.
Home » , » Kritik Terhadap Konsep Tholabun Nusrah Hizbut Tahrir

Kritik Terhadap Konsep Tholabun Nusrah Hizbut Tahrir

 

Apakah Tholabun Nushroh itu?

Tholabun Nushroh secara bahasa pengertiannya adalah mencari pertolongan. Istilah ini digunakan oleh Hizbut Tahrir sebagai suatu aktivitas dakwah dalam suatu tahapan dakwah. Sebagai gambaran maksud istilah Tholabun Nushroh menurut Hizbut Tahrir, disebutkan  sebagai berikut:

“Thalabun-nushrah adalah aktivitas mencari perlindungan dan kekuasaan yang dilakukan partai politik Islam pada penghujung tahapan kedua dakwah, yaitu tahapan berinteraksi dengan umat (at-tafa’ul ma’a al-ummah). Thalabun-nushrah bukanlah suatu tahapan (marhalah) dakwah, melainkan suatu amal (aktivitas) dakwah dalam suatu tahapan dakwah. Thalabun-nushrah dilakukan pada saat masyarakat, khususnya para pemimpinnya, menolak penerapan Islam dalam kehidupan bernegara dan terjadi tindakan represif seperti penganiayaan terhadap para aktivis partai politik yang berjuang menegakkan Khilafah (M. Husain Abdullah, Ath-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah al-Islamiyah, hlm. 90).

Thalabun-nushrah mempunyai dua tujuan: Pertama, mendapatkan perlindungan (himayah) bagi para individu pengemban dakwah dan kegiatan dakwahnya. Misal, Rasulullah saw. mendapat perlindungan dari pamannya (Abu Thalib), atau Rasulullah saw. mendapat jaminan keamanan dari Muth’im bin Adi sepulangnya dari Thaif. Kedua, untuk mendapatkan kekuasaan (al-hukm) guna menegakkan hukum Allah dalam negara Khilafah. Misal, dulu Rasulullah saw. menerima kekuasaan dari kaum Anshar sehingga beliau kemudian dapat menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah (Manhaj Hizbut Tahrir, 2009, hal. 49; M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/409)”

Thalabun-nushrah adalah thariqah (metode) yang tetap dan wajib dilaksanakan untuk menegakkan Khilafah. Jadi, thalabun-nushrah bukan uslub (cara) yang hukumnya mubah yang dapat berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi. (Ahmad Al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 34). 

Satu-satunya metode yang sahih untuk mendapatkan kekuasaan dan mendirikan Khilafah adalah thalabun-nushrah; bukan dengan cara-cara lain semisal mendirikan masjid, rumah sakit, sekolah; atau menolong kaum fakir-miskin dan mengajak pada akhlaqul karimah. Ini semua amal salih, tetapi bukan metode menegakkan Khilafah... (Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, hlm. 37). 



Hukum ‘Tholabun Nusroh’

Tholabun Nusroh dalam pengertian meminta pertolongan kepada orang-orang kuat yang bisa memberi perlindungan adalah suatu metode yang pernah dilakukan Nabi Saw. dalam rangka menyebarkan ajaran Tauhid. Metode ini digunakan Hizbut Tahrir dalam rangka mendirikan khilafah. Meski tidak didapatkan ulama’ di madzhab manapun yang mewajibkan Tholabun Nushroh dan tidak ditemukan pembicaraan yang membahas hukum Tholabun Nushroh dalam kitab-kitab fiqih, Hizbut Tahrir menganggapnya suatu hal yang wajib, bahkan menganggapnya satu-satunya cara yang disyariatkan untuk mendirikan khilafah. Hizb tidak boleh menggunakan cara-cara lain, termasuk kekerasan –padahal ini adalah konsekwensi dari jihad fi sabilillah-.

Dalil wajibnya Tholabun Nushroh –menurut mereka- adalah karena inilah perbuatan yang dilakukan Rasulullah Saw. secara terus menerus – padahal sebenarnya hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun-. Karena itu, perlu dibahas meski secara ringkas, kedudukan perbuatan Nabi Saw. dalam ilmu fiqih.

Ulama Ushul membagi perbuatan Rasulullah Saw. terbagi menjadi dua bagian:
  1.   Khusus untuk beliau saja
  2.   Berlaku juga untuk umat beliau. Bagian kedua ini terbagi menjadi 3 macam:
  •  wajib, baik ‘ain maupun kifayah
  •  mandub (sunnah)
  •  mubah
Untuk menentukan mana perbuatan Rasulullah Saw. yang wajib ditiru umatnya, mana yang mandub dan mana yang mubah, tentu diperlukan dalil khusus.
Tentang tholabun Nusroh yang dilakukan Nabi Saw., tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa itu wajib dilakukan umat beliau. Tidak juga didapatkan dalam sejarah atau hadits, bahwa para shahabat Nabi Saw. ikut dalam kegiatan Tholabun Nusroh ini. Ini mengindikasikan bahwa perbuatan ‘Tholabun Nusroh’ ini khusus untuk beliau saja, dan tidak wajib bagi umatnya.

Berterus-terusan Nabi Saw. dalam Tholabun Nusroh dan tidak berpindah ke metode lainnya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun tidak dapat dijadikan dalil wajibnya menempuh metode tersebut bagi umatnya. Alasannya:
  • pertama, banyak sekali perbuatan-perbuatan Nabi Saw. yang beliau kerjkan secara terus-menerus, bahkan tidak hanya 2 tahun, tapi hukumnya tidak wajib bagi umatnya. Contohnya dua rokaat fajar dan sholat witir.
  • kedua, seandainya ‘Tholabun Nusroh’ wajib bagi umat Nabi Saw, tentu saja beliau menjelaskan hal itu kepada para shahabat, apalagi di saat-saat mereka sangat butuh dengan pertolongan akibat tekanan orang-orang kafir Quraisy. Saat hijrah ke Habasyah, para shahabat juga tidak diperintah untuk ‘Tholabun Nusroh’ kepada Raja Najasyi. Padahal Rasulullah Saw. mengatakan tentangnya, “Tidak ada seorangpun yang didholimi di wilayahnya”. Artinya, raja tersebut sangat berpotensi menjadi ‘Ahlun Nusroh’.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum ‘Tholabun Nusroh’ hanyalah mubah, bukan metode (thoriqoh) yang wajib, apalagi dijadikan syarat sah tegaknya khilafah. Sebagai hal yang mubah, tentu selayaknya dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Rasulullah Saw. sendiri berhenti bertholabun Nushroh ketika 70 orang Yatsrib berbaiat kepada beliau.

Pertanyaannya, perlukah kita bertholabun Nushroh padahal di tubuh umat banyak mujahid yang kuat melawan musuh-musuh Allah? Bukankah mereka adalah ‘Ahlul Quwwah’ yang dijamin eksistensinya oleh Allah sampai Hari Kiamat?

Perlukah Hizbut Tahrir bertholabun Nushroh, padahal anggotanya di seluruh dunia mencapai ratusan ribu –menurut klaim mereka-? Seandainya para pemuda mereka dilatih dan dipersenjatai –dan ini sekaligus untuk menunaikan kewajiban i’dad yang Allah perintahkan- , hal itu cukup untuk menolong tegaknya khilafah, tanpa harus ber-tholabun Nushroh kepada para militer sekuler.

Tapi sayang, tabanni Hizb tidak mengizinkan hal itu…

Praktek ‘Tholabun Nusroh’, beda dulu dengan sekarang!
Rasulullah Saw. melakukan ‘Tholabun Nushroh’ hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Saat itu jumlah jama’ah beliau sedikit, sehingga tidak bisa menjadi kekuatan yang cukup untuk menolong dien yang diembannya. Karena itu, beliau bertholabun nushroh kepada kabilah-kabilah musyrik sekaligus mengajak mereka untuk masuk Islam. Setelah terdapat 70 orang Yatsrib yang berbaiat kepada beliau, serta sebidang tanah siap dijadikan tempat hijrah, Rasulullah Saw. berhenti melakukan ‘Tholabun Nushroh’. Beliau mencukupkan diri dengan orang-orang yang berasal dari suku Aus dan Khazraj tersebut. Artinya, kadar kecukupan ini membuat beliau tidak lagi ber-Tholabun Nushroh. Rasulullah Saw. pun menyuruh para shahabat untuk hijrah ke sebidang tanah itu, yang kemudian beliau namakan sebagai Madinatur Rasul. Sebelumnya daerah tersebut bernama Yatsrib. Dari tanah itulah futuhaat ke negeri-negeri sekitar dimulai.

Berbeda dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw., Hizbut Tahrir sudah bertholabun Nusroh lebih dari 50 tahun dan sampai sekarang masih bertholabun Nushroh. Hizbut Tahrir -menurut klaim mereka- beranggotakan ratusan ribu orang, tapi ternyata masih bertholabun Nushroh. Orang-orang yang diminta nushrohnya pun bukan orang-orang musyrik seperti ahlul quwwah yang diminta nushrohnya oleh Nabi Saw. dulu, tapi kaum muslimin yang sudah terlebih dahulu masuk Islam. Saat rakyat dan mujahidin di Afghonistan dan Checnya ingin ditegakkannya hukum Islam –dan inilah nushroh hakiki dari mereka kepada dien Allah-, dan negeri mereka siap dijadikan tempat hijrah dan i’dad, apa yang dilakukan Hizb?

Alih-alih menerima nushroh mereka, berhijrah dan menyuruh hijrah ke daerah tersebut -sebagaimana yang dilakukan Nabi Saw. dulu terhadap Yatsrib/Madinah-, Hizbut Tahrir malah terus saja bertholabun Nushroh di negeri-negeri sekuler, bahkan kepada para militer yang justru menjadi penopang pemerintah sekuler dan sangat jelas permusuhannya terhadap Islam serta loyalitasnya kepada pemimpin-pemimpin kekufuran.

Inikah makna mengikuti jejak Nabi Saw. seperti yang mereka klaim?

Ketika Imaroh Islam Afghanistan tegak dibawah kendali Tholiban dengan izin Allah berkat nushroh rakyatnya, kemudian Imaroh Islam Checnya, dan sampai sekarang masih eksis Daulah Islam Iraq yang didirikan mujahidin, sikap apa yang ditunjukkan Hizbut Tahrir?

Padahal dalam kitab berjudul Hizbut Tahrir halaman 44, dinyatakan: “Bahwa Hizbut Tahrir tidak menggunakan kekuatan fisik untuk mempertahankan dirinya atau untuk melawan penguasa maka hal tersebut merupakan perkara yang tidak berkaitan dengan  jihad. Adapun jihad, maka dia tetap tegak sampai hari kiamat. Apabila terdapat serangan musuh di suatu negeri Islam maka wajib bagi umat Islam yang tinggal di sana untuk menghalau mereka. Syabab Hizbut Tahrir sebagai bagian dari umat Islam yang hidup di negeri tersebut, maka merekapun ikut menanggung kewajiban yang dipikul oleh kaum muslimin di negeri itu untuk melawan musuh karena status mereka sebagai muslim. Dan apabila terdapat pemimpin muslim yang menyelenggarakan jihad untuk meninggikan kalimat Allah, dan meminta bantuan kepada manusia, maka Syabab Hizbut Tahrir memenuhi panggilan tersebut sebagai bagian dari kaum muslimin yang hidup di dalam negeri yang dimintai bantuan itu.”

lalu sikap apa?

Yang jelas, tidak terdengar dukungan dari mereka terhadap kelompok yang berhasil menegakkan hukum Allah itu..

Lantas pemerintahan Islam seperti apakah yang mereka inginkan? Apakah khilafah yang prinsip-prinsip dan pemikirannya selaras dengan Hizb?

Apakah ketidak adanya dukungan itu karena pendiri-pendiri Imaroh Islam tersebut adalah mujahidin yang tidak ber-tabanni dengan tabanni mereka?

Ada indikasi –bahkan inilah yang dirasakan dengan melihat realilta yang ada-, bahwa ‘Tholabun Nushrah’ adalah kaimatu haqqin yuradu bihil bathin.’Tholabun Nushroh’ dijadikan satu-satunya manhaj sehingga menggugurkan jihad dan memperbanyak anggota yang menerima prinsip-prinsip dan pemikiran-pemikiran Hizb, atau mendirikan khilafah dalam bentuk yang sudah digariskan dan ditetapkan Hizb, meski terdapat yang tidak sesuai dengan apa yang ditunjukkan nash-nash syari’at.

Tholabun Nushroh Bisa Jadi Haram!

Rasulullah Saw. bersabda: “Jihad (tetap) berlangsung sampai Hari Kiamat”

Suatu hal yang mubah, jika menyebabkan kemaksiatan atau ditinggalkannya suatu kewajiban, maka hukumnya berubah menjadi haram. Bahkan, amalan-amalan yang mandub (sunnah) sekalipun, jika menjadi penyebab ditinggalkannya amalan-amalan wajib, akan berubah menjadi haram pula.

Artinya, amalan-amalan wajib tidak boleh digugurkan dengan alasan mengerjakan amalan-amalan sunnah, apalagi mubah..

Jihad adalah kewajiban yang terus berlangsung sampai akhir zaman. .. sebagaimana ditunjukkan nash-nash dari Al-Qur’an dan hadits,

Bahkan ia menjadi manhaj ‘Thoifah Mashuroh’ yang terus eksis di setiap zaman, sampai bagian akhir mereka kelak memerangi Dajjal dan mendapat kemenangan dari Allah. Rasulullah Saw. bersabda:

لَا تزَالُ طائفةٌ منْ أمتي يقاتلونَ على الحقِّ ظاهرِينَ على منْ ناوَأَهمْ حتى يقاتلَ آخرُهمْ المسيحَ الدَّجال

Artinya:
Senantiasa ada sekompok dari umatku berperang di atas haq, unggul atas orang-orang yang melawan mereka sampai bagian akhir mereka memerangi Al-Masih Dajjal..
Jihad adalah kewajiban sampai Hari Kiamat bersama amir, baik yang baik maupun yang fajir, saat ada Daulah Islam maupun tidak ada. Ini adalah kesepakatan Ahlussunnah.

Dalam kitab ‘Dirosaat fil Fikril Islamiy’ bab jihad disebutkan:

الجهاد واجب على المسلمين في جميع الأحوال ، في حال وجود الدولة الإسلامية ، أو في حال عدم وجودها ، فهو ماض إلى يوم القيامة مع كل أمير برا كان أو فاجرا . . .

Jihad itu wajib atas muslimin di seluruh keadaan, saat ada negara Islam maupun tidak ada. Ia (tetap) berlangsung sampai Hari Kiamat bersama setiap amir, baik yang baik maupun yang fajir…

Dan itu juga diadospsi oleh An Nabhani, Dalam kitab  الشخصية الإسلامية juz II , An Nabhani mengatakan:

الجهاد فرض مطلق, ليس مقيدا بشيء, و لا مشروطا بشيء فالآية فيه مطلقة . فوجود الخليفة لا دخل له في فرض الجهاد, بل الجهاد فرض سواء كان هناك خليفة للمسلمين أم لم يكن


Jihad merupakan kewajiban yang muthlaq, tidak terikat oleh sesuatu pun dan tidak disyaratkan dengan apa pun, Ayat berikut di dalamnya terdapat hukum yg muthlaq (كتب علسكم القتال) -diwajibkan atas kalian perang- . maka, keberadaan kholifah tidak terkait dengan kewajiban jihad, akan tetap jihad adalah wajib, baik kaum muslimin memiliki kholifah ataupun tidak. (asy syakhshiyyah Al Islamliyyah Juz II, hal 151)

Apabila jihad sudah merupakan amalan wajib meski tidak ada Daulah Islam atau khilafah, bisakah ia gugur karena hal-hal yang mubah seperti ‘Tholabun Nushroh’? Tentu saja tidak. Kalau ‘Tholabun Nushroh’ dijadikan suatu manhaj yang disyari’atkan dalam melakukan perubahan, namun dengan ini kewajiban jihad digugurkan –sampai adanya kholifah- , maka apa yang bisa kita katakan tentang Tholabun Nushroh?

Tentu ‘Tholabun Nushoh’ yang asalnya mubah menjadi haram dilakukan..

[hafmin]
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Al-Mustaqbal.Net | Jamaah Tarbiyah | Ansar Mujahideen
Copyright © 2013. Catatan Anak Mushola Di Pontianak - All Rights Reserved
Saya hanya berusaha menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi
dengan kapasitas ilmu yang saya miliki