dijamin selamat dari petaka.”
Dan untuk pertanyaan antum, maka ana memegang sebuah pendapat yakni....
boleh menjadikan fatwa-fatwa ulama tersebut sebagai rujukan SELAMA tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As Sunnah... karena yg menjadi rujukan kita adalah kedua pedoman umat islam itu, yang Allah izinkan kita mengetahuinya dari lisan ulama tersebut...
bagaimana kita mengetahui bahwa pendapat tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah?
hanya dengan belajar dan menuntut ilmu, serta BERDOA agar diberi petunjuk dan bimbingan oleh Allah, maka insyallah antum akan bisa memahami dien ini... Rasulullah pernah bersabda “Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan padanya, maka Allah akan memahamkan perkara-perkara dien padanya“ ... buang jauh-jauh sifat taklid buta, yakni perasaan HANYA ulama ini atau ulama itu yg bisa di-tsiqoh (dipercaya) oleh kita....
bagaimana jika terjadi perbedaan pendapat antara para ulama? entah itu antara para ulama saudi dan jihadi? atau bahkan sesama ulama jihadi itu sendiri?
Setiap manusia di dunia ini (kecuali Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang maksum) adalah makhluk yang pasti mempunyai kesalahan yang terkadang tidak disadari oleh diri mereka sendiri, tidak ada seorangpun! baik itu dari para ulama jihadi maupun ulama saudi... namun akhi, para ulama insyallah selalu bersikap jujur dan rendah hati terhadap kebenaran yang mereka terima. Mereka tidak menyuruh orang lain untuk mengikuti pendapatnya dengan taklid buta, tapi mereka menghendaki orang lain untuk tidak mengikuti pendapatnya jika itu memang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah.
Dari Abul Ahwash, dari Abdullah diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Janganlah seorang itu bertaklid kepada orang lain dalam urusan diennya, yang apabila orang lain itu beriman, ia ikut beriman dan bila orang itu kafir maka ia pun ikut kafir. Kalaupun kita harus bertaklid, hendaknya kita bertaklid kepada (tauladan) yang sudah mati (maksudnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam). Karena orang yang masih hidup, masih belum dijamin selamat dari petaka.”
Dan untuk pertanyaan antum, maka ana memegang sebuah pendapat yakni....
boleh menjadikan fatwa-fatwa ulama tersebut sebagai rujukan SELAMA tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As Sunnah... karena yg menjadi rujukan kita adalah kedua pedoman umat islam itu, yang Allah izinkan kita mengetahuinya dari lisan ulama tersebut...
bagaimana kita mengetahui bahwa pendapat tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah?
hanya dengan belajar dan menuntut ilmu, serta BERDOA agar diberi petunjuk dan bimbingan oleh Allah, maka insyallah antum akan bisa memahami dien ini... Rasulullah pernah bersabda “Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan padanya, maka Allah akan memahamkan perkara-perkara dien padanya“ ... buang jauh-jauh sifat taklid buta, yakni perasaan HANYA ulama ini atau ulama itu yg bisa di-tsiqoh (dipercaya) oleh kita....
bagaimana jika terjadi perbedaan pendapat antara para ulama? entah itu antara para ulama saudi dan jihadi? atau bahkan sesama ulama jihadi itu sendiri?
Jika antum menemukan adanya kesalahan dari salah satu pendapat yang diucapkan oleh seorang ulama, maka hendaknya antum tetap menghormati ulama tersebut... sesungguhnya mereka telah berusaha
sangat keras untuk mempelajari dien ini, bahkan mungkin kita sendiri belum
mampu menyamai mereka dalam hal ini....
Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan dan orang yang berilmu.”
Namun ana sampaikan sebuah peringatan, janganlah menuhankan para ulama... baik para ulama jihadi maupun saudi, atau ulama dari jamaah apapun! (catatan: tidak menuhankan bukan berarti tidak menghormati!!)
Ulama adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu turut terhadap perkataan ulama (padahal perkataanya bisa jadi salah), bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan ulama maka nasehatilah dengan cara yg ma'ruf, jangan diikuti kesalahannya. Jangan sampai seorang ulama dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh berfirman;
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullah mengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menjadikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucapannya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.”
dan ana akan tutup dengan mengutip ucapan dari Ibnul Qoyyim rahimahullah, semoga bisa antum renungi...
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui dengan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempunyai peran dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’
wallahua'alam...
Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan dan orang yang berilmu.”
Namun ana sampaikan sebuah peringatan, janganlah menuhankan para ulama... baik para ulama jihadi maupun saudi, atau ulama dari jamaah apapun! (catatan: tidak menuhankan bukan berarti tidak menghormati!!)
Ulama adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu turut terhadap perkataan ulama (padahal perkataanya bisa jadi salah), bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan ulama maka nasehatilah dengan cara yg ma'ruf, jangan diikuti kesalahannya. Jangan sampai seorang ulama dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh berfirman;
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullah mengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menjadikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucapannya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.”
dan ana akan tutup dengan mengutip ucapan dari Ibnul Qoyyim rahimahullah, semoga bisa antum renungi...
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui dengan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempunyai peran dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’
wallahua'alam...
0 comments:
Post a Comment