Sunday, May 19, 2013
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Saat ini PKS sedang mengalami turbulensi politik yang amat sangat kuat.
Ibarat sebuah kapal layar, ia sedang berada di tengah pusaran air,
menghadang ombak yang tinggi, serta dihajar badai dari segala arah.
Faktanya, setelah Luthfi Hasan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,
begitu juga sohibnya A. Fathonah, pejabat-pejabat PKS lainnya juga
diperiksa sebagai saksi. Anis Matta dan Pak Hilmi Aminuddin harus
memenuhi panggilan KPK; bergitu juga Saldi Matta, adik Anis Matta.
Secara moral, pemanggilan Ketua Majelis Syura PKS oleh KPK serasa
seperti “bom atom” yang dentumannya sangat menggelegar.
Kami disini tidak mau masuk terlalu ke dalam ke pusaran konflik KPK
Vs PKS. Tetapi kami ingin melihat kenyataan ini dalam perspektif
kepentingan politik Ummat Islam. Sebagaimana pada asalnya kami tidak
memiliki “kebencian laten” kepada PKS, maka saat ini kami tetap
berpegang kepada kepentingan Ummat tersebut; menggali hikmah di balik
setiap peristiwa.
Mari kita lihat detail masalahnya lebih fokus…
*** Sebenarnya, sumber banyaknya kritik, kecaman,
hujatan kepada PKS ialah konsep dasar politik partai ini sendiri. PKS
sejak awal memposisikan dirinya sebagai: Partai Dakwah, partai Islam, partai para ustadz.
Positioning seperti ini membuat PKS banyak diawasi oleh kaum Muslimin,
karena kita berkepentingan terhadap nama Islam, dakwah, dan ustadz.
Andaikan sejak awal PKS tidak membatasi dirinya dengan citraan
religius yang dibuatnya sendiri itu, mungkin sikap kritis Ummat Islam
terhadapnya tidak terlalu gencar atau garang. Hal ini bisa dianalogikan
seperti sebuah tim sepakbola sekelas PERSIJA, tetapi koar-koar bahwa mereka sekelas BAYERN MUNCHEN; jelas tim itu akan terus diawasi
oleh para penggemar bola dari Maroko sampai Merauke. (PKS membawa2 nama islam yg begitu besar dan mulia, tentu saja diawasi oleh banyak orang)
*** Kinerja politik PKS bisa dibagi menjadi dua
periode; periode sebelum Pemilu 2004 dan periode setelah Pemilu 2004.
Tahun 2004 seperti menjadi Yaumul Furqan bagi PKS. Sebelum tahun
2004 politik PKS bersifat idealis, keteladanan, pembelaan besar atas
kepentingan masyarakat, dan politik bersih (bebas korupsi). Tetapi
setelah tahun 2004, sampai hari ini, kinerja politik mereka semakin
merosot; hingga finalnya Presiden PKS ditetapkan sebagai tersangka kasus
korupsi.
*** Patut dipahami bahwa politik PKS tidak bisa dipisahkan dari politik SBY.
Lho, kok bisa begitu ya? Karena tahun 2004 itu PKS meresmikan
persekutuan politiknya dengan SBY (Partai Demokrat). PKS mendapat sekian
kursi kementrian, sedangkan SBY (Demokrat) mendapatkan fasilitas
pembelaan politik dan dukungan dari PKS.
Sampai hari ini, bisa dikatakan politik PKS tidak bisa melepaskan
diri dari politik SBY. Bahkan kasus-kasus hukum yang menimpa PKS saat
ini (terkait KPK) ada yang membacanya sebagai plot politik SBY. Tahun
2009 PKS ingin menarik dukungan kepada SBY, bahkan sudah sempat
memberikan sejumlah serangan-serangan politik ke SBY menjelang Pemilu
2009; tetapi kemudian ia rujuk lagi, lalu mendukung deklarasi Capres
pasangan SBY-Bodiono di Sabuga ITB. Menjelang Pemilu 2014 nanti, PKS
kemungkinan akan kembali menyerang SBY (Demokrat); tetapi kemudian akan
bermesraan dengan politik SBY lagi. Antara PKS dan politik SBY layaknya
padanan: “benci tapi rindu”, “muak tapi butuh”, “emoh tapi pingin lagi”.
*** Jika dikalkulasi, nilai “perdagangan politik”
antara PKS dan SBY, yang lebih beruntung adalah SBY. Kemapanan posisi
SBY sebagai presiden sejak tahun 2004, dan berhasilnya dia menjadi
presiden kembali untuk periode 2009-20014, tidak lepas dari jasa PKS.
Tanpa PKS, SBY sudah babak-belur dimakan oleh Golkar dan PDIP sejak awal
kepemimpinannya. Di sisi lain, SBY juga kesal ke PKS, karena partai ini
susah diatur. PKS berbeda dengan PAN dan PKB yang mampu memberikan
“penghambaan politik” secara tulus ikhlas, lahir-batin, dunia akhirat
untuk SBY.
Ibaratnya, politisi-politisi PAN dan PKB sudah biasa menampilkan
loyalitas buta, tanpa reserve, kepada SBY dan Demokrat. Sementara
politisi PKS dianggap masih sering mengganggu kebijakan politik SBY,
seperti dalam konteks Pansus Bank Century. Bisa dikatakan, koalisi
dengan SBY sangatlah pahit, dan PKS tahu makna semua itu.
*** Logika PKS bergabung dengan SBY sangat
sederhana; dengan masuk kabinet, menjadi bagian dari koalisi, mereka
akan dapat posisi kementrian. Sedangkan kementrian identik dengan
proyek-proyek yang melibatkan anggaran negara. Di titik ini PKS butuh
posisi birokrasi, sebagaimana partai-partai lain juga ngiler.
Tetapi motivasi “memperkaya diri” ini selain berpotensi merugikan urusan
rakyat, juga bisa menjerat PKS dalam pusaran kasus-kasus korupsi;
seperti kenyataan hari ini. Apalagi faktanya, PKS tidak pernah diberikan
posisi “enak” oleh SBY Cs. Paling tinggi, PKS diberi jabatan kementrian
pertanian dan kominfo.
*** Dalam tubuh PKS ada dua pemikiran yang terus bergolak: idealisme dan pragmatisme.
Sebagian orang mengistilahkan “Kubu Keadilan” dan “Kubu Sejahtera”.
Kondisi disparitas ini tidak lepas dari perubahan pemikiran (ideologi)
secara drastis yang dialami Anis Matta. Konsep asli PKS sangat kental
bernuansa idealisme, dengan slogan: partai Islam, partai dakwah, partai
ustadz. Tetapi setelah Anis Matta 'berubah', PKS mengalami perubahan pemikiran secara
ekstrem, terutama setelah dia menjadi anggota DPR RI dan mengikuti
kursus Lemhanas; tumbuh subur pemikiran-pemikiran politik pragmatis di
tubuh PKS, hingga pragmatisme itu mampu menguasai seluruh lini partai
tersebut.
*** Posisi Anis Matta di PKS serupa seperti posisi
BJ. Habibie dalam pemerintahan di masa itu. Kedua sosok sama-sama
pintar, punya intelijensi tinggi, menjadi bintang andalan di tempat
masing-masing; tetapi egoisme dirinya juga besar. Kejeniusan pemikiran
kurang diikuti kemampuan “sharing of power”. Habibie pernah merajalela
dalam pemerintahan, sebagaimana Anis merajelela di PKS. PKS jelas butuh
kecerdasan Anis, tetapi Anis juga bisa “memakan” PKS. Simakalama.
*** Politik PKS masa kini (terutama sejak tahun
2009) tak bisa dilepaskan dari pengaruh kuat sosok Anis Matta. Bisa saja
orang berasumsi, “PKS adalah Anis Matta, dan Anis Matta adalah PKS.” Di
atas kertas Pak Hilmi Aminuddin memang Ketua Majelis Syura, tetapi
keputusan politiknya tak lepas dari pertimbangan pemikiran Anis Matta.
Lalu inti dari pemikiran politik Anis Matta ini adalah “politik
oplosan”; yaitu semacam ritme permainan politik yang memainkan dua kartu
utama, “wajah Syariat” dan “ambisi kekuasaan”.
Di mata para kader, simpatisan, dan lawan-lawan politiknya, PKS
membangun “wajah Syariat”; tetapi saat berbicara kekuasaan, jabatan
publik, posisi birokrasi, dan lainnya, elit-elit politik PKS tidak kalah
ganasnya dibandingkan elit-elit Demokrat, PDIP, Golkar. Berkali-kali
elit PKS mengancam SBY terkait isu reshuffle kabinet, hingga
pencapresan. Inilah politik oplosan atau “berwajah ganda”.
*** Politik oplosan model Anis Matta (dan didukung
elit-elit PKS lainnya) ini menjadi simalakama bagi PKS.
Di mata Ummat Islam, PKS dianggap tidak tulus mengembangkan politik
Syariat; karena sangat kelihatan terlalu ambisi jabatan. Di mata para
politisi, PKS dianggap sangat menjengkelkan, karena mereka berambisi
kekuasaan, tetapi memakai dalil-dalil agama. Di mata publik secara umum,
wajah PKS sangat membingungkan; ada kalanya tampak Islami dan santri,
tetapi di lain kesempatan sangat haus kekuasaan dan kurang punya rasa
malu (fatsoen politik). Jika kemudian ada yang berusaha mengeliminasi
PKS (melalui KPK misalnya), hal itu tak lepas dari alasan kejengkelan
tersebut.
*** Seburuk apapun sosok dan perilaku A. Fathonah,
maka dia mewakili dirinya sendiri. Dia bukan mewakili partai, gerakan
dakwah, komunitas kaum Muslimin. Dia hanya mewakili dirinya sendiri. Hal
ini berbeda dengan PKS yang sejak lama mengambil banyak benefits dengan mengatasnamakan partai Islam, partai dakwah, partai ustadz. Maka menyikapi dua obyek ini juga berbeda perlakuannya.
*** Sejak lama sudah sangat banyak suara-suara kaum
Muslimin yang mengkritik PKS, memberikan penilaian, nasehat, masukan,
dan lain-lain. Tetapi semua itu ditepiskan begitu saja. PKS tetap pada
patron politiknya yang menampilkan “wajah ganda”. Tapi ada satu hal yang
paling berbahaya yang sering dilakukan jajaran pengurus PKS dan para
pendukungnya, yaitu kebiasaan mereka menyerang balik orang-orang yang memberi kritik, nasehat, masukan dengan berbagai tuduhan buruk.
Misalnya, tuduhan sebagai barisan sakit hati, suka iri/dengki,
pemecah-belah, tidak punya karya nyata selain mengkritik, tukang fitnah,
tukang ghibah, antek Zionis, antek Amerika, tidak mau tabayyun, dan
lain-lain. Lha, mereka diberi masukan baik kok, malah menuduh begitu?
Sayang sekali.
*** Membalikkan kritik dengan tuduhan balik
sebenarnya termasuk salah satu teknik penggalangan massa. Hal ini sudah
dikenal dan sering dipakai. Mereka tidak mau mencerna kritik berdasarkan
ilmu, akal sehat, dan Syariat; tetapi langsung membalikkan begitu saja
kritik-kritik itu dengan serbuan tuduhan-tuduhan. Padahal di antara para
pengeritik itu banyak yang punya niat tulus; tidak bermaksud
menjatuhkan, tapi menjaga kemurnian Syariat.
*** Sampai titik tertentu, tidak ada yang sanggup
untuk meluruskan PKS. Semua angkat tangan, semua geleng-geleng kepala,
atau mengelus dada. PKS sudah tak bisa dinasehati, seperti layaknya
orang yang tak lagi membutuhkan Surat Al ‘Ashr. Harapan terakhirnya
ialah keadilan Allah Ta’ala yang tak akan membiarkan kebathilan
merajalela.
*** Segala turbulensi yang dihadapi PKS saat ini
adalah buah dari cara politik yang mereka kembangkan sendiri. Terutama
kebiasaan melontarkan TUDUHAN BURUK kepada kaum Muslimin yang selama ini
peduli. Orang-orang peduli itu telah memberikan nasehat, kritikan,
masukan, tetapi semua itu dibalikkan dalam bentuk tuduhan-tuduhan buruk
dan kata-kata cacian. Hal ini sangat menyakitkan bagi hati-hati yang
tulus itu, dan membuat Allah Ta’ala murka. Nabi Shallallah ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan, bahwa orang sombong tidak masuk surga. Ketika ditanya ciri orang sombong, beliau mengatakan: Batharal haqqa wa ghamtun naasi (menolak kebenaran dan merendahkan manusia).
*** Kini PKS sedang menggali kekuatan dan daya untuk
menerjuni kancah “perang terbuka” melawan KPK. Ibaratnya, PKS seperti
banteng terluka. Betapa tidak, guru spiritual mereka, Ust. Hilmi
Aminuddin dipaksa datang ke KPK untuk diperiksa (sebagai saksi). Jika
PKS tidak melawan, nama baik elit-elit pengurusnya akan hancur di mata
para kader pendukung. Tetapi kalau melawan, mereka akan menghadapi
“pengadilan publik” yang selama ini telah memposisikan KPK bak Malaikat
yang suci dari dosa dan kepentingan. Simalakama lagi.
Akhirnya kini harus kami katakan, bahwa:
“Sejak awal kami tidak memiliki kebencian kepada PKS (dulu PK). Kami
hargai eksistensi partai ini dalam kerangka perjuangan politik keummatan
di Indonesia. Tetapi seiring waktu, PKS tidak menepati komitmennya
sebagai partai Islam, partai dakwah, partai ustadz. Maka kami pun
menyampaikan kritik, nasehat, masukan untuk perbaikan. Tetapi sayang,
alih-alih kalangan PKS menghargai masukan semacam ini; mereka –melalui
kader-kadernya- justru bersikap memusuhi masukan-masukan semacam ini.
Mereka beranggapan, setiap masukan atau kritik adalah upaya fitnah, demarketing, black campaign, atau
konspirasi. Masya Allah, niat baik berbalas tuduhan buruk. Padahal
dalam konteks politik terbuka di zaman modern, jangankan kritik atau
nasehat; kecaman-kecaman keras pun termasuk ekspresi politik yang
dihargai. Jujur kami sangat sedih.”
Untuk selanjutnya, kami hanya bisa melihat keadaan ke depan, tanpa
bisa berharap banyak. Jika kami mengharapkan PKS hancur, tentu itu tak
sesuai dengan niat awal kami. Sebaliknya, jika kami menjamin PKS akan
baik-baik saja, maka kami sama sekali tidak memiliki kuasa atas
Sunnatullah dan Hikmatullah yang berlaku dalam kehidupan ini. Kata-kata
yang bisa kami ucapkan: “Selamat berjuang kawan-kawan PKS, semoga
diterima di sisi Tuhan sesuai amal-amalmu!”
PKS telah memilih, mereka pun akan menerima. Besar harapan kami,
apapun yang nanti kan terjadi, Allah Ta’ala senantiasa menolong kaum
Muslimin, memudahkan urusannya, serta menyampaikan harapan-harapannya.
Amin Allahumma amin.
[muhammad waksito]